Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Filosofi Keris Umyang Jimbe
Beberapa Literatur mengatakan bahwa Umyang adalah nama seorang Empu yang hidup di jaman Pajang. Dan karena itu, sebenarnya nama Umyang bukanlah nama dapur keris.
Namun meski demikian, masyarakat per-keris-an di Jawa Tengah dan Jawa Timur kerap kali atau bisa dibilang familiar dengan yang disebut sebagai keris dapur umyang.
Cirinya adalah terdapat ukiran atau relief sepasang manusia (kadang disebut puthut atau badjang) di sebelah kanan dan kiri dapurnya (gandhik atau kadang di bagian wadidang).
Sepasang manusia tersebut saling membelakangi–dengan posisi tangan menyembah atau menengadah. Ciri tambahan lain (tidak selalu ada) adalah terdapat tulisan huruf jawa, relief beringin, payung, dan padi kapas di bilahnya.
Istilah yang baku untuk keris umyang ini sebenarnya adalah Keris Dapur Puthut (kembar). Jadi bisa dibilang bahwa keris umyang adalah istilah pasar bagi keris dapur Puthut (Kembar).
Apakah Empu Ompyang selalu (atau yang) membuat keris dapur Puthut Kembar?
Tidak bisa dipastikan demikian.
Hanya saja dalam literatur-literatur disebutkan bahwa Empu Omhyang adalah seorang seorang empu yang senior, sangat mumpuni dan master piece dalam membabar pusaka. Sangat diragukan jika Beliau membuat keris pasaran sebagaimana Keris Dapur Umpyang yang beredar di masyarakat.
Tulisan Huruf Jawa di tengah bilah keris ini terbaca Umyang Jimbe, inilah yang kemudian menjadikan masyarakat awam menganggap keris dapur Puthut Kembar ini bernama buatan Empu Umyang.
Padahal bisa diragukan jika Empu Umyang sendiri dengan jelas membubuhkan “tanda tangan” pada karyanya tersebut. Hal yang agaknya tabu dilakukan untuk orang sekelas Beliau. Terlalu kasar dan mencolok. Katakanlah seorang perlu menandai karyanya (ciri garap), biasanya dengan bahasa sandi atau simbol ataupun sengkala di bagian pesi yang tersembunyi dalam deder ataupun landeyan.
Lebih lanjut alasan yang memberatkan adalah ketidak sesuaian ricikan keris umyang dengan ciri khas (pakem) keris buatan Empu Umpyang. Jika kita membaca literature “Panangguhing Dhuwung, karya Mas Ngabehi WIRASOEKADGA, Abdi Dalem mantra pande Kadipaten Anom ing Surakarta – Adiningrat, hal 25” – disebutkan secara detail bahwa ciri ricikan keris tangguh Pajang karya Empu Ki Umyang terdiri atas:
Dhuwung ganja waridin, gulu meled menggik landhung sirah cecak dempok lancip, bangkekan sedhengan, buntut urang mekrok buweng, seblakipun sereng kacel, wasuhanipun pamor mengkoreg kira lulut, tosanipun keset sekar kacang kados gelunging wayang, jalen otot lantas lambe gajah landhung godhagan longgar mojok gandhik cekapan mayat, blumbangan lebet, sogokan landhung janur lancip, menawi luk - lukipun rengkol, menawi leres lenggahipun keder, awak-awakan pejetan, bilih ngangge ri pandan - dha (jawi) nipun cetha, bilih gandhikan – gandhikipun keder celak, tikel alis jugag ceklek.
Lihat, tidak ada sangkut pautnya dengan ciri khas keris dapur umyang yang selama ini beredar. Bahkan jika dibandingkan dengan keterangan buku Ensiklopedi Keris karangan Bambang Harsrinuksmo tentang keris dapur putut, rupanya banyak beredar dapur putut yang telah keluar dari pakem. Menurut Bambang Harsrinuksmo keris dapur ini adalah keris bilah lurus – sedangkan yang beredar bukan hanya bilah lurus melainkan bilah luk yang sangat beragam jumlahnya.
Masih dalam kaitannya dengan Empu Omyang, dahulu sampai pertengahan abad ke-20, banyak pemilik keris umyang yang mengasapinya dengan asap kemenyan setiap malam Rabu Pon, yang dianggap sebagai hari wafatnya Empu Umyang. Pengasapan kemenyan itu dimaksudkan agar tuah keris itu terpelihara. Namun sedikit demi sedikit kebiasaan itu mulai ditinggalkan orang, hingga abad ke-21 amat jarang orang melakukan ritual semacam itu.
Ada pula yang mengatakan bahwa nama sebutan Umyang adalah sebutan bagi sepasang puthut/ badjang dan kegunaan keris tersebut. Jenis keris umyang ada beragam. Ada Umyang Jimbe, Umyang Tagih, Umyang Beras, Umyang Panimbal, Umyang Tombak dan lain sebagainya. Melihat penamaan keris ini, bisa langsung ditebak bahwa tujuan utama sang pembuat dan pemilik keris ini berintensi mendapatkan bantuan atau pertolongan dari piandel tersebut. Umyang Jimbe dipercaya bisa membantu melancarkan usaha dan menghalau rintangan, Umyang Panimbal dipercaya bisa mendatangkan / memanggil rejeki, Umyang Tagih membantu pemiliknya menagihkan utang-utang orang lain kepadanya, bahkan Umyang Beras diyakini bisa membuat beras yang ada di tempat beras tidak akan habis.
Kembali ke masalah nama – dinamakan umyang karena kedua puthut ini yang “ngumyang” (umek, sibuk, berusaha keras sambil ngomel dan berceloteh). Kata Umyang sendiri, menurut arti lain bahasa jawa adalah seseorang yang "ngumyang" atau menggigau tidak sadar.
Jadi sepasang manusia pada dapur umyang tersebut dianggap sebagai “prewangan” yang membantu pemilik pusaka tersebut melancarkan maksud-tujuannya. Rasanya logika penamaan ini cukup masuk akal.
Karena sifat dapur keris Puthut Kembar sebagaimana terurai di atas, maka sangat kuat bahwa dikalangan pecinta keris, dapur umyang lebih dimaknai sebagai benda isoteris klenik yang kental dengan dunia perdukunan. Penggemarnya pun juga kebanyakan dari kalangan pengusaha atau pedagang. Padahal bila dicermati lebih dalam, kita bisa menggali banyak nilai filosofis keris dapur puthut kembar ini – dibandingkan sekedar berharap rejeki dari benda mati.
Mari kita coba melihat nilai-nilai tersebut karena keris sebagai hasil karya seni juga merupakan sebentuk bahasa – alat komunikasi.
Bahasa adalah sarana yang membawa banyak muatan, baik muatan komunikasi, karakteristik penutur/ pembuat, sampai relasi nilai yang paling substansial. Bahasa adalah sebuah simbol. Sebagai sebuah bahasa, bentuk dan gambar berbicara menunjuk tentang lambang/ simbolisasi sesuatu yang mempunyai kandungan makna melampaui dirinya sendiri.
Dalam kaitannya dengan dunia pe-keris-an juga sama halnya. Keris kerap dikatakan juga sebagai alat penanda jaman/ sengkalan suatu masa atau kejadian tertentu. Misal, Keris dengan kinatah Gajah Singo pada gonjo yang melambangkan sengkalan tahun 1558, pertanda berhasilnya pasukan Sultan Agung menumpas pemberontakan pragola di Pati, dan beberapa contoh keris lainnya. Dan sesungguhnya lebih dari itu, keris juga bisa mempunyai maksud pralambang atau simbolisasi.
Dan ini bisa sangat jamak kita temui dalam hampir pada semua keris, termasuk pada keris dapur Puthut Kembar ini.
Puthut dalam istilah Jawa bermakna Murid atau Santri atau Cantrik, seseorang yang berguru atau belajar ilmu (apa saja) pada seorang guru/ resi/ pandita dsb. Putut adalah seorang pendeta atau petapa muda (Frater?).
Bentuk puthut ini konon berasal dari legenda tentang cantrik yang diminta menjaga sebuah pusaka oleh sang guru.
Ia diminta untuk menjaga (berjaga), sambil terus berdoa dan memohon pertolongan serta kekuatan dari Yang Maha Kuasa.
Ada murid laki-laki ada perempuan, keduanya juga melambangkan keseimbangan dan juga perpaduan, bahwa apa yang ada di bumi ini selalu berpasang-pasangan. Ada laki-laki dan perempuan, ada siang dan malam, ada gelap dan terang, ada hitam dan putih, ada sedih dan gembira, ada yin dan yang.
Pada keris dapur puthut, ini bisa kita amati bahwa bentuk wajah Puthut seolah-olah berupa orang laki-laki di bagian depan (gandik) dan perempuan di bagian belakang (wadidang).
Dan keduanya tampak menggenakan gelungan ikat kepala. Posisi duduk bersimpuh (bertapa): menengadahkan tangan seperti posisi berdoa.
Sebagai murid, untuk mencapai suatu ilmu, harus menjalaninya dengan proses tirakat, semedi untuk mencapai keheningan, kebersihan batin, tawakal dan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Jika jiwa kita bersih, maka kita akan dengan mudah menyerap ilmu yang kita pelajari. Sebagai murid, atau orang yang sedang belajar harus bisa menjauhkan diri dari sifat sombong, congkak atau sifat merasa tahu (rumongso biso/ sok tahu) Harusnya "biso rumongso".
Perlu membuka wawasan, mawas diri, rendah hati, sederhana, andhap ashor dan bersedia belajar dari orang lain.
Itulah laku yang harus dijalankan oleh murid/ santri/ cantrik di jaman dulu, kemarin, sekarang serta jaman-jaman seterusnya. Itulah pakem seorang murid.
Dengan mendalami arti relief sepasang manusia pada dapur keris tersebut maka kita akan bisa membedakan arti relief puthut dengan relief umyang. Dengan memahami dan menghayati arti yang berbeda maka kita akan mempunyai energi yang berbeda pula. Jika kita condong memahami keris tersebut sebagai “bocah ngumyang” yang lebih ke urusan rejeki atau penagihan maka energi kita juga akan lebih kemrungsung akan harta benda.
Jika kita melihat sepasang bocah sebagai puthut yang nyantri/ murid – maka kita akan lebih bersikap andhap asor dan mendudukkan diri sebagai murid di hadapan Yang Maha Kuasa, sesama dan lingkungan jagat yang amat luas ini.
Posisi sikap keduanya sama yaitu sama-sama tangan menengadah ke atas (atau menyembah).
Keduanya sama-sama memohon ke TUHAN YME. Hanya tujuannya yang berbeda karena “spiritualitas” yang berbeda. Yang satu memohon pemahaman hidup (sejatining urip) – yang lain memohon jaminan kekayaan harta/ materi.
Kapas & Padi
Sandang dinomorsatukan atau didahulukan, sedang pangan dinomorduakan atau dikemudiankan.
Hal ini mengandung ajaran filosofis bahwa sandang berhubungan dengan kesusilaan dan diutamakan, sedangkan pangan berhubungan dengan lahiriah dinomorduakan.
Oleh karena itu manusia hendaknya mengutamakan kesusilaan daripada masalah pangan.
Kehidupan manusia di bumi tidak dapat lepas dari kebutuhan-kebutuhan duniawi.
Simbol padi kapas juga melambangkan kesuburan dan kemakmuran.
Beringin
Beringin juga dipandang sebagai simbol pemelihara kehidupan (lingkungan). Deretan beringin yang mengelilingi Alun-alun Kraton Yogyakarta, kerap dikaitkan dengan keadaan kota Yogyakarta yang tidak pernah kekeringan, khususnya lingkungan Kraton. Beringin dipercaya dapat menjaga ketersediaan air di sekitar tempat tumbuhnya. Beringin memiliki kemampuan untuk menyimpan banyak air lewat akarnya. Tak mengherankan jika beringin turut berperan terhadap kelestarian lingkungan. Tak pelak, bukti tersebut turut mengusung pernyataan pohon (beringin) sebagai simbol kehidupan.
Di Bali banyak terdapat pohon beringin yang berdiameter besar dan berumur ratusan tahun serta berkain hitam putih “poleng“.
Beringin bagi orang Hindu Bali sangatlah penting, selain karena bisa memberikan keteduhan. Pada jaman kerajaan Bali dahulu, Beringin merupakan waiting area (tempat menunggu) dan berteduh bagi seseorang sebelum mendapatkan ijin untuk menghadap raja.
Bagi umat Hindu Bali peranan pohon beringin penting dalam upacara memukur, yang diselenggarakan biasanya 42 hari setelah ngaben.
Jiwa orang yang mati yang telah dibebaskan dari raga (di-ngaben) untuk sementara tinggal diantara daun dan cabang-cabang pohon beringin.
Selama upacara “memukur”, jiwa tersebut dibawa turun dari pohon dan kemudian di larung ke laut sehingga menjadi murni dan kemudian di disemayamkan di tempat suci keluarga “merajan“. Mereka menjadi “Betara - betari” (leluhur yang telah disucikan), yang memberikan tuntunan kepada keturunannya di dunia.
Pohon beringin juga melambangkan wibawa karena kerap menyimbolkan “keangkeran/ kesungkeran” suatu tempat yang ada pohon beringinnya.
Hal ini karena pengaruh pandangan/ budaya masa animisme. Pohon dianggap sebagai representasi budaya animisme nenek moyang dan dipercaya memiliki kekuatan gaib.
Karena ketergantungan pada alam yang sangat besar, manusia merasa wajib menghormati dan menjaga keseimbangan alam. Pemujaan terhadap pohon pun menjadi perwujudannya.
Di mata manusia modern, ini terkesan berlebihan. Padahal menghormati dan memelihara alam meruapakan suatu keharusan jika manusia ingin selamat dan terhindar dari bencana (alam).
Pohon memiliki konteks sosial dan menjadi entitas manusia prasejarah, yang seharusnya juga tetap menjadi keprihatinan manusia modern untuk memeliharanya.
Tidak mengherankan jika pohon dikeramatkan sampai saat ini.
Beringin juga menjadi lambang kekuatan dan persatuan bangsa.
Payung tertutup
Tercatat bahwa payung sudah digunakan sejak 4000 tahun yang lalu oleh orang-orang Asiria kuno, Mesir, Yunani, dan Cina.
Sekitar abad ke-16 payung mulai digunakan oleh orang-orang Eropa. Awalnya payung digunakan sebagai pelindung panas matahari, hanya para wanita yang boleh menggunakan payung.
Konon pula, orang yang mulai menggunakan payung sebagai pelindung hujan adalah orang-orang Romawi kuno.
Akhirnya pada abad ke-18 payung digunakan sebagai pelindung hujan hampir diseluruh kawasan Eropa.
Di Indonesia, hingga tahun 1960-an, payung masih terbuat dari kertas. Yang paling terkenal adalah payung Tasikmalaya.
Lama kelamaan mulai muncul payung impor yang terbuat dari plastik atau kain kasa yang kedap air. Sekarang model payung beraneka macam.
Yang paling umum adalah payung yang kita pakai sehari-hari dikala hujan.
Kita juga sering melihat payung besar yang dipakai oleh tukang jual minuman: payung matahari karena kegunaan utamanya adalah untuk melindungi penjual dan dagangannya dari matahari (dari hujan juga).
Juga ada payung khusus untuk anak-anak dengan model yang unik dan kreatif. Bentuk dan warnanya lebih menarik dan lebih lucu.
Ada yang berbentuk kepala hewan lengkap dengan telinganya atau bentuk bunga dengan warna merah cerah.
Di desa Borsarng, Thailand, setiap bulan Januari selalu diadakan festival payung. Parade pembuatan payung diselenggarakan bersama parade alat musik kuno, lomba menabuh drum, tarian rakyat, dan kontes kecantikan. Desa Borsarng memang sudah terkenal dengan seni pembuatan payungnya sejak 200 tahun yang lalu.
Selain itu desa Borsarng juga dikenal sebagai pembuat payung terbesar di dunia.
Di Indonesia kita juga mengenal adanya kota payung. Sudah lebih dari 75 tahun Tasikmalaya terkenal sebagai pusat pengrajin payung.
Mereka lebih sering membuat payung-payung tradisional Payung-payung dari Tasikmalaya juga sering dipamerkan.
Dari uraian panjang lebar di atas, jelas pada awalnya payung dipakai sebagai alat perlindungan dari hujan atau terik matahari – dan selanjutnya pun sebagai alat fashion. Inilah makna simbolisasi payung.
Menarik bahwa penulisan kata Jogja pada logo Jogja: Never Ending Asia adalah berdasarkan tulisan tangan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Huruf J yang panjang digambarkan sebagai simbol payung atau perlindungan bagi masyarakat Yogyakarta
Lebih jauh lagi simbol payung juga dipakai sebagai simbol bagi para pemimpin untuk memikirkan masa depan. Payung telah lama (sejak dahulu) memang dikaitkan dengan simbol kepemimpinan yang mengayomi, symbol kehormatan dan kekuasaan. Hanya keluarga kerajaan atau pejabat tinggi yang boleh memakai payung
Simbol payung tertutup pada kersi dapur puthut bisa dibilang sebagai symbol kesiap sediaan/ berjaga-jaga terhadap segala yang akan datang dan mengganggu (bagai panas dan hujan) dan merupakan symbol kepemimpinan, kekuasaan, dan kehormatan. “Sedia payung sebelum hujan”, mungkin itu ungkapan yang tepat atas symbol tersebut.
VARIASI BENTUK KERIS DAPUR PUTHUT
Selain bentuk umumnya keris dapur umyang atau puthut kembar sebagaimana di atas, di kalangan per-keris-an dijumpai pula beberapa versi lainnya.
Ada yang dalam bentuk Bethok ber-relief Umyang (Bethok buda sebagai ciri dari jaman abad 5), ada yang cuma satu puthut-nya, ada variasi lainnya yaitu satu sisi puthut/ badjang/ umyang dan sisi lainnya macan, umyang-naga (ada yang menyebut naga pandhita) dsb. (lihat gambar koleksi)
MITOS (SISI ISOTERI) SEPUTAR KERIS DAPUR UMYANG
Di bawah terekam berbagai sharing yang kami kutip dari berbagai sumber dan diskusi tentang keris dapur umyang dari sisi isoterisnya.
Kebenarannya? Wallahualam.
Hanya Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Memberi – dan hanya Allah yang harus ditakuti.
La khaola walla khuata illa billa!.
Sekedar sharing info.
Konon khabarnya, keris omyang jimbe perawatannya cukup sulit. Artinya, tidak setiap orang kuat memangku derajat atau sawab yang terkandung pada pusaka ini.
Seperti merawat seorang bayi, siapa saja yang memiliki pusaka jenis ini harus telaten, sabar dan tak mudah emosi. Selain itu, tak boleh terlambat barang sehari dalam memberi srono/ syarat/ saji, jika tak menginginkan yoni pusaka ini marah, dan kemudian menghantam pemiliknya.
Sehingga keris ini tidak cocok dirawat oleh orang yang berwatak berangasan, kasar, suka menang sendiri, dan tidak peka terhadap perasaan orang lain.
Keris Omyang Jimbe tergolong sulit. Sebab pusaka yang satu ini tidak suka dicampur dgn pusaka jenis apapun. Dia lebih senang ditempatkan pada tempat yang sepi, bersih, rapi, dan jauh dari keramaian. Jika dipaksa untuk campur, bukan tidak mungkin pusaka yang selalu basah akibat tuanya besi baja itu akan marah.
Lebih mengerikan, jika pusaka ini murka, maka yang diserang adalah pemiliknya sendiri. Jika marah, pemiliknya akan selalu dihantui dengan mimpi buruk, misal mimpi kecelakaan, dikejar binatang buas. Yang terparah, pemilik akan mengalami stres.
Khasiat Keris Omyang Jimbe:
Bisa buat menunjang mencari nafkah asal si pemilik nayuh dulu.
Khasiat lain:
Dapat dipakai untuk menagih utang. Jika si penghutang ngotot tidak mau bayar, dia bisa gila dan baru sembuh jika hutangnya terlunasi.
PENUTUP
Sebagai penutup, penulis tidak ingin memberikan komentar lebih lanjut, terutama mengenai sisi subjektif isoteri keris dapur putut ini.
Hanya beberapa kutipan weweler dalam bahasa jawa yang mungkin bisa kita jadikan renungan bersama.
Ing samubarang gawe aja wani mestheake, awit akeh lelakon kang akeh banget sambekalane, sing ora bisa diduga tumibane. Jer kaya unine pepenget ‘menawa manungsa iku pancen wajib ihktiyar, nanging pepesthene dumunung ing astane Pangeran Kang Maha Wikan’. Mula ora samesthine yen manungsa iku nyumurupi bab-bab sing during kelakon. Saumpama nyumurupana, prayoga aja diblakake wong liya, awit temahane mung bakal murihake bilahi.
Yen sira kabeneran katunggonan bandha lan kasinungan pangkat, aja banjur rumangsa ‘Sapa sira sapa ingsun’, tansah ngendelake panguwasane tumindak degsura marang sapadha-padhane tumitah. Elinga yen bandha iku gampang sirna, lan pangkat sawayah-wayah bisa oncat.
Iba becike samangsa wong kang lagi kasinungan kabegjan lan nampa kabungahan iku tansah eling gedhe ngucap syukur marang Kang Peparing Gesang. Awit elinga yen tumindak kaya mangkono mau kejaba bisa ngilangi watak jubriya uga mletikake rasa rumangsa yen wong dilairake ing donya iku sejatine mung dadi lelantaran melu urun-urun tetulung marang sapadha-padhane titah, mbengkas kasangsaran, munggahe melu ngreksa hayuning jagad.
Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh! Rahayu
No comments:
Post a Comment
Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.
BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT