Memerangi Kemunafikan Dapat Mempersatukan Islam

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Memerangi Kemunafikan Dapat Mempersatukan Islam
Dalam Islam, munafik merupakan perbuatan tercela dan suka memecah belah. Ada tiga tanda-tanda seseorang akan disebut sebagai seorang munafik.

  1. Yang pertama, bila berkata dia berbohong artinya seseorang yang suka berbohong dan tidak jujur dalam berkata, ia bisa disebut sebagai seorang munafik. 
  2. Tanda yang kedua, seseorang bisa dikatakan munafik jika sering mengingkari janji, setiap membuat janji dengan seseorang, ia tidak pernah menepati janjinya. 
  3. Sementara tanda munafik yang ketiga ialah ketika dipercaya selalu berkhianat. Dia tidak bisa memegang kepercayaan atau amanah yang sudah diberikan kepada dirinya.

Zaid bin As-Samin, seorang Yahudi di Madinah, sedang gundah gulana. Ia tak pernah mengira dituduh sebagai pencuri. Terbayang, hukum potong tangan akan segera dijatuhkan. Apalagi penuduhnya orang-orang Islam dari golongan Anshar: mereka yang menolong dan memenangkan Nabi Muhammad SAW.

Sementara ia yang beragama Yahudi, termasuk kelompok minoritas di Madinah saat itu. Secara kekuatan politik dan sosial, Zaid tidak memiliki backing yang kuat, dibanding para penuduhnya. Apalagi bukti barang curian seperti baju perang juga ditemukan di rumahnya. Ia merasa takkan bisa terbebas dari jeratan tuduhan.

Zaid tidak habis pikir dengan tuduhan itu, padahal ia hanya dititipkan baju perang oleh Thu’mah bin Ubairiq, jirannya, dari Bani Dhafar bin Al-Hartis. Menurut penuturan Thu’mah, baju perang itu milik pamannya dan ia hanya menitip. Tapi kini, Thu’manah malah ikut menuduhnya sebagai pencuri baju perang itu. Zaid tidak punya saksi yang bisa menguatkan bantahannya atas tuduhan itu.

Si empu baju perang, Qatadah bin An-Nu’man, melaporkan kasus ini kepada Nabi Muhammad agar pelaku pencurian dijatuhkan hukuman. Tapi ia juga melaporkan Thu’mah karena menemukan jejak-jejak baju perang awalnya di rumah Thu’mah. Namun, kemudian Thu’mah malah menuduh orang Yahudi, Zaid, sebagai pencurinya dan barang bukti ditemukan di rumah Zaid.

Thu’manah dan Zaid pun dipanggil Nabi Muhammad atas dasar laporan pencurian tadi. Mengetahui kabar itu, saudara, kerabat, dan kabilah Thu’mah yakni Bani Dhafar bin Al-Harits ikut datang menemani dan membela Thu’mah. Mereka memamerkan dukungan, solidaritas, dan kekuatan kabilah mereka pada Nabi Muhammad. Apalagi sebagai status golongan Anshar, kaum Arab Muslim yang telah memberikan suaka politik dan membantu perjuangan Islam.

Mereka menuntut pada Nabi Muhammad, Bebaskan,
Thu’mah dari tuduhan!
Mereka pun melemparkan kesalahan pada Zaid, 
Yahudi itu pencurinya, hukum dia!
Zaid bin As-Samin yang hadir sendirian, semakin ketakutan, tak ada pembelanya. Ia orang Yahudi yang hidup di tengah-tengah komunitas Muslim Madinah. Ia tidak punya saksi yang menguatkan bantahannya bahwa ia hanya dititipkan baju perang yang ternyata barang curian itu. Zaid hanya bisa pasrah, meski terus membantah.
Ya Rasulullah, Zaid itu orang Yahudi, dia mengingkari Allah dan mengingkari ajaran-ajaranmu,
tegas kerabat dari Kabilah Thu’mah.

Kalau dalam bahasa sekarang, 
Ya Rasul, Zaid itu orang kafir, orang Yahudi, Zionis, Amerika, Aseng, Asing bla … bla … bla… hukum saja dia, masa kamu mau belain orang kafir dan tidak membela orang Islam!
Hampir saja Nabi Muhammad condong pada tuntutan kabilah Thu’mah, membebaskan Thu’mah dari tuduhan dan menjatuhkan semua kesalahan pada Zaid bin As-Samin, orang Yahudi itu.

Namun Allah Maha Mengetahui. Allah Maha Mendengar. Turunlah ayat-ayat al-Qur’an untuk membela orang Yahudi, Zaid bin As-Samin, dan menyalahkan Thu’mah, serta mengingatkan Nabi Muhammad untuk tetap menjaga kebenaran dan keadilan tanpa perasaan takut dan sikap takluk hanya karena gerombolan-gerombolan yang ingin memencongkan kebenaran dan keadilan itu.

Seluruh penulis kitab tafsir al-Qur’an sepakat menceritakan sebab turunnya (asbab nuzul)ayat 105-112 dalam Surat An-Nisaa’ terkait dengan kisah Zaid bin As-Samin, orang Yahudi dan Thu’mah bin Ubairiq, orang Islam yang terlibat kasus pencurian dengan tuduhan itu.

Dalam kitab Tafsir Imam As-Suyuthi, Ad-Durru al-Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, mengutipkan riwayat-riwayat yang terkait kisah di atas.

Ayat 105-107 Surat An-Nisaa’ adalah teguran Allah kepada Nabi Muhammad, agar tetap menegakkan kebenaran dan keadilan secara konsisten dengan tidak menjadi pembela orang yang khianat serta memohon ampun kepada Allah.

Ayat 108 membongkar konspirasi Thu’mah dengan bunyi, 
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah, karena Allah bersama mereka…
Dan ayat 112 menegaskan perbuatan Thu’mah, 
Barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak berdosa, maka sesungguhnya ia telah berbuat kebohongan dan dosa yang nyata.
Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan secara khusus untuk membela seorang Yahudi yang dituduh bersalah dengan mencuri dan mengecam orang Muslim, pencuri sebenarnya sekaligus penuduh yang melempar kesalahannya pada orang lain.

Dari kisah turunnya ayat-ayat tadi kita diajak untuk menegakkan keadilan dan kebenaran secara konsisten tanpa memandang suku dan agama apa pun. 

Meskipun pelaku adalah orang yang kuat dari sisi latar belakang suku dan agamanya, kalau dia berasalah, tidak layak dibela, dan keadilan tak bisa dibengkokkan gara-gara berhadapan dengan kekuatan politik dia.

Dan korban yang tidak bersalah, meskipun berasal dari komunitas yang kecil dan lemah, namun karena ia benar, maka tidak bisa dizalimi dan ditimpakan kesalahan padanya sebagai kambing hitam.

Semoga kita termasuk golongan yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan secara konsisten.

Perbedaan pemikiran, penerapan, atau sudut pandang adalah wajar dan umum di semua masyarakat. 

Ajaran Islam mengharuskan kaum Muslim tidak pernah melupakan bahwa mereka semua adalah bersaudara dan bersaudari, terlepas dari perbedaan-perbedaan mereka. 

Apa pun ras, bahasa, bangsa, atau golongan Islam yang seseorang miliki, semua Muslim adalah bersaudara dan bersaudari.

Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan semacam itu harus dihargai sebagai sumber kekayaan dan bukan sebagai sumber pertikaian dan perpecahan yang berpeluang terjadi. 

Pandangan yang keliru seperti itu hanya mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang sebenarnya dan memperlambat tindakan yang diperlukan secara mendesak dan tindakan pencegahan yang penting.

Dalam hubungan timbal balik mereka, iman dan akhlak baik adalah penting, dan bukan ras, asal-usul suku, bahasa, harta, kedudukan, atau jabatan. 

Kenyataan bahwa kaum Muslim belum mampu menciptakan Persatuan Islam yang kuat dan giat merupakan penyebab utama banyaknya permasalahan yang ada saat ini. 

Ketika sebuah Persatuan Islam Turki (Uni Islam Turki) yang kuat terbentuk, masalah-masalah seperti itu tidak akan timbul ataupun dapat terselesaikan jauh lebih cepat daripada yang dibayangkan.

Sangat wajar terdapat budaya, adat istiadat, dan pemikiran yang beragam di dunia Islam. Apa yang sungguh penting adalah bahwa keragaman ini wajib disatukan di bawah payung iman dan atas dasar saling tenggang rasa dan setia kawan. 

Cinta di kalangan orang-orang beriman yang tulus berkembang melalui ketakwaan, kesadaran dan cinta sejati karena Allah, serta amal baik dan akhlak baik. 

Jika orang mengabdikan diri di jalan Allah, mengikutinya di segenap perbuatan dan perilaku mereka, dan berbuat baik dengan harapan meraih Ridha dan rahmat Allah, orang-orang beriman lain akan mengasihi dan menghormati mereka. 

Akibatnya, warna kulit, ras, atau kekayaan mereka tidaklah penting dan tidak ada hubungannya dengan kasih sayang yang dirasakan orang-orang lain terhadap mereka. 

Patokan yang sama pastilah berlaku bagi hubungan antar-negara Muslim, yang harus didasarkan pada pemahaman Al-Quran.

Jika keadaan-keadaan mencegah mereka dari berbuat demikian, mereka sepatutnya mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan berikut:
  1. Apakah masalah itu lebih penting daripada persatuan Islam?
  2. Apakah hal itu tidak dapat diselesaikan?
  3. Dapatkah dibenarkan untuk berselisih dengan masyarakat Muslim lain daripada bekerja melawan ideologi-ideologi penentang agama?
Setiap orang yang menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan kesadaran nurani akan memahami bahwa hal yang lebih diutamakan adalah menahan diri dari perselisihan tidak berkesudahan dan menegakkan sebuah persatuan yang didasarkan pada nilai-nilai Al-Qur'an.

Dunia Islam harus mengesampingkan berbagai perselisihannya dan ingat bahwa semua Muslim adalah bersaudara dan bersaudari sehingga dapat memberikan teladan yang mencerminkan sosok Islam yang sebenarnya beserta cita-citanya. 

Persatuan orang-orang yang beriman tersebut adalah karunia dan rahmat dari Allah Yang Mahakuasa. 

Muslim yang tulus wajib berterima kasih kepada Tuhan kita atas nikmat-nikmat ini serta mematuhi perintah-Nya untuk tidak bercerai-berai.

Dari sini, dan dari Al-Qur'an secara keseluruhan, dapat dipahami bahwa adalah sebuah kewajiban agama bagi:
  1. Kaum Muslim untuk bersatu,
  2. Untuk terikat satu sama lain sebagai saudara dalam cinta dan kasih sayang,
  3. Untuk menghindari perselisihan,
  4. Untuk menjadi seorang sahabat maupun pengasuh bagi yang lain,
  5. Untuk melindungi dan menjaga satu sama lain di segala keadaan,
  6. Untuk menasihati satu sama lain, dan 
  7. Untuk terlibat dalam sebuah perjuangan intelektual melawan pengingkaran terhadap Allah, terikat erat satu sama lain seperti batu-batu bata penyusun sebuah bangunan.

Oleh karena itu, melakukan hal yang sebaliknya, dengan kata lain:
  1. Untuk memecah belah daripada mempersatukan,
  2. Untuk tidak memperlakukan saudara-saudara Muslimnya dengan cinta dan kasih sayang,
  3. Untuk tidak bersikap memaafkan, melindungi, dan peduli terhadap saudara-saudara Muslimnya, dan
  4. Untuk tidak tergabung dengan Muslim lainnya dalam perjuangan intelektual melawan pengingkaran terhadap Allah adalah sebuah dosa.

Jika dunia Islam ingin menegakkan sebuah peradaban kuat, kokoh, dan sejahtera yang membimbing dan menerangi dunia di setiap segi, maka dunia Islam harus bertindak dalam persatuan. 

Ketiadaan persatuan semacam itu menjadi sebab pertentangan dan perpecahan dunia Islam, tidak adanya kesamaan suara, dan ketiadaan perlindungan bagi kaum Muslim tak berdosa.

Di dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bersatu, bergabung dalam barisan iman melawan kekufuran (pengingkaran terhadap Allah), menganggap dan mencintai satu sama lain sebagai saudara sendiri, bersikap memaafkan dan memberi perlindungan, serta benar-benar menghindari perpecahan, perselisihan, dan perceraian antar sesama umat Islam.

Munāfiq atau Munafik merupakan sebuah terminologi dalam Islam untuk merujuk pada mereka yang berpura-pura mengikuti ajaran agama Islam, namun sebenarnya hati mereka memungkirinya dan hendak memecah belah Umat Islam baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Baca Juga:
  1. Alasan Kerennya Jadi Santri
  2. Dakwah Ala Santri Nusantara
  3. Dakwah Islamiyah Yang Relevan Di Ponpres
  4. Identitas Santri Dengan Karakter Yang Ramah
  5. Ideologi Santri Nusantara
  6. Kewaskitaan Organisasi Para Santri
  7. Memerangi Kemunafikan Ala Santri
  8. Santri Tidak Boleh Berbuat Sekehendaknya
  9. Sikap Santri Di Era Generasi Millenial
  10. Tantangan Dakwah Santri Zaman Mellennial
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT