Psikologis (psychological traps) Hedonic treadmill & Ilusi Pengetahuan

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Psikologis (psychological trapsHedonic treadmill & Ilusi Pengetahuan
Sebenarnya ada banyak perangkap psikologis (psychological traps) yang selama ini diketahui, akan tetapi disini Bitter Coffee Park cuma akan menjelaskan untuk beberapa saja yang Bitter Coffee Park dapat jawab.

Bitter Coffee Park tidak tahu apa padanan kata yang pas untuk istilah yang satu ini.

Tapi, sebenarnya hal tersebut adalah perangkap psikologis yang sering kita jumpai dalam kecenderungan banyak orang.

Memang ada banyak penelitian psikologi tentang kebahagiaan.

Beberapa ilmuwan ada yang memandang bahwa kebahagiaan itu seperti seseorang yang berjalan di atas treadmill, selalu terjebak di tempat yang sama tanpa pernah maju secara linear, tak peduli sekeras apapun kita berlari.

Fenomena itu disebut dengan hedonic treadmill, sederhananya adalah suatu gejala dimana kebahagiaan tidak dapat melonjak naik secara kontinu meskipun seseorang sudah mengalami perubahan yang signifikan dalam hidup.
Pernah dilakukan sebuah penelitian tentang seseorang yang baru saja memenangkan lotere senilai 10 milyar.

Pada awalnya, orang tersebut memang mengalami lonjakan kebahagiaan atas kemujuran yang diperolehnya.

Akan tetapi, setelah dievaluasi 3 bulan kemudian, level kebahagiaannya malah menurun, persis seperti ketika orang tersebut sebelum memenangkan undian.

Kebahagian justru bukanlah kondisi psikologis positif yang linear dan konstan.

Dalam perspektif ini, bukan tidak mungkin bahwa seorang pengusaha yang beromset 1 milyar tidak lebih bahagia ketimbang orang yang berpenghasilan 10 juta atau seorang karyawan yang baru saja mendapat promosi tidak lebih bahagia daripada pengangguran yang baru saja diterima kerja.

Kita seringkali menginginkan suatu hal yang tidak kita miliki, namun pada saat kita sudah memilikinya kita tidak lagi menginginkannya.

Atau mungkin karena keinginan itu selalu meminta dosis yang lebih tinggi dari sebelumnya, sebagaimana sifat alamiah manusia yang tidak pernah puas.

Kita cenderung berpikiran bahwa dengan bepenghasilan tetap 10 juta mungkin “saya akan bahagia”, akan tetapi sekalipun kita sudah meraih hal itu, tetap saja kita masih belum puas dan tidak sebahagia yang kita pikirkan sebelumnya.

Lalu timbul hasrat semu lainnya, bahwa akan lebih baik kalau “saya juga memiliki passive income, mulai berinvestasi, dan memiliki mobil pribadi”.

Akan tetapi, hal itu sebenarnya hanyalah jebakan berikutnya.

Padahal memiliki lebih banyak barang atau penghasilan serta merta tidak membuat kita lebih bahagia.

Memang ada batasan tertentu dimana pendapatan dapat memengaruhi kebahagiaan seseorang, terutama perasaan aman untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan.

Akan tetapi, setidaknya dengan mengetahui perangkap psikologis tersebut, akan membuat kita lebih sedikit memahami tentang kebahagiaan agar tidak gampang terjebak oleh lingkaran setan hedonis dan fluktuasi perasaan semu yang tidak berujung.
Sebagai individu, sebenarnya kita cuma tahu sedikit tentang dunia ini.

Seiring berjalannya waktu, pengetahuan kita memang bertambah, akan tetapi berbagai pengetahuan baru juga hadir dan terus bermunculan.

Kita pikir kita tahu lebih banyak, akan tetapi tetap saja pengetahuan sebagai seorang individu adalah terbatas dan lebih sedikit dari yang kita kira.

Kebanyakan dalam kehidupan sehari-hari, kita mengandalkan keahlian orang lain untuk hampir semua kebutuhan kita.

Dalam sebuah eksperimen sederhana, orang-orang diminta untuk menjawab tentang seberapa baik mereka memahami cara kerja resleting biasa.

Kebanyakan orang dengan penuh percaya diri bahwa mereka sangat memahaminya karena selama ini mereka menggunakan resleting hampir sepanjang waktu.

Mereka kemudian diminta untuk menjabarkan sedetail mungkin semua langkah yang terlibat dalam cara kerja resleting.

Setelah dievaluasi, sebagian besar tidak tahu (menjawab salah).

Inilah apa yang disebut oleh para peneliti sebagai Ilusi Pengetahuan.

Hal itu terjadi karena karena dua hal:
Pertama, asumsi yang keliru bahwa kita tahu banyak hal padahal tidak.
Kedua, karena kita seringkali mengklaim pengetahuan orang lain sebagai pengetahuan kita atau pengetahuan kolektif sebagai pengetahuan individu.

Kita menilai dengan salah bahwa kita pasti tahu mengenai sesuatu hanya karena itu familiar/ dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita anggap kita dapat memahami dengan sendirinya, padahal tidak demikian. Bagaimanapun, banyak orang yang tidak mau mengakui ketidaktahuan mereka.
☆☆☆☆☆
Baca Juga:

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT