Peristiwa Mahapralaya (Pesetruan Jawa Dan Sumatera Selama 11-Abad)

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Peristiwa Mahapralaya (Pesetruan Jawa Dan Sumatera Selama 11-Abad)
Mataram Kuno atau Mataram (Hindu) merupakan sebutan untuk dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra, yang sama-sama berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan. 

Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732 dan berkembang di Jawa Tengah sebagai Kerajaan Medang.

Beberapa saat kemudian, Dinasti Syailendra yang bercorak Buddha Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752 dan berkembang di Pulau Sumatera sebagai Kerajaan Sriwijaya. 

Pada awalnya Kedua dinasti ini berkuasa berdampingan secara damai.

Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa Raja Balitung.
Candi Borobudur
☆☆☆☆☆
Penaklukan Kawasan Oleh Dinasti Syailendra
Ekspansi kerajaan Sriwijaya yang ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara.

Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja.

Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya.

Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina.

Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya.

Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai rajaKhmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.

Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana.

Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.

Pada masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan dan berkuasa pada periode 792 sampai 835.

Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa.

Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza.

Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya.

Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak.

Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya.

Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris.

Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab.

Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.

Hubungan Dengan Wangsa Syailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Syailendra dimulai karena adanya nama Śailendra vamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India.

Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra.

Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera, maka diduga wangsa Syailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.

Majumdar berpendapat dinasti Syailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.

Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.

Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya prasasti Sojomerto.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim.

Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain:
  1. Sumatera, 
  2. Jawa, 
  3. Semenanjung Malaya, 
  4. Thailand, 
  5. Kamboja, 
  6. Vietnam, dan 
  7. Filipina.
Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya Berkuasa Di Jawa
Wangsa Sailendra di Jawa membina dan memelihara persekutuan dengan trah Sriwijaya di Sumatera, dan kemudian selanjutnya mendirikan pemerintahan mereka di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.

Di Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800—819), yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda (bertarikh 860) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan putra dari Åšailendra vamsatilaka (perhiasan keluarga Åšailendra) dengan nama gelaran ÅšrÄ« viravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra.

Tidak seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang gemar berperang, Rakai Warak tampaknya cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan candi Borobudur.

Dia menunjuk seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai gubernur Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah kekuasaan Sailendra.

Keputusan ini terbukti sebagai kesalahan, karena Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibukota lebih jauh ke pedalaman utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, memutuskan ikatan dan memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802.

Rakai Warak disebut-sebut sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya.

Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet Muljana menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam Prasasti Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti Samaratungga adalah penerus dari Rakai Warak.

Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga Sailendra yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792.

Pada abad ke-8 Masehi, istana Sriwijaya bertempat di Jawa, karena para raja dari wangsa Sailendra diangkat sebagai Maharaja Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya berikutnya.

Dia memerintah sebagai penguasa pada kurun 792-835. Berbeda dari Dharmasetu yang ekpansionis, Samaratungga tidak terjun dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih suka untuk memperkuat pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa.

Dia secara pribadi mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala besar dari batu yang selesai pada 825, pada masa pemerintahannya.

Menurut George Coedes, pada paruh kedua abad kesembilan, Jawa dan Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra yang memerintah di Jawa dengan pusat perdagangan di Palembang.

Samaratungga seperti Rakai Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana yang cinta damai.

Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang welas asih.

Penggantinya adalah Putri Pramodha wardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang menganut aliran Siwa.

Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai (penguasa daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah.

Langkah politik ini tampaknya sebagai upaya untuk mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di Jawa, dengan cara mendamaikan hubungan antara golongan Buddha aliran Mahayana dengan penganut Hindu aliran Siwa.

Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga Sailendra yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792.

Pada abad ke-8 Masehi, istana Sriwijaya bertempat di Jawa, karena para raja dari wangsa Sailendra diangkat sebagai Maharaja Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya berikutnya dan memerintah sebagai penguasa pada kurun 792-835.

Berbeda dari Dharmasetu yang ekpansionis, Samaratungga tidak terjun dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih suka untuk memperkuat pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa.

Dia secara pribadi mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala besar dari batu yang selesai pada 825, pada masa pemerintahannya.

Menurut George Coedes, pada paruh kedua abad kesembilan, Jawa dan Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra yang memerintah di Jawa dengan pusat perdagangan di Palembang.

Samaratungga seperti Rakai Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana yang cinta damai.

Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang welas asih.

Penggantinya adalah Putri Pramodha wardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang menganut aliran Siwa.

Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai (penguasa daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah.

Langkah politik ini tampaknya sebagai upaya untuk mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di Jawa, dengan cara mendamaikan hubungan antara golongan Buddha aliran Mahayana dengan penganut Hindu aliran Siwa.

Akan tetapi, Pangeran Bala Putra Dewa menentang pemerintahan Pikatan dan Pramodha wardhani di Jawa Tengah.

Hubungan antara Balaputra dan Pramodha wardhani ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa sejarawan.

Teori yang lebih tua menurut Bosch dan De Casparis menyatakan bahwa Bala Putra adalah anak dari Samaratungga, yang berarti ia adalah adik dari Pramodha wardhani.

Seperti Muljana, di sisi lain, berpendapat bahwa Bala Putra adalah anak dari Rakai Warak dan adik dari Samaratungga, yang berarti dia adalah paman dari Pramodha wardhani.

Tidak diketahui secara jelas, apakah Bala Putra Dewa tersingkir dari Jawa Tengah karena kalah dalam sengketa suksesi melawan Pikatan, atau dia memang sudah memerintah di Suwarna Dwipa (Sumatera) sebelum pecahnya perselisihan mengenai suksesi kekuasaan ini.

Bagaimanapun, tampaknya wangsa Sailendra akhirnya terpecah menjadi dua;
Antara Jawa Tengah yang dikuasai Pikatan-Pramodha wardhani dan Palembang yang dikuasai Bala Putra Dewa.

Bahwa Bala Putra Fewa akhirnya menguasai cabang Sumatera dari wangsa Sailendra dan bertahta di ibukota Sriwijaya dari Palembang.

Sebagian sejarawan berpendapat bahwa, hal ini karena ibunda Balaputra-Dewi Tara, permaisuri Raja Rakai Warak adalah putri dari Sriwijaya, hal ini menjadikan Balaputra sekaligus sebagai pewaris takhta Sriwijaya di Sumatera.

Bala Putra Dewa kemudian dinobatkan sebagai Maharaja Sriwijaya, kemudian dia menyatakan klaimnya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda yang bertarikh 860.

Puncak Peperanga Melawan Jawa Dan Sumatra
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya.

Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama She-po.

Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok.

Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa.

Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman.

Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992.

Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991.

Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya.

Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera.

Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka.

Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa.

Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya.

Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia.

Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang.

Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa.

Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah Peristiwa Mahapralaya, yaitu:
Peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

PERISTIWA MAHAPRALAYA 
(Pesetruan Jawa Dan Sumatera Selama 11-Abad)
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan.

Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat.

Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok.

Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991.

Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.

Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah.

Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang.

Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok.

Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan. Dan lahirlah Kerjaan Mataram Baru di Jawa Timur.
Baca Juga:
  1. Dinasti Sanjaya (Candi Prambanan) 
  2. Kerajaan Medang 
Baca Juga:
  1. Dibalik Kisah Legenda Dinasti Sanjaya Dan Dinasti Syailendra
  2. Legenda Fir'aun Di Tanah Jawa (Raja Kertajaya)
  3. Peristiwa Mahapralaya (Pesetruan Jawa Dan Sumatera Selama 11-Abad)
  4. Suku Jawa (Dinasti Sanjaya) Dan Jawa Dwipa, Negerei Para Dewa
☆☆☆☆☆

Baca Tags Terkait:

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT