Kerajaan Sriwijaya

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Kehancuran Kerajaan Sriwijaya
Candi Borobudur
☆☆☆☆☆
Serbuan kerajaan Chola
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, Indiaselatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya.

Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman.

Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola.

Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.

Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun1028. 

Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam.
Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang.

Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis.

Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya. 

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan. 

Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola.

Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton.

Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong.

Duta besar tersebut menyampaikan surat dari rajaKien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.

Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.

Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah.

Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasrayadan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.

Munculnya Malayu Dharmasraya
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina.

Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina.

Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut.

Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11. 

Berdasarkan sumber Tiongkok pada bukuChu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa).

Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi:
  1. Si-lan (Kamboja), 
  2. Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), 
  3. Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), 
  4. Ling-ya-si-kia(Langkasuka), 
  5. Kilantan (Kelantan), 
  6. Pong-fong (Pahang), 
  7. Tong-ya-nong (Terengganu), 
  8. Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), 
  9. Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), 
  10. Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), 
  11. Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), 
  12. Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), 
  13. Pa-lin-fong (Palembang), 
  14. Kien-pi (Jambi), dan 
  15. Sin-t'o (Sunda). 

Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya.

Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya.

Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan.

Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu.

Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco.

Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi.

Pemerintahan Dan Ekonomi
Struktur pemerintahan
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentangkadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi. 

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya.

Kadātuan danvanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman.

Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya. 

Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).

Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.

Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya.

Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah:
  1. Raja putra (putra raja yang keempat), 
  2. Bhupati (bupati), 
  3. Senopati (komandan pasukan), dan 
  4. Ayaka (hakim). 

Kemudian terdapat juga:
  1. Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja), 
  2. Adyaksi nijawarna/ wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), 
  3. Kayastha (juru tulis), 
  4. Sthapaka (pemahat),
  5. puwaham (nakhoda kapal), waniyaga(peniaga), 
  6. Pratisra (pemimpin kelompok kerja), 
  7. Marsi haji (tukang cuci), dan 
  8. Hulun haji (budak raja). 
Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua.

Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).

Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.

Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda.

Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.

Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara.

Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India. 

Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi dan jika perlu memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya.

Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya.

Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. 

Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja.

Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya.

Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya.

Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670M hingga 1025 M. 

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi.

Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu.

Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsaAustronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia.

Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antar pulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 masehi. 

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab.

Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab). 

Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong.

Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. 

Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.

Penyebaran Penduduk Kemaharajaan Bahari
Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan seiring dengan perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari atau thalasokrasi.

Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi sebagai pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan.

Sebagai kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman.

Sriwijaya kebanyakan menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar.

Diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3.300 mil atau 8.000 kilometer di sebelah barat di seberang Samudra Hindia.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa sebagian nenek moyang pendudukMadagaskar adalah orang Indonesia.

Para peneliti meyakini mereka adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya. Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi sekitar kurun tahun 830 M.

Berdasarkan data DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 nenek moyang perempuan perintis tiba dari Indonesia 1200 tahun yang lalu.

Bahasa Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa Sanskerta dengan modifikasi linguistik melalui bahasa Jawa dan bahasa Melayu, hal ini merupakan sebuah petunjuk bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya.

Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra Hindia.
Baca Juga
  1. Dinasti Syailendra (Candi Borobudur) - 
  2. Era Kerajaan Medang - 
  3. Kedatuan Sriwijaya (Kerajaan Sumatera) - 
  4. Kerajaan Sriwijaya - 
  5. Perjalanan Siddhayatra (Kemaharajaan Sriwijaya) - 
  6. Runtuhnya Wangsa Syailendra - 
☆☆☆☆☆

Baca Tags Terkait:

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT