Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Sanepanan Ramalan Jangka Jayabaya (Satrio Piningit)
Sebagian umat Islam dengan tegas menyatakan haram hukumnya mempercayai ramalan, tak terkecuali Ramalan Joyoboyo. Tapi kenapa umat Islam keturunan Jawa, tetap mencoba bersikap lebih moderat dan santun serta tetap percaya pada isi ramalan tersebut?
Karena secara tradisi, orang Jawa mengenal konsep kualat. Itu sebabnya, mereka takut kualat leluhurnya mengingat ramalan Joyoboyo ini sudah berusia ratusan tahun, dan juga sudah dipercaya oleh para leluhur mereka. Khususnya ramalan terkait janji bakal munculnya tokoh Satrio Piningit.
Parameter untuk mengetahui benar tidaknya sebuah ramalan ada dua.
Pertama, rentang waktu yang panjang antara saat ramalan pertama kali disampaikan dengan waktu kejadiannya.
Kedua, jumlah manusia yang percaya, apakah semakin bertambah atau berkurang.
Pertama, rentang waktu yang panjang antara saat ramalan pertama kali disampaikan dengan waktu kejadiannya.
Kedua, jumlah manusia yang percaya, apakah semakin bertambah atau berkurang.
Mengacu pada kedua parameter itu, ternyata ramalan Joyoboyo memenuhi syarat.
Sampai zaman kita sekarang, dalam rentang waktu yang panjang, sudah banyak ramalannya yang terbukti dan orang yang percaya semakin bertambah dan tidak terbatas di pulau Jawa saja.
Sampai zaman kita sekarang, dalam rentang waktu yang panjang, sudah banyak ramalannya yang terbukti dan orang yang percaya semakin bertambah dan tidak terbatas di pulau Jawa saja.
Kenapa Muslim Jawa tidak mau menerima jika dianggap syirik gara-gara mereka percaya pada Ramalan Joyoboyo?
Karena mereka benar-benar paham bahwa Joyoboyo bukan Tuhan, dan memang tak pernah diimani sebagaimana keimanan Muslim Jawa terhadap Tuhan.
Orang Jawa paham bahwa sejak awal, kebenaran yang disampaikan Joyoboyo menggunakan kata “ramalan”.
Sebab hanya kata itu yang pas digunakan untuk membedakan dirinya dengan Tuhan, sekalipun terkadang apa yang diramalkan ternyata mengandung nilai kebenaran.
Karena mereka benar-benar paham bahwa Joyoboyo bukan Tuhan, dan memang tak pernah diimani sebagaimana keimanan Muslim Jawa terhadap Tuhan.
Orang Jawa paham bahwa sejak awal, kebenaran yang disampaikan Joyoboyo menggunakan kata “ramalan”.
Sebab hanya kata itu yang pas digunakan untuk membedakan dirinya dengan Tuhan, sekalipun terkadang apa yang diramalkan ternyata mengandung nilai kebenaran.
Bahasa dan dalil sederhananya adalah:
Janji Tuhan bersifat pasti dan janji Joyoboyo sifatnya relatif.
Untuk membuktikan relatifitasnya maka digunakan kata yang tepat yaitu “ramalan”.
Maka Muslim Jawa yang beriman (percaya) kepada Ramalan Joyoboyo tidak dapat dikategorikan sebagai musyrik oleh karena adanya kata pembuka “ramalan” (relatif) tersebut.
Janji Tuhan bersifat pasti dan janji Joyoboyo sifatnya relatif.
Untuk membuktikan relatifitasnya maka digunakan kata yang tepat yaitu “ramalan”.
Maka Muslim Jawa yang beriman (percaya) kepada Ramalan Joyoboyo tidak dapat dikategorikan sebagai musyrik oleh karena adanya kata pembuka “ramalan” (relatif) tersebut.
Apalagi lebih dari itu, di kalangan Muslim Jawa yang percaya pada Ramalan Joyoboyo juga berkeyakinan bahwa semua penafsiran Ramalan Joyoboyo yang tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan utamanya maka akan mereka tolak.
Ramalan Prabu Joyoboyo soal Satrio Piningit, sampai sekarang merupakan fenomena dan misteri yang belum terungkap. Apa dan siapa Satrio Piningit itu? Tentang kebenarannya hanya Allah Yang Maha Tahu.
Namun tak ada salahnya, meski kita sendiri tak percaya, kita tetap mau menghargai kepercayaan orang lain yang percaya pada Ramalan Joyoboyo.
Menurut mereka yang percaya, Satrio Piningit akan turun di tanah Jawa, sedangkan Imam Mahdi akan turun di Timur Tengah. Misi keduanya sama, memperbaiki moral dan kehidupan manusia.
Satrio Piningit merupakan seorang manusia yang menerima amanat untuk memperbaiki moral dan tatanan hidup Manusia. Satrio Piningit menerima delapan “wahyu”.
Enam wahyu untuk eksistensi dirinya sebagai Satrio Piningit.
Enam wahyu ini tidak diajarkan, sedangkan dua wahyu untuk diajarkan, yaitu tentang kebenaran dan ilmu kebijaksanaan. Yang mesti diperhatikan, wahyu disini berbeda makna dengan wahyu yang diterima oleh para nabi.
Enam wahyu untuk eksistensi dirinya sebagai Satrio Piningit.
Enam wahyu ini tidak diajarkan, sedangkan dua wahyu untuk diajarkan, yaitu tentang kebenaran dan ilmu kebijaksanaan. Yang mesti diperhatikan, wahyu disini berbeda makna dengan wahyu yang diterima oleh para nabi.
Kata “Goro-goro” yang terdapat dalam Ramalan Joyoboyo, bukan hanya berarti keributan massal. Karena sebenarnya merupakan kata simbolik. Jika dicermati, kata-kata aslinya (bahasa Jawa goro, dalam bahasa Indonesia berarti bohong), maka goro-goro berarti kebohongan. Jika melihat fakta di Indonesia, bukankah hal ini sudah berjalan sejak dari zaman Orde Baru sampai sekarang, bahkan keadaannya semakin bertambah parah, dengan makin maraknya tabiat menggerogoti kekayaan negara yang bernama korupsi, pencucian uang, dan lain-lain?
Sedangkan kata “Satrio”, kalau kita pelajari sejarah ternyata kata itu identik dengan sebutan Ksatria yang merupakan kasta terhormat. Meski demikian, itu pun tidak dapat dimaknai secara sederhana bahwa Satrio Piningit pastilah manusia pilihan dari kalangan kasta/ keturunan terhormat. Tetapi, Satrio dalam Ramalan Joyoboyo lebih bermakna bahwa yang bersangkutan memiliki moral yang sangat tinggi dan mulia. Sebagai seorang Satrio (Ksatria) ia adalah seorang yang teguh dan kuat memegang sumpah dan janji. Bersesuaian antara kata dan perbuatan.
Ada pula sebagian orang yang salah paham bahwa ketika Satrio Piningit disebut bermata satu, maka ada yang mengartikan bahwa jangan-jangan yang dimaksud Satrio Piningit itu Dajjal yang menurut riwayat konon bermata satu. Padahal makna bermata satu dalam hal ini berarti Mata Hati, yang merupakan indra ketujuh setelah indra keenam. Dengan Mata Hati inilah Satrio Piningit bisa mengetahui kebenaran Tuhan, mana yang benar dan mana yang salah, sehingga kebenaran bahkan “dapat dilihat”. Maka sebagai Satrio Piningit, dia dijamin mampu bertindak adil dan bijaksana. Kemampuan linuwih inilah yang akan dipergunakannya untuk mendidik manusia.
Satrio piningit akan muncul jika sudah terjadi goro-goro. Sementara saat ini, perjuangan Satrio Piningit ini masih dilakukan secara tersembunyi dan tak diketahui oleh siapapun keberadaannya. Termasuk juga apa yang diajarkaan, tidak diketahui dengan pasti ajarannya karena begitu halus cara dan metode pengajarannya. Maka ajaran Satrio Piningit ini tetap tak akan diketahui oleh siapapun sebelum goro-goro berakhir. Ajaran Satrio Piningit baru akan diketahui jika moral dan kehidupan bangsa Indonesia sudah baik.
Konon ajaran Satrio Piningit ini tanpa disadari banyak orang, sejatinya telah menyebar di dalam hati para Satrio dan rakyat. Maka tak mengherankan jika negara mereka menjadi negara Mercusuar Dunia, karena para Satrio dan rakyat di negara itu sudah bisa melihat Kebenaran dan Kebijaksanaan. Tidak lagi korupsi, mawas diri dan senantiasa hidup berhati-hati.
Bukan hanya Satrio dan rakyat biasa dari kalangan manusia, bahkan makhluk halus (makhluk gaib) pun, jika Satrio Piningit menghendakinya, maka dia dapat menguasai dan memerintah mereka untuk membantunya kapan pun diperlukan.
Pertanyaan lain, pada masa kemunculannya, apakah Satrio Piningit berjuang seorang diri?
Satrio Piningit tidak berjuang sendirian, karena pada masanya sudah ada Satrio-satrio lain yang akan selalu siap membantu perjuangannya meski di antara mereka tak saling kenal. Sebab dalam tingkatan spiritual, sejatinya mereka sudah saling terhubung, bagaikan jala (jaring), antara satu dengan yang lain membentuk daya kekuatan gaib yang luar biasa.
Satu hal lagi yang terpenting, Satrio Piningit tidak akan pernah menyatakan dirinya adalah Satrio Piningit. Meski sejak awal dia tahu bahwa dirinya Satrio Piningit, ketika menerima “wahyu” dari Tuhan. Sehingga amanat untuk mengubah dan memperbaiki moral umat manusia pun dilakukannya dengan kesadaran penuh, karena mata hatinya “dapat melihat” kebenaran Tuhan.
Jika banyak orang meyakini bahwa Satrio Piningit merupakan keturunan bangsawan, keturunan Raja yang bijaksana, sebenarnya tidak ada yang tahu pasti dia berasal dari keturunan Raja dan Kerajaan mana. Satrio Piningit sendiri tidak punya silsilah keturunan bangsawan, dan tidak tahu kalau dirinya itu keturunan Raja, yang diketahui dan dirasakannya adalah, bahwa dalam dirinya ada sifat-sifat sebagai seorang Ksatria.
Itulah sebagian isi Ramalan Joyoboyo tentang Satrio Piningit.
Lalu, apakah layak kita menanti-nantikan kemunculannya?
Lalu, apakah layak kita menanti-nantikan kemunculannya?
Nasib suatu bangsa tidak akan berubah jika bangsa itu tidak mau mengubah nasibnya sendiri.
Begitu kurang lebih, petikan ayat suci Al-Qur’an.
Maka alangkah baiknya, jika kita tidak semata-mata mengharapkan perubahan baik di negeri kita tanpa berbuat apa-apa, hanya dengan menunggu kemunculan Satrio Piningit.
Artinya,
Selain percaya pada Ramalan Joyoboyo, Muslim Jawa hendaknya senantiasa berbuat baik dengan segenap kemampuannya; hidup aktif, dinamis dan kreatif, berbuat baik, jujur, benar, tidak melanggar hukum, tidak melanggar atau merendahkan adat-tradisi dan tidak melanggar tatanan agama.
Baca Kelanjutanya Tentang : Misteri Ramalan Jangka Jayabaya
Selain percaya pada Ramalan Joyoboyo, Muslim Jawa hendaknya senantiasa berbuat baik dengan segenap kemampuannya; hidup aktif, dinamis dan kreatif, berbuat baik, jujur, benar, tidak melanggar hukum, tidak melanggar atau merendahkan adat-tradisi dan tidak melanggar tatanan agama.
Baca Kelanjutanya Tentang : Misteri Ramalan Jangka Jayabaya
☆☆☆☆☆
No comments:
Post a Comment
Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.
BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT