Apa Hal Yang Tidak Sahabat Bitter Sukai Dari Jokowi?

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Apa Hal Yang Tidak Sahabat Bitter Sukai Dari Jokowi?
Sebenarnya Jokowi itu sosok pemimpin populis sayap kiri yang lama tidak ditemui di Indonesia, pun juga luar biasa karismatik dan bisa berempati dengan masyarakat kebanyakan.

Namun seperti pemimpin-pemimpin populis lainnya, kelemahan Jokowi terlihat di posisinya terhadap kelompok-kelompok kepentingan. 

Pemimpin populis, sederhananya, mengutamakan kepentingan publik di atas golongan. 

Di satu sisi
Mecenderungan ini berarti keputusan yang diambil adalah bentuk konsensus paling nyata dari masyarakat Indonesia, sebentuk kompromi yang akan menguntungkan sebagian besar elemen masyarakat dengan basis ekonomi pro-rakyat. 

Di sisi lain, hak-hak khusus bagi sejumlah kelompok diabaikan, termasuk kelompok-kelompok yang selama ini berkuasa.

Dalam Masyarakat Pluralis 
Seperti Indonesia, ini cukup fatal. Pengangkatan pemimpin populis berarti pemecah-belahan masyarakat menjadi kubu-kubu tersendiri yang beroposisi dengan pemerintah.

Kasus 212 Contohnya
Tetap akan muncul dalam pemerintahan Jokowi meskipun Ahok tidak salah bicara. 

Ini karena kelompok ekstrim kanan yang selama ini memegang kekuasaan merasa hak-haknya diambil paksa dan tidak puas dengan pemerintah.

Kalau Bitter Coffee Park boleh bicara gamblang, faktor umum utama pemicu kondisi masyarakat Indonesia sekarang yang cukup panas antara kelompok ekstrim kanan dan lainnya ini adalah sosok Jokowi itu sendiri. 

Yang mendefinisikan kelompok ekstrim kanan sebagai musuh kita adalah Jokowi, dengan argumen populis “untuk kebaikan rakyat” yang sebenarnya bila dianalisis merupakan strategi politik populis berbasis antagonisme dengan pengasingan satu elemen masyarakat.

Titik baliknya adalah pembubaran HTI.
Pertanyaannya, 
Apakah kelompok Islam ekstrim kanan pernah mengambil sikap lebih keras sebelumnya? 
Tidak, karena baru Jokowi yang berani mengusiknya. 

Seperti membangunkan harimau tidur saja harus dilakukan kalau ingin merasa aman, tapi risiko termakannya besar.

Di sisi lain, Prabowo juga mengusung populisme reaksionis sayap kanan dari pendekatan Jokowi mendekonstruksi sosok presiden sebagai perwakilan keagamaan dan membingkai kubu Jokowi sebagai sekularis. 

Pada akhirnya, Pilpres 2019 jadi pertarungan politik populis di bawah dua kubu besar.

Pemilihan presiden itu, bagi Bitter Coffee Park, bukan bertujuan memilih yang punya kualitas paling baik, tetapi justru memilih yang risiko kerusakannya paling sedikit. 

Populisme identik dengan revolusi politik, yang pastinya juga menimbulkan banyak konflik. 

Mau yang terpilih Jokowi atau Prabowo, revolusi politik tidak bisa dihindari.

Bitter Coffee Park yang hanya berposisi warga negara biasa, menyaksikan 212, dan melihat banyak kampanye kebencian yang disebar teman-teman dulu jadi miris bukan main. 

Tapi ya sudah terjadi, mau bagaimana lagi?

Sekarang hanya kita yang mampu mengarahkan:
Apakah konflik yang dituduhkan ke Jokowi ini bisa diarahkan menjadi konflik positif yang bermanfaat bagi perkembangan Indonesia, atau justru konflik negatif yang akan menghancurkan negara.

Afirmasi implisit pada pengekangan kebebasan berpendapat yang menjurus pseudo-lèse-majesté.

Sudah rahasia umum UU ITE merupakan pasal karet, catch-it-all kekinian yang paling amat mudah diterapkan oleh aparat penegak hukum dalam meringkus terduga bersalah. 

Kecacatan tersengaja ini menunjukkan boroknya ketika para penjilat, penganut azas asal bapak senang menggunakan fleksibilitas legalisme ini dalam mendorong karir mereka dengan mengorbankan para pengkritik pemerintahan yang menyerempet nilai norma generasi konservatif.

Bitter Coffee Park setuju penghinaan itu buruk dan pembunuhan karakter itu tidak manusiawi. 

Namun ekspresi parodi para anak belasan tahun yang ikut-ikutan ber-meme karena dianggap keren tidak selayaknya secara akal budi diganjar dengan ancaman hotel prodeo. 

Apalagi dijadikan ajang kesempatan petinggi-jubir-kepala entah apa untuk numpang tenar nama di konferensi pers. 

Seakan-akan dua jam menyuruh anak magang muter-muteri facebook, whatsapp, dan instagram mencari-cari momen khilaf-terinduksi hormon itu prestasi yang layak disandingkan dengan keberhasilan menangkap sel tidur teroris.

Dan disini Jokowi sebagai yang dipertuan korban seakan-akan memberikan persetujuan implisit dengan diam. 

Padahal tentu perkara yang mudah apabila beliau mau menghentikan derasnya jilatan para pencari posisi dengan mengatakan dirinya tidak suka dijadikan batu loncatan para pendaki.

Memang kebebasan yang terlalu bebas seringkali kebablasan. 

Tapi sebagai figur publik dari publik yang mayoritas tidak memahami keruwetan-kesemerawutan dalam menjalankan Negara. 

Dari publik yang mudah termakan pesan berantai whatsapp. 

Dari publik yang opininya mudah diserong penjaja agama. Beliau selaiknya menjadi contoh negarawan yang legowo terhadap kenyataan bahwa publik figur tidak bisa terlepas dari kritik. 

Bahwa popularitas berarti membuka diri anda terhadap penghakiman masa. 

Bahwa masa bukanlah terdiri dari sebagian besar aki-ninik yang sudah makan asam garam kehidupan, yang paham bahwa bencana tidak selalu dapat disalahkan ke satu aktor, bahwa perspektif itu perlu, dan bahwa pelampiasan kemarahan hanya akan membawa kekosongan di kemudian menit.

Bitter Coffee Park pendukung Presiden Jokowi. 

Bitter Coffee Park kagum dengan kemampuannya menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat. 

Bitter Coffer Park salut dengan visi jangka panjang beliau untuk mementingkan infrastruktur. 

Bitter Coffee Park sudah melihat perannya di daerah paling terdepan, terluar, dan tertinggal. 

Tapi Bitter Coffee Park lebih mendukung sistem yang membuat beliau dapat naik ke puncak pemerintahan. 

Yang menepis paternalisme, membagikan tanggung jawab kepada kita layaknya seorang muda dewasa yang bisa dipercaya dengan kunci mobil keluarga. 

Yang mengampuni kita dari kutukan bencana infallibilitas monarki.

Negarawan adalah ia yang melihat bangsanya, memperjuangkan nilainya, dan kembali dalam rangkulan masa tua, terduduk di kursi goyang menemukan bahwa kebenaran itu seperti cermin. 

Manusia menemukan kepingan-kepingannya dan mengatakan bahwa ini dan hanya inilah kebenaran yang sesungguhnya.

UPDATE:
  • Pak Jokowi sepertinya sudah mengakui kelemahan ini, dan mulai menebar signal ke pendukungnya bahwa pelaporan-pelaporan macam ini bukan perilaku yang beliau sukai. 
Mungkin beliau membaca tulisan Bitter Coffee Park?? (Ngarep, hehehe)

Bisa dilihat di berita kompas 23 Oktober 2018 ini:
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT