Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Pusat Politik Dan Bandar Perdagangan Kerajaan Jenggala
Pada masa pemerintahan Sri Jayantaka, bandar dagang di Porong sedang dalam puncaknya.
Konon bandar dagang ini dikatakan terbesar kedua setelah Sriwijaya.
Banyaknya orang-orang asing yang berdagang semakin menunjukkan bandar dagang ini diperhitungkan di dunia internasional.
Boleh jadi lahirnya bandar dagang ini merupakan babak baru bagi perjalanan sejarah Jawa.
Pada awalnya, kerajaan di Jawa bersifat agraris dan beradadi lereng-lereng gunung.
Segala aktifitas pemerintahan banyak dilakukan di sana.
Tingkat interaksi dengan dunia luar tidak secepat Sriwijaya.
Dengan keberadaan bandar dagang ini secara tidak langsung memindahkan kerajaan gunung ke kerajaan Pantai.
Merubah budaya agraris dengan budaya merkantilis (perdagangan).
Ada dua orang dari negeri Cina yang sempat mencatat keberadaan Bandar dagang Porong.
1. Menurut Chou Yu Kua,
Menyatakan bahwa Bandar dagang di Porong merupakan sebuah pelabuhan yangbesar dengan pajak murah dan kantor-kantor dagang yang berjejer dengan suasana yang menyenangkan.
Kantor-kantor dagang itu mengurusi palawija, emas, gading, perak dan kerajinan tangan yang selalu disenangi dan dikagumi Orang Ta-shi (Arab).
Pusat perdagangan berada di tempat yang bernama Yeo-thong (Jedong, sekarang wilayah Ngoro).
Di belakangnya ada gunung dengan sembilan puncak yang selalu diselimuti kabut tebal.
Gunung yang bernama Pau-lian-an (Penanggungan) itu menjadi pedoman navigasi kapal yang akan masuk pelabuhan Porong.
2. Chou Ku Fei,
Seorang Pedagang, menuliskan kondisi subur tanah Jung-galuh (Jenggala) yang banyak dikelilingi sungai- sungai besar yang tembus dampai di gunung Pau-lain-an (Penanggungan).
Sedangkan Bandar dagang di Porong banyak didatangi oleh para pedagang dari Cina, Arika, Thailand, Ta-shi (Arab) yang mengimpor beras, kayu Cendana, Kayu Gaharu dan bunga-bunga kering seperti Kenanga dan Melati.
Dalam sejarah kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur, Gunung Penanggungan adalah sebuah gunung yang penting (Daldjoeni, 1984; Lombard, 1990).
Kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Jawa Timur, selain berurat nadi Sungai Brantas, kerajaan-kerajaan itu mengelilingi Gunung Penanggungan, misalnya Kahuripan, Jenggala, Daha, Majapahit, dan Tumapel (Singhasari).
Daerah genangan LUSI sekarang dulunya adalah wilayah Medang atau Kahuripan dari zaman Sindok dan Airlangga, juga termasuk ke dalam wilayah Majapahit.
Setiap kali ada kekacauan di wilayah kerajaan-kerajaan itu, maka Gunung Penanggungan dijadikan ajang strategi perang.
Airlangga pun pada saat pengungsian dari serangan Worawari tahun 1016 yang menewaskan Dharmawangsa mertuanya (Peristiwa Mahapralaya), bersembunyi di Penanggungan sambil memandang ke utara menuju lembah Porong dan Brantas memikirkan bagaimana membangun kerajaannya yang baru.
Penanggungan pun dijadikan tempat-tempat untuk memuliakan tokoh-tokoh kerajaan.
Di lereng timur gunung ini di Belahan terdapat makam Airlangga, makam Sindok di Betra, dan makam ayah Airlangga di Jalatunda.
Di Penanggungan pun terdapat ratusan candi, yang saat ini tidak terawat.
Makam-makam keramat ini ditemukan penduduk Penanggungan pada awal abad ke-20 setelah beratus-ratus tahun terkubur, saat mereka membakar gelagah yang menutupinya untuk keperluan pembuatan pupuk.
Dari Gunung Penanggungan ke lembah dan delta Brantas pemandangannya permai dan subur lahannya, sehingga banyak kerajaan didirikan di dataran Brantas.
Menurut Nash (1932) "hydrogeologie der Brantas vlakte":
Delta Brantas terbentuk berabad-abad lamanya dan peranannya penting di dalam percaturan politik kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Jawa Timur.
Kemajuan dan kemunduran kerajaan-kerajaan ini kelihatannya banyak dipengaruhi oleh segala yang terjadi di Delta Brantas.
Denys Lombard, ahli sejarah berkebangsaan Prancis yang menulis tiga volume tebal buku sejarah Jawa tahun 1990 "Le Carrefour Javanais - Essai d'Histoire Globale" (sudah diterjemahkan oleh Gramedia sejak 1996 dan cetakan ketiganya diterbitkan Maret 2005) menulis tentang "Prasasti Kelagyan" zaman Airlangga bercandra sengkala 959 Caka (1037 M).
Kelagyan adalah nama desa Kelagen sekarang di utara Kali Porong.
Prasasti Kelagyan mmenceritakan bahwa pada suatu hari sungai Brantas yang semula mengalir ke utara tiba-tiba mengalir ke timur memutuskan hubungan negeri Jenggala dengan laut, merusak tanaman dan menggenangi rumah-rumah penduduk.
Airlangga bertindak dengan membangun bendungan besar di Waringin Pitu dan memaksa sungai kembali mengalir ke utara.
Mungkin, inilah yang disebut sebagai bencana Banyu Pindah dalam Buku Pararaton.
Bencana seperti ini kelihatannya terjadi berulang-ulanh, bencana yang sama dicatat di dalam buku Pararaton terjadi lagi tahun 1256 Caka (1334 M) pada zaman Majapahit.
Sejak zaman Kerajaan Medang abad ke-9 dan 10, Delta Brantas yang dibentuk dua sungai (Kali Mas dan Kali Porong) diolah dengan baik, muara Brantas dijadikan pelabuhan untuk perdagangan (Pelabuhan Hujung Galuh).
Ibukota kerajaan didirikan dan dinamakan Kahuripan yang letaknya di dekat desa Tulangan, utara Kali Porong, di sebelah barat Tanggulangin, di dalam wilayah Kabupaten Sidoarjo sekarang (sekitar 10 km ke sebelah utara baratlaut dari lokasi semburan LUSI sekarang).
Setelah kerajaan Airlangga pecah menjadi dua pada abad ke-11, yaitu Panjalu (Kediri) dan Jenggala (Kahuripan), dan Kahuripan mundur lalu dianeksasi Kediri, pelabuhan dari Brantas ditarik ke pedalaman di Canggu, dekat Mojokerto sekarang.
Kemudian, Kediri digantikan Singhasari, lalu akhirnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M, pusat kerajaan kembali mendekati laut di Delta Brantas, sehingga Majapahit menjadi kerajaan yang menguasai maritim.
☆☆☆☆☆
No comments:
Post a Comment
Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.
BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT