Perjanjian Giyant (Peasantization Islam atau Petanisasi Islami)

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Perjanjian Giyant (Peasantization Islam atau Petanisasi Islami)
Di masa lalu, kerajaan-kerajaan lokal tersebut menjadi sarana pembentukan corak masyarakat, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. 

Sarana pembentukan corak masyarakat dalam proses integrasi tersebut, hingga saat ini masih terasa pengaruhnya, meskipun hanya tinggal pada dimensi kehidupan budaya (culture) dan tradisi masyarakat. 
Hampir semua bekas pusat-pusat kerajaan ini masih menjadi penjaga tradisi (tradition) dan budaya setempat, dan masyarakat tetap menganggapnya sebagai warisan budaya yang amat tinggi (adiluhung) yang perlu dilestarikan. 

Di antara kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara yang perlu mendapat perhatian adalah Kasunanan Surakarta. 

Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Jawa Islam yang berkedudukan di kota Surakarta. 

Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, dan Pura Pakualaman, dipandang sebagai pewaris kerajaan Mataram Islam yang hingga kini tetap mempertahankan budaya dan tradisi masa lalunya. 
Keraton Surakarta yang didirikan oleh Sunan Paku Buwana II pada tahun 1745, pada awalnya merupakan pusat pemerintahan kerajaan Mataram secara keseluruhan.

Namun, akibat dari peristiwa palihan nagari yang ditandai dengan adanya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 menjadikan kerajaan Mataram selanjutnya dibagi menjadi dua, yaitu:
  1. Kasunanan Surakarta di bawah pemerintahan Sunan Paku Buwana III dan 
  2. Kasultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi).
Sejak saat itu, keraton Surakarta hanya menjadi ibukota kerajaan atau Kasunanan Surakarta dan berkuasa atas separoh wilayah kerajaan Mataram Islam. 

Dalam perkembangan selanjutnya, Kasunanan Surakarta ini dapat bertahan hingga kini, dan keraton Surakarta telah menjadi saksi pergantian raja atau sunan yang bertahta dari Sunan Paku Buwana III hingga Sunan Paku Buwana XIII sekarang ini. 

Kasunanan Surakarta secara formal merupakan suatu kerajaan Islam. 

Ciri sebagai kerajaan Islam dapat dicermati dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama, dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum atau ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama oleh Sunan, dan keberadaan Masjid Agung di lingkungan keraton. 

Di samping itu pula banyak upacara keraton yang mencerminkan sifat Islami, karena didasarkan pada peringatan hari raya atau peristiwa keagamaan Islam, dan perhitungannya didasarkan pada kalender Islam yang telah dijawakan. 

Keberadaan upacara grebeg misalnya seperti grebeg pasa yang dikaitkan dengan berakhirnya ibadah puasa Ramadhan dan menyambut hari raya Idul Fitri merupakan salah satu contohnya:
  1. Grebeg besar yang dikaitkan dengan peringatan hari raya Idul Qurban dan 
  2. Garebeg mulud yang dikaitkan dengan peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
merupakan bukti tradisi keislaman (islamic tradition) yang terdapat pada Kasunanan Surakarta.

Penyebaran agama Islam di Surakarta memang tidak bisa dilepaskan dari proses penyebaran Islam di Jawa. 

Cerita tutur yang hingga kini masih dipercaya oleh masyarakat Jawa menjelaskan bahwa yang menyebarkan agama Islam adalah para wali, yang kemudian dikenal dengan sebutan wali songo karena jumlahnya sembilan. 

Meskipun bukti-bukti arkeologis  yanh menunjukkan, seperti ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bahwa Islam sudah masuk ke tanah Jawa sejak abad ke-XI, namun baru mendapatkan pengaruh yang besar pada awal abad XV. 

Proses Islamisasi Jawa dimantapkan dalam masa Kasultanan Demak dan Pajang serta Mataram Awal. Penganjur terkenal dalam usaha penyebaran Islam ini adalah para Wali (Walisanga).

Dalam bidang kepercayaan, para Wali dengan segala kebijaksanaannya, telah berusaha ke arah penyatuan pandangan, serta mempertahankan kewibawaan Kesultanan Demak. 

Dengan dasar kepercayaan, mereka menyangka akan mudah dibangkitkan perasaan persatuan. 

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, para Wali sendiri terpecah ke dalam dua kelompok, yaitu:
  1. Kelompok Tuban dan 
  2. Kelompok Giri. 
1. Kelompok Tuban
Dipimpin oleh Sunan Kalijaga yang pro Pedalaman dan menerima tradisi Jawa Hindu Majapahit di dalam kultur Islam. 
2. Kelompok Giri
Dipimpin oleh Sunan Giri Parapen, yang tidak menghendaki masuknya adat tradisi Jawa Hindu Majapahit ke dalam kultur Islam. 

Bahkan secara tegas, Wertheim menunjukkan bahwa pengaruh psikologis dan sosial religius Islam tampak, meskipun rakyat memeluk Islam, namun mereka pada umumnya masih bertindak sesuai dengan adat tradisi Jawa Hindu Majapahit

Perasaan harga diri dan solidaritas yang diajarkan oleh Islam akan mengancam kedudukan penguasa feoda.

Sebagai akibat dari hal tersebut, timbullah gerakan sosial religius, yang di dalam tradisi babad (babad tradition), banyak disamarkan di dalam bentuk cerita kias. Misalnya cerita keris di dalam Babad Demak. 

Di dalam cerita kias tentang keris tersebut juga diceritakan peranan Sunan Kalijaga dengan Mpu Supa, seorang ahli pembuat keris. 

Cerita-cerita tersebut merupakan gambaran derasnya tumbuhnya gerakan sosial religius, yang menolak terjadinya perubahan secara radikal dan menyeluruh. 

Bahkan, ada di antaranya yang bernada gerakan Ratu Adil, seperti tampak dalam Gerakan Syekh Siti Jenar. 

Selain soal cerita gerakan sosial religius, sang penulis beserta tim penyusun buku ini juga mampu memotret dengan baik kehidupan tradisi dan budaya Islam dalam masyarakat Kasunanan Surakarta. 

Secara historis, kedatangan awal Islam masuk ke tanah Jawa melalui jalur kota-kota pantai di utara pulau Jawa. 

Kemudian, penyebaran agama Islam semakin meluas sejalan dengan semakin berkembangnya hubungan perdagangan antara kota-kota pantai Jawa dengan kota-kota lain di Asia. 

Para pedagang muslim baik dari India, Timur Tengah maupun Cina, ada sebagian yang menetap di Jawa, yang kemudian memunculkan komunitas-komunitas Islam. 

Oleh karena didukung oleh komunitas pedagang, maka Islam yang ada di kota-kota pantai Jawa lebih bersifat kosmopolitan dan puritan. 

Dalam perkembangannya, Islam kemudian mulai masuk ke pedalaman Jawa atas jasa para tokoh penyebarnya (wali) yang sebagian besar adalah orang Jawa. 

Masyarakat pedalaman Jawa yang sebagian besar adalah petani tentu saja membuat para tokoh penyebar ini menyesuaikan diri dengan sifat-sifat dan budaya pedesaan. 

Para tokoh penyebar Islam ini kemudian mengembangkan adaptasi budaya ke berbagai adat dan tradisi petani Jawa, sehingga Islam bisa diterima di pedalaman.

Diterimanya agama Islam oleh masyarakat petani Jawa memberikan warna tersendiri bagi kehidupan ritual, karena banyak tradisi dan adat asli Jawa yang diambil dan dipertahankan, Islam yang awalnya bersifat kosmopolitan dan didukung komunitas pedagang sebagaimana yang ada di kota-kota pantai, maka ketika masuk ke pedalaman Jawa berubah menjadi Islam perdesaan yang berbasis tradisi budaya petani. 

Proses inilah yang kemudian disebut sebagai peasantization Islam atau petanisasi Islam. 

Berkaitan dengan pola-pola yang terdapat dalam kebudayaan tersebut, kebudayaan Jawa dengan ketujuh unsur budaya universal seperti:
  1. bahasa, 
  2. sistem pengetahuan, 
  3. organisasi sosial, 
  4. sistem peralatan hidup dan teknologi, 
  5. sistem tata pencaharian hidup, 
  6. sistem religi, dan 
  7. kesenian.
maka akan mencakup daerah yang luas, terutama di Jawa bagian Tengah dan Timur.

Dalam pemakaian bahasa, yang disebut bahasa Jawa, orang Jawa membedakan ke dalam bahasa tinggi atau bahasa priyayi, dan bahasa rendah atau bahasa wong cilik. 

Di dalam tata pergaulan, baik lisan maupun tulisan/ tertulis, bahasa Jawa mengenal bahasa yang bertingkat-tingkat; misalnya:
  • ngoko, 
  • krama, 
  • bahasa istana (basa kedhaton, basa bagongan), dan 
  • bahasa kasar yang masing-masing masih terbagi lagi menjadi bagian-bagian yang lebih rinci.
Pemakaian bahasaa itu disesuaikan dengan tingkat sosial, pengetahuan, dan keterampilan seseorang di dalam masyarakatnya. 

Di dalam adat dan tradisi Jawa yang bersifat 
  • sosial, misalnya, 
  • gotong royong, 
  • kerukunan, 
  • penghormatan, dan 
  • tata pergaulan.
sedang yang bersifat religius terwujud di dalam bentuk-bentuk upacara ritual, seperti slametan, ruwatan, tradisi ritual istana, dan sebagainya. 

Dalam alam Kejawen, tradisi ritual itu sampai sekarang, dalam kehidupan modern ini masih tetap terpelihara dengan baik, bahkan ada niat untuk tetap mempertahankan eksistensinya. 

Kata slamet mengandung makna keselamatan atau terwujudnya hubungan yang harmonis, baik antara manusia dan manusia, manusia dan alam, manusia dengan makhluk gaib, maupun manusia dengan Tuhannya. 

Semua ini tercermin dari prosesi ritual slametan, di mana yang diundang tidak hanya saudara, teman, dan tetangga, melainkan juga mereka yang sudah meninggal dan makhluk gaib yang ada di sekitarnya.

Slametan bisa dilaksanakan untuk berbagai keperluan, mulai dari peringatan siklus hidup manusia, siklus penanaman padi hingga mendirikan pabrik, bersih desa, dan ruwatan nagari. 

Dalam konsep Jawa, slametan dibutuhkan masyarakat agar kondisi kembali dalam keadaan seimbang dan harmonis tanpa gangguan. 

Perlu dicatat juga berkaitan dengan hal tersebut di atas, bahwa wajah Islam pedalaman yang sinkretik, sebagaimana yang banyak dipraktekkan oleh masyarakat Kasunanan Surakarta, kadang juga bisa memiliki sifat radikal. 

Dalam perjalanan sejarahnya, gerakan-gerakan radikal yang diilhami oleh semangat Islam sudah terjadi di Surakarta sejak pemerintahan Paku Buwana IV.

Terjadinya peristiwa pakepung
Terbentuknya jaringan kiai dan ulama Surakarta yang ikut berjuang bersama Pangeran Dipanegara, lahirnya Sarekat Islam, hingga gerakan radikalisme Islam kontemporer merupakan sebuah keberlanjutan yang terus menerus terjadi di tengah masyarakat Surakarta yang sifat keagamannya dipandang sinkretik. 

Adapun dalam gaya hidup (life style) pada orang Jawa tampak gaya hidup priyayi yang sangat kuat.

Gaya priyayi yang dimaksud adalah suatu gaya yang ingin mempertahankan keharmonisan, keseimbangan, keselarasan, kehalusan budi pekerti manusia Jawa, serta ada upaya untuk menguasai orang lain, tabah dalam penderitaan, setia pada janji seperti:
  • sifat seorang ksatria, dan bersikap alon-alon angger kelakon, 
  • narima ing pandum (menerima takdir Allah), 
  • pasrah ngalah (berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan). 
Dalam bidang religi, orang Jawa mayoritas mengaku sebagai orang Islam, baik Islam santri maupun Islam Abangan atau Islam Kejawen.

Sebagian kecil ada yang menganut agama Nasrani, Hindu, Budha, dan penganut paham kepercayaan dan kebatinan, serta agama kerakyatan (animisme, dinamisme, fetisisme, dan sejenisnya). 

Mereka percaya adanya makhluk halus yang mereka sebut dhemit, lelembut, gendruwo, tuyul, memedi, jin, setan, wedhon, wewe, banaspati, kemamang, dan sebagainya.

Kajian historiografi di dalam buku ini sebagaimana diungkapkan Abdurrahman Mas’ud memberi informasi penting tentang kekayaan khazanah budaya keagamaan, sehingga dapat menjadi pijakan bagi proses pembuatan kebijakan (policy maker) publik tentang strategi kebudayaan (culture strategy). 

Mereka yang abai kajian historiografi (kesejarahan), berarti lupa kekayaan diri sendiri. 

Apa yang ditulis dalam buku ini cukup penting, terutama bagi generasi muda milenial dalam mengenal khazanah budaya keagamaan masa silam yang kaya akan kearifan lokal (local wisdom) dan penuh makna yang mendalam serta menggugah.
☆☆☆☆☆

Baca Tags Terkait:

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT