Dinasti Syailendra (Candi Borobudur)

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Dinasti Syailendra (Candi Borobudur)
Candi Borobudur
☆☆☆☆☆
DINASTI SYAILENDRA
(CANDI BOROBUDUR)
Dinasti Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina "Bangsa Chin" dan "Kerajaan Asoka" (sekarang Thailand dan Kemboja).

Dinasti ini bercorak Budha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun 752.

Pada awal era Mataram Kuno, Dinasti Syailendra cukup dominan dibanding Dinasti Sanjaya.

Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya.

Ia juga melakukan perkawinan politik:
Puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya.

Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.

Peninggalan terbesar Dinasti Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).

Maharaja Dewa dari Kerajaan Asoka Memerintahkan anak-anaknya untuk menyebarkan ajaran yang dianut mereka (Yakni Hindu, sedangkan Bangsa Chin menyebarkan agama budha).

Bangsa Sanjaya cikal bakalnya dari Kerajaan Asoka sedangkan Bangsa Syailendra cikal bakalnya dari Bangsa Chin (Bukan Ching).

(Śailendravamśa) adalah nama wangsa atau dinasti raja-raja yang berkuasa di Sriwijaya, pulau Sumatera; dan di Mdaŋ (Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno), Jawa Tengah sejak tahun 752. Sebagian besar raja-rajanya adalah penganut dan pelindung agama Buddha Mahayana.

Meskipun peninggalan dan manifestasi wangsa ini kebanyakan terdapat di dataran Kedu, Jawa Tengah, asal usul wangsa ini masih diperdebatkan.

Disamping berasal dari Jawa, daerah lain seperti Sumatera atau bahkan India dan Kamboja, sempat diajukan sebagai asal mula wangsa ini.

Di Indonesia nama Śailendra vamsa dijumpai pertama kali di dalam prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi.
(Śailendra gurubhis; Śailendra wańśa tilakasya; Śailendra raja gurubhis).

Kemudian nama itu ditemukan di dalam prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Śailendra wańśa tilakena), dalam prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (dharmma tuńga dewa syaśailendra), prasasti Sojomerto dari sekitar tahun 700 Masehi (selendra namah) dan prasasti Kayum wuńandari tahun 824 Masehi (śailendra wańśa tilaka).

Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalamprasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan prasasti Nalanda.

Mengenai asal usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana.

Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Śailendra berasal dari Sumatra, dari India, dan dari Funan.

Teori India
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatera) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan).

Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens.

Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatanganDapunta Hyang.

Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang dengan bala tentaranya.

Teori Funan
George Cœdès lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja).

Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Medang pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Śailendra.

Namun teori ini tidak terbukti kuat karena beberapa prasasti dan catatan sejarah menyatakan bahwa sebelum bermukim di Jawa, keluarga Sailendra telah bermukim turun-temurun di Sumatera.

Teori Nusantara
Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau Sumatera atau Jawa; sebagai tanah air wangsa ini.

Teori ini mengajukan bahwa wangsa Śailendra mungkin berasal dari Sumatera yang kemudian berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin wangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya. 

Menurut beberapa sejarawan, keluarga Śailendra berasal dari Sumatera yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke-7 Masehi dengan menyerang kerajaan Tarumanagara dan Ho-ling di Jawa. 

Serangan Sriwijaya atas Jawa berdasarkan atas Prasasti Kota Kapur yang mencanangkan ekspansi atas Bhumi Jawa yang tidak mau berbhakti kepada Sriwijaya.

Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta Selendra pada prasasti Sojomerto.

Gelar ini ditemukan juga pada prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ.

Prasasti Sojomerto dan prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno. 

Teori Nusantara juga dikemukakan oleh Poerbatjaraka.

Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang.

Di dalam prasasti yang dikenal dengan namaprasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda).

Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Medan. 
Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Melayu dari kata dalam bahasa Sanskerta Śailendra karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno.

Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sansekerta di dalam prasasti-prasastinya.

Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra.

Berdasarkan paleografinya, prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi. 

Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiwa.

Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja diMatarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga.

Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Rakai Sañjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban atau Rakai Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya (aliran Saiwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Saiwa menjadi Buddha Mahayana juga sesuai dengan isi Prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang). 

Kemudian Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya.

Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya. 

Dari prasasti Sojomerto dan prasasti Canggaltelah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya.

Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi.

Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun.

Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi.

Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun.

Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra. 

Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna).

Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. 

Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi.

Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak. 

Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka keluarga Śailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan sejarahKerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Mereka pada awalnya beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti Tarumanagara dan Holing (Kalingga).

Penggunaan bahasa Bahasa Melayu Kuno pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaranDapunta menunjukkan bahwa keluarga Sailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan sistem politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka adalahvasal atau raja bawahan anggota kedatuan Sriwijaya.

Hal ini seiring dengan kabar penaklukan Bhumi Jawa oleh Sriwijaya sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kota Kapur. 

Berita Tiongkok yang berasal dari masa Dinasti Tang memberitakan tentang KerajaanHo-ling yang disebut She-po (Jawa).

Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Sima).

Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra?

Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiñak (703-710 Masehi), R. Sanna (710-717 Masehi), R. Sañjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.
Baca Juga:
  1. Dinasti Sanjaya (Candi Prambanan) 
  2. Kerajaan Medang 
Baca Juga
  1. Dinasti Syailendra (Candi Borobudur) - 
  2. Era Kerajaan Medang - 
  3. Kedatuan Sriwijaya (Kerajaan Sumatera) - 
  4. Kerajaan Sriwijaya - 
  5. Perjalanan Siddhayatra (Kemaharajaan Sriwijaya) - 
  6. Runtuhnya Wangsa Syailendra - 
[Baca: Sanepo Telo Widoro Upas]
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT