Apa yang harus diungkap dari kejanggalan korban tewas pada demo Aksi 22 Mei 2019? Dan kenapa manusia cenderung dengan kekerasan?

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Apa yang harus diungkap dari kejanggalan korban tewas pada demo Aksi 22 Mei 2019? Dan kenapa manusia cenderung dengan kekerasan?
Indonesia dalam kerusuhan 22 Mei 2019 di Jakarta.
Aksi 22 Mei 2019 mempertontonkan kekerasan dan kekacauan yang dapat membuat kita merasa takut dan waspada, meski sebenarnya konfrontasi tersebut bukanlah hal yang baru atau langka terjadi.

Lantas:
  • Apa sebenarnya yang membuat kita tertarik pada kekerasan, dan juga memiliki kecenderungan untuk berperilaku kasar dan agresif? 
  • Apakah manusia memang memiliki insting untuk bertindak demikian secara alamiah?

Jika kita membandingkan dengan hewan, sangat sedikit dari mereka yang menggunakan kekerasan layaknya manusia.

Beberapa hewan memang dapat berperilaku agresif dan melukai individu lain sebagai bentuk kompetisi untuk memperebutkan pasangan atau makanan, tetapi hal tersebut jarang dilakukan dengan niatan untuk membunuh lawannya, kecuali pada beberapa kasus khusus.

Perbandingan terdekat dengan perilaku kekerasan seperti manusia dapat ditemukan di koloni simpanse.

Ilmuwan telah mengamati bahwa simpanse dapat membentuk kelompok penyergap yang berpatroli di sekitar perbatasan teritorialnya. Kelompok ini terdiri dari pejantan yang secara aktif mencari keberadaan anggota koloni lain yang menyusup ke wilayah mereka.

Jika mendapati penyusup, mereka akan menyerang beramai-ramai, melukai bahkan membunuh individu tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dasar biologis dan evolusioner yang membentuk kecenderungan manusia untuk berbuat kasar dan agresif.

Di sisi lain, menyalahkan aspek biologis semata sebagai faktor utama adalah suatu penyerderhanaan yang salah arah. Jika manusia memang secara alamiah menganggap kekerasan sebagai solusi setiap permasalahan, maka kita seharusnya sudah punah sejak dulu.

Hal ini menimbulkan pertanyaan lanjutan: Apakah kecenderungan alamiah ini dapat dipicu oleh faktor lain untuk dapat muncul? Apakah perilaku kekerasan dapat dipelajari dan menyebar luas? Apakah relasi sosial menekan atau justru mendorong kekerasan?

Berbagai ahli, baik di bidang psikologi, sosiologi, antropologi, maupun ethologi, berjuang untuk menjawab pertanyaan tersebut. 

Namun, tidak ada jawaban sederhana yang dapat memberikan penjelasan yang memuaskan.

Manusia adalah makhluk yang kompleks, di mana ia dapat merencanakan dan merefleksikan suatu tindakan yang belum ia perbuat, serta membayangkan konsekuensi dari hal tersebut. 

Kita juga dapat mempertanyakan motivasi dari orang lain terkait perilaku yang ia lakukan.

Agaknya, terdapat beragam faktor yang saling berkaitan dan mempengaruhi hingga dapat memicu tindakan kekerasan.

Secara statistik, komunitas yang terdiri dari keluarga dengan kondisi sosio-ekonomi yang tidak stabil memiliki angka kekerasan lebih tinggi. Kondisi ini juga dapat mempengaruhi dan menganggu perkembangan anak, bahkan sebelum ia dilahirkan.

Adrian Raine, peneliti dari University of Pennsylvannia menerangkan bahwa anak yang menerima asupan nutrisi rendah dari ibunya saat berada dalam kandungan memiliki 2,5 kali peluang lebih besar untuk mengembangkan perilaku antisosial dan agresif.

Hal ini memunculkan dilema moral atas hukuman yang dijatuhkan pada beberapa kasus kriminal, seperti sosiopat dan psikopat.

Apakah hukuman terhadap psikopat itu sesuai standar moral, jika diasumsikan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas kelainan amygdala yang menentukan kondisi emosional mereka, yang menyebabkan perilaku asosial sedari awal?
ujarnya seperti dilansir dari Psychological Science.

Nilai budaya dan kepercayaan juga dapat memainkan peranan penting. 

Kepercayaan dan nilai yang dianut suatu kelompok dapat mendorong anggotanya untuk melakukan kekerasan, karena dianggap merupakan penyelesaian yang sesuai dengan norma kelompok tersebut, terutama jika korban dinilai sudah melanggar aturan yang berlaku di dalamnya.

Kepribadian kita merupakan produk dari beragam pengaruh luar dan dalam. 

Beberapa merupakan faktor biologis yang berasal dari masa lampau, bahkan sebelum manusia eksis sebagai suatu spesies. 

Faktor lainnya berkembang sebagai bagian dari praktik sosial dan kultural seiring perkembangan peradaban.

Kita mungkin tidak dapat menemukan jawaban konkrit yang menjelaskan permasalahan ini, yang jelas, kita tidak boleh berhenti mengajukan pertanyaan, agar kita dapat merefleksikan perilaku kekerasan yang mewarnai sejarah manusia agar dapat dikurangi kemunculannya di masa mendatang.
☆☆☆☆☆
Berry Juliandi
Lecturer in Biology, Head of Veterinary Stem Cells Laboratory (PPSHB-IPB), Institut Pertanian Bogor
Peristiwa pemilihan presiden dalam dua dekade terakhir terbukti meningkatkan tingkat emosi masyarakat seiring dengan polarisasi yang semakin tajam antara kubu Joko “Jokowi” Widodo dan lawannya, Prabowo Subianto.

Tahun ini dengan semakin meluasnya penggunaan telepon seluler dan media sosial, masyarakat terpapar beragam informasi, palsu maupun valid, yang memicu perasaan cemas, amarah, takut. 

Hal ini mendorong individu-individu untuk bereaksi dalam beragam cara, dari berceloteh di media sosial hingga terlibat dalam kerusuhan dan menyulut bom molotov.

Hal ini terjadi pada aksi kerusuhan di beberapa titik di Jakarta yang diduga disulut oleh penyebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan di media sosial.

The Conversation Indonesia melakukan tanya jawab dengan Berry Juliandi, peneliti neurosains dari Institut Pertanian Bogor untuk mengetahui mengapa aksi kerusuhan ini bisa terjadi dari aspek bagaimana otak manusia bekerja ketika menerima (dis) informasi.

Dengan memahami cara kerja otak, kita akan lebih menyadari jika tindakan kita didorong oleh emosi yang tidak teregulasi dengan baik.

Apa yang terjadi dengan otak manusia ketika menerima informasi, baik yang benar atau palsu?
Ketika manusia menerima stimuli informasi otak kita memiliki dua cara untuk memproses informasi tersebut.

Cara pertama, terjadi secara cepat dan didorong oleh naluri bertahan hidup, diatur oleh bagian otak yang disebut otak “kuno”. Sementara cara kedua, terjadi secara lebih lambat dan menggunakan logika, diatur oleh bagian otak yang disebut otak “baru”.
Otak Kuno
Otak “kuno” mengatur fungsi hewani seperti nafas, nafsu makan, dan rasa takut. 
Otak kuno ini dimiliki oleh semua hewan bertulang belakang. 
Bagian dari otak kuno yang mengatur bermacam-macam nafsu (seperti nafsu berahi, amarah, dan makan) disebut hipotalamus. Sementara bagian dari otak kuno yang mengatur rasa takut disebut amigdala.
Otak Kuno
Otak “baru” atau neocortex membentuk otak besar atau cerebrum yang mengatur rasionalitas, kognisi, penglihatan–hal-hal yang membantu manusia mengambil keputusan yang didasari logika. 
Otak baru berkembang pesat di hewan mamalia golongan primata, yaitu monyet, kera dan manusia.

Ketika manusia menerima pesan dari lingkungan melalui indera mata, telinga, kulit, penciuman, mulut, otak menganalisis pesan tersebut.
Sebelum pesan tersebut sampai ke otak besar, pesan tersebut melewati pengolahan di otak kuno terlebih dahulu. Amigdala akan bertugas menilai apakah pesan ini mengandung sesuatu yang berbahaya. Jika amigdala menganggap pesan tidak berbahaya, pesan ini akan dilanjutkan ke otak besar untuk diolah dengan mempertimbangkan bermacam-macam hal.
Jika amigdala menilai pesan berbahaya, proses pengolahan informasi di otak besar akan diloncati, dan ia akan langsung menghubungi hipotalamus yang mengatur nafsu.
Otak manusia. Shutterstock

Bagaimana proses di otak kemudian menyulut tindak kekerasan?
Amigdala yang mengatur rasa takut dan hipotalamus yang mengatur nafsu merupakan bagian integral dari kemampuan leluhur manusia bertahan hidup. Contohnya, ketika melihat predator yang berbahaya, amigdala akan merangsang rasa takut yang akan mengaktifkan hipotalamus.

Hipotalamus berfungsi untuk mengatur kelenjar-kelenjar hormon seperti hipofisis yang merangsang kelenjar adrenal menghasilkan adrenalin, hormon yang mendorong pengaturan energi.

Adrenalin membuat jantung berdetak lebih kencang sehingga persediaan oksigen dalam darah meningkat dan dapat mengubah cadangan glukosa dalam tubuh manusia menjadi energi lebih cepat.

Reaksi yang timbul bisa dua: lari atau bertarung menghadapi ancaman. Keduanya membutuhkan energi.

Otak kuno manusia masih mengatur cara manusia modern bereaksi terhadap rangsangan yang kita terima, meskipun rangsangan bukan melihat singa berdiri di depannya, tetapi misalnya membaca pesan yang mengancam keyakinannya.

Membaca berita, baik palsu maupun benar, tetap dapat menghasilkan reaksi lari atau bertarung.

Pesan-pesan hoaks yang disisipi simbol keagamaan, misalnya takbir untuk komunitas muslim dapat mengancam keyakinan penerima pesan jika tidak diikuti. 

Otak kuno kita yang ingin mempertahankan keyakinan yang kita pegang akan sampai pada kesimpulan, jika kita tidak mempercayai pesan ini berarti kita tidak beragama.

Keputusan otak kita untuk bereaksi lari atau bertarung diambil dalam waktu yang sangat cepat mempertimbangkan keuntungan untuk dirinya, probabilitas keberhasilan, serta risiko.

Karena itulah berada dalam kerumunan biasanya meningkatkan rasa percaya diri untuk bertarung karena meningkatkan probabilitas keberhasilan dan mengurangi resiko keamanan ketimbang melawan sendirian.

Bagaimana cara mencegahnya?
Banyak pihak yang mencoba memanfaatkan proses bertindak yang didorong oleh otak kuno kita. Pengiklan biasanya mengirimkan pesan-pesan yang membuat seseorang tidak percaya diri sehingga mendorong mereka membeli produk. Untuk kepentingan politik, berbagai pihak kerap menyebar pesan yang menyulut emosi.

Kita bisa mengendalikan itu jika kita mengetahui cara otak kita bekerja, dan bahwa kemungkinan besar rasa takut dan nafsu amarah kita didorong oleh proses informasi secara cepat tanpa logika oleh otak kuno kita.

Seringkali penyebar hoaks menyisipi pesannya dengan berbagai aksesori yang menyentuh keyakinan penerima pesan. Misalnya dalam pesan tersebut banyak sisipan pesan agama atau embel-embel predikat gelar dari penulis atau narasumber.

Kita perlu tidak terburu-buru terpengaruh oleh aksesoris simbol agama atau gelar dalam suatu pesan. Semakin banyak aksesoris tersebut kita harus waspada untuk mengaktifkan otak besar kita dan tidak dikendalikan oleh otak kuno kita.
☆☆☆☆☆
Sejumlah peserta aksi Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat melakukan penyerangan kepada petugas Kepolisian dalam Aksi 22 Mei di depan gedung Bawaslu, Jakarta, 22 Mei 2019. Massa terus melempari polisi dengan batu serta bom molotov. Mereka juga mengarahkan kembang api dan petasan ke blokade polisi. TEMPO/M Taufan Rengganis
1. Kejanggalan Korban Tewas Aksi 22 Mei
Bitter Coffee Park mengutil dari TEMPO.CO diunggah pada 26 Mey 2019 yang di tulis oleh reporter Andita Rhama dan Editor Tulus Wijanarko dengan judul:
Berikut Ulasannya:
Profesor Riset bidang Perkembangan Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo menemukan sejumlah kejanggalan dalam tewasnya delapan orang dalam insiden kericuhan aksi 22 Mei 2019.

Hermawan menuturkan, delapan korban tersebut ditembak dengan metode single bullet dan semua terkena di bagian leher serta dada pada sisi yang sama. 
Semua tembakan single bullet di leher belakang telinga. Cuma satu tapi langsung mematikan.
kata dia saat dihubungi, Ahad, 26 Mei 2019.

Menurut Hermawan, 
Tembakan aparat kepolisian biasanya random dan bukan single bullet di bagian kepala.
Ada unsur kesengajaan dengan melihat titik sasaran penembakan di tempat yang sama.
Kan, tidak mudah menembak (di bagian) leher itu.

Dalam aksi tersebut ditemukan jenis senjata api yang digunakan adalah pistol jenis Glock yang biasa dipakai perwira termasuk jenderal.

Selain itu, kejanggalan lain yang dilihat Hermawan adalah tidak jelasnya orang yang membawa para korban ke rumah sakit. 
Mosok RS tidak tanya: sampeyan siapa, kok, bawa-bawa mayat ketembak ini?
kata dia. 

Sehingga tidak diketahui lokasi penembakan akibat tidak jelasnya identitas yang membawa korban.
ADVERTISEMENT
Dalam rangkaian aksi 21-22 Mei 2019 di gedung Bawaslu, Jakarta, yang berujung pada kericuhan di beberapa tempat, tercatat delapan orang tewas dan ratusan orang lainnya luka-luka. 

Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian membentuk tim investigasi untuk mengusut kerusuhan 22 Mei 2019.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta Pusat pada Kamis, 23 Mei 2019, memgatakan:
Kapolri sudah bentuk tim investigasi dipimpin Inspektorat Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Moechgiyarto untuk mengetahui penyebab dan semua aspek.
☆☆☆☆☆
Seorang pria memperlihatkan perutnya yang terluka dan seorang temannya menunjukkan sejumlah selongsong peluru yang telah digunakan saat terjadinya bentrokan di Jatibaru, Jakarta, Rabu, 22 Mei 2019. Bentrokan antara massa dan petugas kepolisian ini merupakan ketegangan usai demo di depan Gedung Bawaslu kemarin. TEMPO/ Muhammad Hidayat
2. Hasil Otopsi 4 Korban Rusuh Aksi 22 Mei
Bitter Coffee Park mengutil dari TEMPO.CO diunggah pada 24 Mey 2019 yang di tulis oleh reporter Non Korespinden dan Editor Dwi Arjanto dengan judul:
Hasil Otopsi 4 Korban Rusuh 22 Mei, RS Polri: Tewas Tertembak
Rumah Sakit Polri Kramat Jati sampai dengan Kamis kemarin atau tanggal 23 Mei 2019 menerima empat jenazah korban rusuh 22 Mei.

Kepala Rumah Sakit Polri Kramat Jati Brigjen Pol. Dr. Musyafak mengatakan empat korban yang diterima sudah dilakukan otopsi dan korban tersebut meninggal karena luka tembak.
Semua sudah kita otopsi berdasarkan permintaan dari penyidik dan persetujuan dari keluarga, memang meninggal karena ada luka tembak.
Kita tidak bisa menyimpulkan itu karet atau tajam, namun barang bukti sudah di bawa ke puslabfor.
ujar Musyafak di RS Bayangkara Polri, Kamis, 23 Mei 2019.

Namun sampai saat berita ini ditulis dia belum bisa menyimpulkan apakah peluru yang di pakai adalah peluru tajam atau karet.

Lebih lanjut, Musyafak mengatakan dua jenazah dikirim dari RS Pelni, satu jenazah dari RS Angkatan Laut Mintohardjo.

Kerusuhan pecah menjelang aksi 22 Mei di kantor Badan Pengawas Pemilu pada Selasa, 21 Mei 2019, sekitar pukul 22.30. Massa membubarkan diri dan meninggalkan kantor Bawaslu.

Sekitar pukul 03.00 dinihari, 22 Mei 2019, massa tiba-tiba merangsek ke arah Asrama Brimob di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mereka diduga merusak dan membakar kendaraan yang parkir.

Sedikitnya 11 mobil dan sejumlah sepeda motor hangus dibakar buntut dari rusuh 22 Mei. Saat itulah polisi melakukan pengejaran dan terjadi kerusuhan di kawasan Petamburan. Dalam kerusuhan aksi 22 Mei ini dikabarkan enam orang tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka.


ADVERTISEMENT

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT