Idealisme Politik Berbalut Kemunafik

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Idealisme Politik Berbalut Kemunafik
Politik Itu Memang Sampah....
Tapi; Meninggalkan Teman Hanya Karena Berbeda Pandangan Politik Itu Lebih Rendah Dari Sampah.

Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kita mengetahui apa itu MUNAFIK???

Secara umum, munafik bisa diartikan, tidak samanya perkataan dengan tindakan atau hipokrit. Rasulallah SAW menyebut tiga tanda orang munafik:
  1.  Apabila berjanji ia ingkari; 
  2. Apabila dipercaya ia berkhianat; dan
  3. Apabila berbicara ia bohong.
Begitu nistanya sifat munafik, sehingga ia dimasukkan ke dalam golongan pertama yang di hari akhirat nanti akan dimasukkan kedalam Neraka Jahanam yang paling bawah sekekal-kekalnya, selama-lamanya, melebihi azab daripada orang-orang kafir.

Ironi Politik Saat Ini
Ironinya, justru di kancah perpolitikan kita, sifat dan sikap munafik itu tumbuh subur. 

Mereka bangga pada karir politiknya yang berhasil dibalut kemunafikan. Seharusnya, sebagai elit politik, janganlah tinggalkan jiwa dan spirit agama yang diyakininya, hanya karena tuntutan gaya hidup, dan jiwa serakah.
Kecenderungan politik saat ini, terjadi kemunafikan yang dikamuflase sebagai euforia.

Mencari simpati dan dukungan dari masyarakat untuk kepentingan sesaat, dan akan menimbulkan penderitaan berkepanjangan.

Kemunafikan biasanya menumbuhkan sikap politik yang plin-plan dan mencla-mencle.

Bahkan dalam bertindakpun tidak segan-segan menempuh penghalalan segala cara, untuk semata-mata kepentingan diri dan kelompoknya.

Idealisme parpol terlihat saat kampanye, dengan menggadang-gadang penderitaan dan kesejahteraan rakyat akan dituntaskan partainya bila berkuasa.

Namun, dalam prakteknya parpol menjalankan transaksi-transaksi politik.

Jelas ini kemunafikan. 
Tidakkah sifat dan laku seperti ini kita takuti?

Bagi seorang politisi di NKRI ini yang harus tetap dikawal dan dijaga adalah:

  1. Jiwa keagamaan, 
  2. Ideologi Pancasila, 
  3. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan 
  4. UUD 1945. 

Jangan sekali-kali goyah hanya karena godaan pihak asing dengan iming-iming gaya hidup munafik serba materi, yang pasti akan membuat rakyat miskin dan sengsara.

Orang-orang munafik itu sungguh tidak bermutu.

Meski berpenampilan mentereng, gaya bicaranya mengagumkan, tapi tidak punya pendirian.

Mereka suka pamer, memperlihatkan kebaikan-kebaikannya.

Orang munafik itu suka sekali dipuji dan disanjung.

Introspeksilah:
Apakah kita masuk dalam gambaran orang-orang munafik? 
Bila Iya, 
Segeralah buang jauh-jauh sifat munafik, penuh kepalsuan itu.

Pasca Pemilu 2014, banyak calon incumbent yang rontok, digantikan wajah-wajah baru. 

Kita tidak tahu penyebab tidak terpilihnya kembali mereka.

Apakah itu hukuman dari rakyat pemilihnya, atau sebab lainnya.

Bagi mereka yang kurang terima musibah ini, ada melontarkan isu kuatnya money politics yang diusung pesaingnya.

Tidak mau jujur, karena kurangnya memperhatikan rakyat pendukungnya.
Inilah sikap munafik dalam berpolitik.

Padahal, bila sadar dan mau mengambil hikmahnya, kinilah saat terbaik baginya untuk ikhlas meninggalkan gaya hidup gila hormat dan cenderung munafik.

Bersuara vokal di parlemen, tapi tidak jelas arahnya, karena bukan memperjuangkan aspirasi maupun kepentingan rakyat yang dibelanya.

Begitu pun bagi mereka yang terpilih menjadi politisi, juga harus ikhlas atas segala jerih payah perjuangan dan materi yang telah dikeluarkannya.

Jangan ada lagi sikap mengharapkan segala biaya itu balik modal plus keuntungannya.

Harapan kita kepada politisi muda, agar dalam berpolitik dan berdemokrasi mengedepankan moral bangsa.

Dalam berjuang, utamakan kepentingan seluruh rakyat, martabat dan harkat bangsa Indonesia.

Bukan kelompok, partai, apalagi negara lain.

Jauhi dan hindari perilaku politik munafik.

Bila kita kerja dengan sepenuh hati demi seluruh tumpah darah Indonesia, Insya Allah bangsa kita akan maju dan sejahtera.

Melencengnya Implementasi Demokrasi.
(Gambar. Filsuf Yunani kuno, Plato)

Secara Substansial
Demokrasi sebenarnya dibangun dengan maksud bahwasannya sistem pemerintahan dibangun dari, untuk, dan demi rakyat. 

Partai politik dibangun untuk mewakili rakyat di pemerintahan. 

Nyatanya? 
Rakyat yang dijadikan alat untuk menggapai kekuasaan. 

Melalui Apa? 
Media massa yang tidak henti hentinya memberikan berita picisan sensasional.

Perang gagasan diganti dengan perang ego, demi mendapatkan pol suara terbanyak. 

Disinilah Bitter melihat bahwa sistem demokrasi sudah sangat kacau diterapkan dan tidak cocok untuk Indonesia. 

Terlebih, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragam. 

Sistem demokrasi yang mengedepankan mayoritas suara tentu saja jadi tidak cocok, karena suara mereka yang minoritas menjadi tidak terwakilkan.

Salah satu hal yang cacat lagi dalam sistem pemilihan eksekutif secara demokrasi adalah, bahwasannya yang dipentingkan dalam pemilihan posisi dan jabatan penting adalah jumlah voting yang muncul. 

Motivasi yang melandasi seseorang memilih individu yang bersangkutan itu dalam sistem demokrasi tidak dianggap penting.

Selama seseorang memegang suara terbanyak, mereka menang. 

Sehingga sebenarnya nih ya, jika Bitter katakanlah mau memilih seorang pemimpin dengan argumen bahwa pemimpin tersebut memiliki ukuran sepatu yang sama dengan Bitter, itu tidak disalahkan dan diperbolehkan dalam sistem demokrasi. 

Yang terpenting dalam sistem demokrasi adalah, suara terbanyak dianggap sebagai suara yang merepresentasikan rakyat. 

Kalau sebagian besar rakyat mau mereka dipimpin oleh pemimpin yang memiliki ukuran sepatu sama dengan mereka, ya itu sah-sah saja dan tidak salah.

Sebenarnya, jika kita ingin meninjau lebih jauh, demokrasi itu baru efektif untuk memilih pemimpin paling berkompeten apabila satu persyaratan sudah terpenuhi, yakni masyarakatnya sudah teredukasi dengan baik

Dengan demikian, seluruh elemen masyarakat memiliki kapasitas berfikir kritis yang sudah cukup baik, sehingga mereka tidak mudah dimanipulasi, terutama oleh media. 

Nah yang menjadi pertanyaan, 
Apakah persyaratan ini sudah terpenuhi di Indonesia? 
Bitter kok merasa belum ya.

Demokrasi itu bagus bagi Indonesia, tapi nanti, 
Apabila rakyat Indonesia sudah matang dan siap!

Bitter sendiri memiliki pendapat bahwasannya sistem demokrasi untuk memilih pemimpin eksekutif adalah:
Sebuah sistem yang paling tidak efisien untuk mendapatkan pemimpin paling berkompeten, setidaknya untuk Indonesia saat ini. 
Sebagai seorang filsuf, Plato pernah menerangkan sebuah kritik yang menarik terkait demokrasi yang dianalogikan dalam sebuah kapal.

Anda berada dalam sebuah kapal yang akan menuju pada sebuah tempat. 
Namun, kapal tersebut belum memiliki nahkoda. 
Yang menjadi pertanyaan, 
Mekanisme seperti apa yang akan anda pilih untuk menentukan Nahkoda?
  1. Dengan memilih menggunakan suara voting terbanyak, ataukah
  2. Langsung menunjuk individu yang punya sertifikat dan pengalaman dalam menahkodai kapal, yang paham cara menavigasikan sebuah kapal? 

Dalam kasus seperti ini, saya merasa bahwa hasil keluaran dari nahkoda terbaik akan didapatkan melalui mekanisme nomor dua.

Mirip dalam konteks pemilihan eksekutif, jabatan-jabatan strategis itu sebenarnya akan berfungsi secara lebih optimal apabila:
Pemilihannya dilakukan berdasarkan kompetensi, bukan berdasarkan siapa yang paling banyak dipilih. 

Jabatan eksekutif akan dipilih berdasarkan track record yang nantinya akan dikaji melalui semacam dewan yang berisi dari orang-orang dengan latar belakang profesional.

Dengan demikian, sebuah negara, atau dalam konteks ini Indonesia, akan bergerak layaknya sebuah perusahaan raksasa yang dipimpin oleh CEO (atau presiden) yang paling berkompeten. 

Tugas dari pemimpin negara inilah yang nantinya juga akan mengarahkan visi dan misi bangsa menuju sebuah tujuan yang sudah ditetapkan, yang kemudian nantinya akan dioperasionalisasikan oleh para menteri-menterinya, yang juga ditunjuk berdasarkan kompetensi spesifik mereka.

Suara rakyat menurut Bitter cukup diwakilkan diranah legislatif, diwakili oleh partai politik yang membawa ideologi yang ingin diwakili dari rakyat. 

Partisipasi rakyat dalam pemilihan eksekutif menurut Bitter tidak perlu. 
Mengapa? 
Marena menurut Bitter, 
Baik atau buruknya sebuah hal itu tidak bergantung pada seberapa banyaknya orang yang mendukung, melainkan ditentukan berdasarkan kriteria objektif. 
Yang sebagian besar rakyat mau, belum tentu baik untuk mereka.

Notes: 
Ini hanyalah opini personal Bitter Coffee Park. 
Sahabat Bitter boleh setuju maupun tidak. 
Bitter Coffee Park berusaha untuk menuliskan opini Bitter ini tanpa berusaha memojokkan pihak manapun. 
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT