Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Kewaskitaan Organisasi Para Santri
Penempaan hidup komprehensif yang dihadapi dan dilakukan oleh santri di pondok pesantren turut membentuk karakter, akhlak, kelimuan, bahkan kebudayaan dan peradaban yang mengakar luas dan menyatu dengan pilar-pilar kehidupan masyarakat.
Hal ini tidak terlepas dari peran keagamaan dan peran sosial para kiai, sosok panutan dan samudera ilmu sumber para santri berproses penuh ketekunan di pondok pesantren sehingga berdampak luas dalam diri kehidupan para santri.
Tradisi keilmuan seorang kiai yang diserap oleh santri tidak hanya untuk mengisi aspek eksoteris saja, tetapi aspek esoteris atau batin di mana santri diajarkan untuk peka dan tajam dalam melihat dan memahami realitas kehidupan di tengah masyarakat.
Inilah yang disebut KEWAKITAAN SANTRI
Kewaskitaan nyata terlihat dalam diri seorang santri bernama Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Tidak sedikit orang yang menilai, Gus Dur merupakan sosok yang mampu weruh sadurunge winarah (mengetahui sebelum sesuatu terjadi).
Proses belajar tersebut merupakan tempaan lahir dan batin yang didapat santri dari para guru dan kiainya di pesantren. Bahkan, lewat tempaan yang beradab, santri mampu menciptakan dan mengembangkan peradaban lewat keahlian-keahlian di berbagai bidang. Mindset masyarakat yang menilai santri hanya paham ilmu agama terbantahkan dengan kiprah luas di segala lini kehidupan pada era milenial saat ini.
Kewaskitaan ini perlu diperluas melalui literasi sehingga memunculkan inspirasi bagi generasi masa depan melalui pengalaman dan cerita-cerita berharga saat nyantri dulu. Kisah-kisah tersebut merupakan salah satu upaya menebar kewaskitaan melalui pojok-pojok kehidupan pesantren.
Banyak ikhtiar yang perlu diperbuat dalam penggalian mutiara-mutiara terpendam di berbagai ruang dan pojok-pojok pesantren, memotret pengalaman pribadi, membaca santri yang telah berkiprah luas di tengah masyarakat, bahkan kontekstualisasi kehidupan santri ketika dihadapkan oleh pesatnya era teknologi digital. Budaya literasi di pesantren menjadi modal dan bekal penting santri menghadapi perkembangan zaman.
Sebab itu, santri tidak pernah gagap ketika ‘tsunami’ informasi membanjiri jagat dunia maya. Santri tidak mudah termakan hoaks (berita palsu) karena budaya literasi yang kokoh telah terbangun. Benteng santri dalam menghadapi derasnya arus informasi juga terjaga dengan lekatnya budaya tabayun yang didapat di pesantren. Mereka tidak begitu saja terpengaruh polemik, lalu melakukan justifikasi buta terhadap sebuah kontroversi yang muncul.
Ngaji dengan sistem sorogan turut menciptakan budaya tabayun ini. Dalam sistem tersebut, selain mengonfirmasi keterangan-keterangan atau catatan-catatan (ngapsahi) kiainya saat membahas sebuah kitab dengan cara membaca ulang, santri juga mempunyai ruang diskusi dan bertanya kepada kiai soal tema yang dibahas. Bahkan santri melakukan kontekstualisasi mengenai persoalan kehidupan sehari-hari terkait tema yang sedang dibahas.
Rumah Ranah Santri
Pemandangan yang sangat arif dan waskita mengenai kehidupan para santri.
Pemandangan yang cukup unik dan menggelitik saat itu ketika penulis melihat beberapa santri sedang muthola’ah kitab kuning di depan kamarnya di lantai dua layaknya sebuah balkon rumah.
Saking khusyuknya, mereka (santri) sampai tertidur dengan posisi terduduk, ada juga yang dalam posisi berbaring.
Mereka tertidur bukan di lantai, tetapi di sebuah kayu yang menjadi pembatas kamar.
Mereka tidak khawatir terjatuh seperti ada kekuatan batin yang mengaitkan mereka untuk tetap pada ‘tempat’ tidurnya itu.
Mereka tertidur bukan di lantai, tetapi di sebuah kayu yang menjadi pembatas kamar.
Mereka tidak khawatir terjatuh seperti ada kekuatan batin yang mengaitkan mereka untuk tetap pada ‘tempat’ tidurnya itu.
Kemurnian para santri dalam mengabdi dan menimba ilmu kepada Ulamanya yang tidak pernah surut.
Bagi mereka, suatu kebahagiaan dan keberkahan tidak ternilai bisa menggandeng Kyai sepuh setiap hari menuju masjid tempat Shalat.
Bagi mereka, suatu kebahagiaan dan keberkahan tidak ternilai bisa menggandeng Kyai sepuh setiap hari menuju masjid tempat Shalat.
Di sejumlah pesantren, perilaku santri membetulkan sandal agar siap pakai memang bukan hal baru.
Bahkan para santri sering melakukan tradisi tersebut ketika kiainya didatangi para tamu.
Bahkan para santri sering melakukan tradisi tersebut ketika kiainya didatangi para tamu.
Ketika Seorang Kyai keluar masjid selesai mengimami Shalat, salah seorang santri bahkan secepat kilat datang di hadapan Kyai tersebut untuk memakaikan sandal di kakinya.
Dari pemandangan tersebut, tampak jelas pesantren tidak hanya berisi samudera ilmu, tetapi juga penuh dengan gunungan akhlak mulia yang tertanam begitu dalam pada diri para santri.
Dari pemandangan tersebut, tampak jelas pesantren tidak hanya berisi samudera ilmu, tetapi juga penuh dengan gunungan akhlak mulia yang tertanam begitu dalam pada diri para santri.
Dalam persoalan menimba ilmu, dimana ilmu itu harus didatangi oleh manusia, karena ia tidak mendatangi.
Sebab itu, santri yang belajar di pesantren atau siapa pun yang berniat mencari dan memperdalam ilmu merupakan hal yang mulia.
Apalagi sekaligus menelusuri sanadnya sehingga ilmu itu nyambung hingga ke pucuk sumber yang shahih, yaitu Nabi Muhammad.
Sebab itu, santri yang belajar di pesantren atau siapa pun yang berniat mencari dan memperdalam ilmu merupakan hal yang mulia.
Apalagi sekaligus menelusuri sanadnya sehingga ilmu itu nyambung hingga ke pucuk sumber yang shahih, yaitu Nabi Muhammad.
Tidak hanya terkait esensi ilmu yang harus ditimba manusia secara terus menerus, tetapi juga berbagai persoalan bangsa maupun penjelasan sejarah.
Terkait dengan persoalan kebangsaan dan politik yang terus mengalami turbulensi, diharapkan agar tidak semua orang ikut larut dalam permasalahan sehingga melupakan tugas terdekatnya sebagai manusia.
Hal ini akan berdampak pada ketidak seimbangan hidup dan kehidupan itu sendiri.
Hal ini akan berdampak pada ketidak seimbangan hidup dan kehidupan itu sendiri.
Seorang santri harus mampu menjaga tali silaturahim, utamanya kepada guru-guru dan kiai-kiai sepuh dalam menyikapi setiap persoalan bangsa maupun konflik yang sering terjadi di tubuh organisasi dan lingkungan masyarakat sekitar.
Marwah kiai dan pesantren merupakan ruh di tubuh organisasi para santri. Sehingga setiap persoalan yang datang di tubuh Organisasi, hendaknya diselesaikan dengan musyawarah dan disowankan terlebih dahulu kepada para kiai sepuh yang tentu pandangannya lebih luas, arif, waskita.
Baca Juga:
- Alasan Kerennya Jadi Santri
- Dakwah Ala Santri Nusantara
- Dakwah Islamiyah Yang Relevan Di Ponpres
- Identitas Santri Dengan Karakter Yang Ramah
- Ideologi Santri Nusantara
- Kewaskitaan Organisasi Para Santri
- Memerangi Kemunafikan Ala Santri
- Santri Tidak Boleh Berbuat Sekehendaknya
- Sikap Santri Di Era Generasi Millenial
- Tantangan Dakwah Santri Zaman Mellennial
Ikhtiar inilah yang dapat mewujudkan Kewaskitaan Organisasi Para Santri selain memperteguh pendidikan pesantren beserta khazanah keilmuannya.
Wallahu’alam bisshowab.
☆☆☆☆☆
No comments:
Post a Comment
Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.
BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT