Peristiwa mengerikan di istana Mataram Kartasura di awal abad 18 Masehi.

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Peristiwa mengerikan di istana Mataram Kartasura di awal abad 18 Masehi.
Satu ilustrasi dalam buku J.H. Maronier, Pictures of the Tropics, memberi gambaran peristiwa mengerikan di istana Mataram Kartasura di awal abad 18 Masehi. Susuhunan Amangkurat III (bertakhta 1703-1708) , yang juga dikenal sebagai Amangkurat Mas, menitahkan sekaligus menyaksikan eksekusi mati permaisurinya, Raden Ayu Lembah (Kanjeng Ratu Lembah).

Sang ratu, putri Pangeran Puger yang kelak menjadi raja Mataram bergelar Sunan Pakubuwono I, dibunuh bersama kekasih gelapnya, Raden Sukro, putra Adipati Sindurejo. Lembah dibunuh oleh saudara laki-lakinya sendiri dengan seutas jarik mencengkeram lehernya. Ia mati terbunuh bersama dengan para embannya di kaputren yang dilemparkan telanjang di kandang macam untuk jadi santapan harimau-harimau Jawa.

Ilustrasi yang aslinya dibuat pelukis Jawa-Tionghoa pada 1703 di keraton Kartasura itu menunjukkan muka bengis Sunan Mas, dibawah payung emas, yang tampak puas atas keputusannya itu.

Sementara Babad Tanah Jawi memberi kisah sedikit berbeda dan penuh haru (W.L. Oltholf, 2011: 548-554). Pembunuhan atas Raden Ayu Lembah justru dititahkan oleh ayahnya sendiri, Pangeran Puger, di ndalem Pugeran.

Sunan Mas belumlah menjadi raja dan masih menjadi Adipati Anom (putra mahkota). Ia membuat surat aduan kepada Puger, pamannya, bahwa anak perempuan Puger yang telah dinikahinya itu telah minggat serta selingkuh dengan Raden Sukro.

Puger marah ketika mendapati anak perempuannya itu menyimpan surat kekidungan kiriman Raden Sukro dan segera menitahkan pembunuhan. Raden Sudiro dan adiknya, Raden Ontowiryo, segera diutus Puger untuk membunuh kakaknya itu. Mereka ragu menjalankan perintah ini hingga Ontowiryo harus bolak-balik menghadap ayahnya untuk mengubah keputusan itu.

Tapi keinginan Puger sudah jelas, barangsiapa tak mau melaksanakan titahnya akan kena kutukan. Raden Sudiro, Ontowiryo dan Ayu Lembah menangis. Mereka saling berpelukan sebagai tanda perpisahan.

Lembah mempersiapkan diri menyambut kematiannya. Ia mandi, berdandan dan memakai wewangian lalu duduk menutup muka. Adik-adiknya segera menjerat lehernya dengan kain. Yang lain memegangi tangan dan kaki Lembah. Dengan semakin kencangnya ikatan kain diiringi dengan airmata yang keluar dari mata adik-adiknya, nyawa Raden Ayu Lembah lenyap.

Sekalipun gambaran-gambaran yang diberikan sedikit berbeda, karena Babad Tanah Jawi mengabarkan secara terpisah pembunuhan Raden Sukro yang ditusuk keris beramai-ramai di ndalem Sindurejan oleh para algojo Sunan Amangkurat II, tetapi semuanya tetaplah sama: cinta terlarang Raden Ayu Lembah dan Raden Sukro dianggap aib yang amat memalukan kalangan istana Kartasura. Hubungan mereka dianggap sebagai satu tindak pembangkangan hingga kematian mereka menjadi satu keputusan yang dianggap benar.

Tubuh Raden Ayu Lembah yang sudah tak lagi bernyawa itu segera dibawa dan dibenamkan di pasareyan Banyusumurup. Itulah satu tempat dimana priyayi-priyayi Mataram, hingga penerusnya di Yogyakarta dan Surakarta, tak pernah sudi dimakamkan di sana.

Tempat terakhir kaum kraman
Babad Alit, terutama bagian yang banyak menjelaskan tentang makam Mataram, menyebut bahwa "semua yang dimakamkan di sana, merupakan orang-orang yang telah berbuat dosa terhadap raja" (R. Prawira Winarsa dan Raden Ngabei Jayeng Pranata, 1921: 34). Banyusumurup menjadi pemakaman khusus (pasareyan mirunggan). Tak dapat dipastikan sejak kapan Banyusumurup menjadi tempat pemakaman para "pendosa" Mataram.

Pembangunannya tak juga pernah diberitakan secara khusus seperti dua pemakaman di sebelah utara: makam raja-raja Imogiri yang dibangun Susuhunan Hanyakrakusumo (Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo, bertahta 1613-1646) serta yang lebih tua, pemakaman Giriloyo, yang ditempati pertama kali oleh jasad Panembahan Juminah, paman Sultan Agung.

Para "pendosa" raja yang berada di Banyusumurup umumnya para pejabat tinggi, atau keluarga raja, yang dianggap tak dikehendaki, atau mereka yang memberontak (kraman). Dengan demikian, Banyusumurup menjadi semacam monumen pengingatan kebencian-kebencian penguasa Mataram, dan penerusnya, terhadap siapa saja di kalangan istana yang dianggap "musuh".

Di sisi lain,pasareyanBanyusumurup sekaligus juga sebagai penanda kekejaman-kekejaman penguasa Mataram, berikut penerusnya, terutama Kasultanan Yogyakarta, terhadap orang-orang yang tidak diinginkan.

De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Matarammencatat kisah Raden Aryo Wirokusumo, putra Panembahan Juru Kiting. Kisah tradisi mencatat namanya sebagai Raden Mas Sasmitro Sastro (H.J. de Graaf, 1990: 90). Keluarganya masyur sebagai trah Mondorakan, keluarga patih pertama Mataram, Kyai Mondoroko (Ki Juru Mertani). Kyai Mondoroko bertempat di Gambiran dan tampaknya diberi hak memimpin "kota lama" Kutha Gede selepas Sultan Agung memindahkan ibukota Mataram lebih ke selatan, Karta.

Juru Kiting punya jasa besar dalam penaklukan Madura pada 1624. Sasmitro Sastro dianggap sebagai cikal bakal juru kunci Imogiri, tetapi ia dikuburkan--tidak di Imogiri maupun di Gambiran--di Banyusumurup. De Graaf memberi alasannya mengapa Sasmitro Sastro "terlempar" ke Banyusumurup: mungkin karena ada kaitan dengan tingkah polah kerabatnya dari trah Mondorakan yang lain, Adipati Mandurorejo dan Upo Sonto.

Nama yang pertama dicurigai ikut terlibat dalam pemberontakan Pajang pada 1617. Kedua-duanya akhirnya dihukum mati, melalui tangan Tumenggung Suro Agul-agul, oleh Sultan Agung pada 1 Desember 1628, saat pasukan Mataram gagal merebut benteng Batavia pada fase pertama.

Kisah kerabat keraton Mataram yang terkubur di Banyusumurup dan paling tragis adalah kisah pembantaian keluarga Pangeran Pekik. Pekik merupakan adik ipar Sultan Agung. Ia juga mertua Susuhunan Amangkurat Agung (Amangkurat I, bertahta 1646-1677). Sekaligus ia adalah kakek Adipati Anom yang akhirnya menjadi Amangkurat Amral/Amangkurat II (bertahta 1677-1703).

Posisinya yang penting di keraton Mataram tak menjamin keselamatan jiwanya berikut keluarganya.

Satu berita dari Daghregister(catatan harian) Batavia tertanggal 7 Maret 1659, seperti dikutip de Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram, mengabarkan bahwa Susuhunan "telah menyuruh bunuh dengan keris Pangeran Surabaya [...] bapak mertua dan iparnya, dan juga kakak perempuannya dan anak perempuannya yang dikawininya, beserta tujuh orang putra-putranya di Mataram" (H.J. de Graaf, 1987:6).

Tanpa pengusutan terlebih dahulu, selepas Susuhunan Amangkurat Agung mendengar laporan bahwa Pangeran Pekik memimpin komplotan percobaan pembunuhan Susuhunan, petinggi-petinggi istana dikirim ke rumah Pekik dengan tujuan mempersembahkan kepala-kepala komplotan gelap itu di hadapan Susuhunan.

Perwakilan VOC di Jepara, Evert Michielsen, melaporkan pembunuhan itu terjadi pada 21 Februari 1659 dan lebih dari 60 orang terbunuh. Amangkurat Agung belum puas. Ia masih memburu keluarga Pekik yang lain, seperti Raden Sejonopuro.

Selepas tahun 1659, Amangkurat terus memburu petinggi istana yang dicurigainya. Tindakan Susuhunan membikin gempar istana, juga Kumpeni. Michielsen, dengan muak dan ketakutan, menulis "Semoga pada suatu saat ia jenuh mengalirkan darah orang" (H.J. de Graaf, 1987: 11).

Tampaknya harapan itu tak terwujud karena pada akhir 1669, paman Susuhunan sendiri, Pangeran Silarong, akhirnya juga dibunuh karena pernah dianggap "mencoba bersikap lebih berkuasa daripada Sri Baginda" (H.J. de Graaf, 1987: hlm.32). Jasadnya segera diistirahatkan di Banyusumurup yang suram.

Sementara jasad-jasad keluarga Pekik yang terbunuh terlebih dahulu juga dikirim ke Banyusumurup. Kemungkinan sejak jenazah keluarga Pekik dimakamkan di sana, pasareyanBanyusumurup secara resmi digunakan sebagai tempat terakhir kaum kraman beristirahat. Makam Pangeran Pekik berikut kerabatnya menjadi makam-makam utama, tetapi mereka bukan yang terakhir.

Semenjak keraton Plered jatuh ke tangan aliansi Trunajaya-keluarga Kajoran pada 28 Juni 1677, serta Amangkurat II telah naik takhta dan membangun keraton barunya di alas Wonokerto (Kartasura), gangguan-gangguan kaum kraman masih terus berlanjut. Selepas terbunuhnya ulama-ningrat karismatik Panembahan Romo di Melambang (Wonogiri) oleh pasukan Jan Albert Sloot pada 14 September 1679, keluarga Kajoran masih melakukan perlawanan untuk meruntuhkan kuasa Amangkurat II di Kartasura hingga akhir tahun 1683 (H.J. de Graaf, 1987/88: 97-99).

Orang-orang Kajoran pimpinan Raden Kartonadi -keponakan Panembahan Romo- serta Raden Kartonegoro -anak Panembahan Romo- menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan pimpinan Kyai Wonokusumo (keturunan Giring-Tembayat) di pegunungan selatan. Perlawanan mereka akhirnya dapat dipadamkan oleh Susuhunan dibantu Kumpeni.

Raden Kartonadi beserta Raden Kartonegoro yang semakin terdesak, akhirnya terbunuh pada Juni 1683. Sementara pada November 1683, perlawanan Kyai Wonokusumo juga telah padam, sekalipun berita tentang sisa-sisa laskarnya masih terdengar hingga 1685.

Jasad-jasad para pemimpin kaum pemberontak yang tersisa itu, Raden Kartonadi dan Kartonegoro, disemayamkan di Banyusumurup. Raden Wirokusumo -anak Panembahan Romo yang lain0 serta Kyai Wonokusumo juga dimakamkan di Banyusumurup karena nama-nama itu ada dalam daftar nama "penghuni" Banyusumurup.

Mereka yang dipulihkan
Bukan berarti bahwa seluruh "pembangkang" yang menghuni Banyusumurup harus berada di tempat yang muram itu selamanya. Ada koreksi yang dilakukan para penguasa, terutama keraton Kasultanan Yogyakarta, atas apa yang telah dilakukan terhadap petinggi-petinggi keraton yang dibenci.

Hingga awal abad 19, Banyusumurup masih dipergunakan Sultan Hamengkubuwono II (dikenal juga sebagai Sultan Sepuh, bertahta 1792-1810; 1811-12; 1826-28).

Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, menyebutkan petinggi-petinggi keraton Kasultanan Yogyakarta mengalami nasib buruk: terbunuh lalu jasadnya "ditanam" di Banyusumurup. Di keraton, dua petinggi yang masuk golongan Karajan(para pendukung putra mahkota) harus menemui ajal terlalu dini akibat kemarahan Sultan Hamengkubuwono II.

Raden Adipati Danurejo II, patih Yogyakarta (menjabat 1799-1811) yang masih berusia 39 tahun, pada 28 Oktober 1811 dipanggil ke keraton lalu diringkus oleh tujuh pejabat tinggi istana atas suruhan Sultan. Lehernya dijerat dengan kain putih hingga mati. Dengan diam-diam, jasadnya lalu "dibuang" ke Banyusumurup.

Nasib serupa menimpa ayah sang patih, Raden Tumenggung Danukusumo I. Ia sesungguhnya penasehat Sultan dan pernah menjabat panglima pasukan kasultanan di Srondol (Semarang).

Tetapi karena kebencian Sultan yang tak bisa diredam, Danukusumo yang awalnya diasingkan ke Pacitan pada 15 Januari 1812, akhirnya dibunuh di sebuah langgar di tepi jalan. Mayatnya, yang telah dikuburkan, dibawa kembali ke Yogyakarta untuk mengalami nasib yang tak lebih baik: jasadnya akhirnya juga dimakamkan di Banyusumurup.

Kisah yang paling tragis adalah kisah pemberontakan Raden Ronggo Prawirodirdjo III, Bupati Wedono Madiun (menjabat 1796-1810). Menantu Sultan Hamengkubuwono II yang masih berusia 31 tahun dan karismatik ini harus menemui ajal akibat ketegangan Sultan dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.

Ia memberontak untuk "menyingkirkan kecemaran dari Jawa" (Peter Carey, 2011:285) saat pergi meninggalkan keraton Yogyakarta pada 21 November 1810. Dukungan-dukungan yang diharapkannya tak pernah didapatkan dan belum genap sebulan, Raden Ronggo bersama wakilnya, Tumenggung Sumonegoro, terbunuh di tepi kali Bengawan Solo pada 17 Desember 1810.

Jasad keduanya dimandikan dan dibungkus kain putih, lalu dibawa ke Yogyakarta untuk dipermalukan. Pada 21 Desember, dalam sebuah keranda terbuka yang digantungkan, jasad Raden Ronggo dan Sumonegoro dipertontonkan di muka umum di Pangurakan Alun-alun Utara, layaknya mayat kaum kriminal pendosa yang dipertontonkan.

Sehari setelahnya, kedua tubuh tak bernyawa itu dibawa ke "pekuburan para pengkhianat". Mungkin kepala Raden Ronggo dipenggal karena Babad Alitmenyebut kotak bekas tempat menaruh kepala Raden Ronggo tersimpan di Banyusumurup.

Keabadian memang tak menyapa ketiga petinggi keraton Yogyakarta itu di Banyusumurup. Nama baik Tumenggung Danukusumo I terlebih dahulu dipulihkan dengan pemindahan jasadnya pada 27 November 1812 ke pemakaman keluarga di Melangi atas perintah Sultan Hamengkubuwono III (bertahta 1810-11; 1812-14).

Sementara anaknya, Raden Adipati Danurejo II baru dipulihkan namanya oleh Sultan Hamengkubuwono IV (bertahta 1814-1822). Sisa-sisa jasadnya dipindahkan ke makam Melangi pada 11 Mei 1865.

Sementara sisa-sisa kerangka Raden Ronggo Prawirodirdjo III baru dipindahkan dari Banyusumurup pada 1957 atas perintah Sultan Hamengkubuwono IX (1939-1988). Jasad Raden Ronggo akhirnya bersatu dengan jasad istri yang amat dikasihinya, Ratu Maduretno, di Gunung Bancak dekat Maospati, setelah lebih dari satu abad terpisah.

Ingatan tentang pasareyan Banyusumurup nampaknya akan selalu sama sejak tempat itu dijadikan pemakaman khusus bagi kalangan keraton Mataram dan penerusnya: tempat para "pendosa-pendosa" Mataram harus dibenamkan.

Bahkan, dimasa Perang Jawa, juru kunci Banyusumurup, Kyai Semangun, berhubungan dengan Pangeran Diponegoro. Satu hubungan yang mempertegas tempat ini sebagai tempat "pembangkangan".

Akhirnya, fungsi tempat ini jauh berlainan dengan makna magis namanya, Banyusumurup, yang berarti "air yang bercahaya". Di sana, jasad-jasad yang terkubur itu justru mengalami nasib yang suram dan menyedihkan.
☆☆☆☆☆

Baca Tags Terkait:

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT