Sekuler di saat merasa menjadi paling bodoh

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Sekuler di saat merasa menjadi paling bodoh
Photo Bitter dengan Mbah Dukun Imam
Lagi asyik ngopi di Jl. Karang Menjangan Surabaya, dan janjian dengan Sahabat Bitter waktu SMP dulu yang namanya Imam Santuso.

Dulu waktu SMP wajahnya di penuhi Jerawat kecil-kecil tapi sekarang bisa mulus. Mungkin karena kebanyakan di Amplas pakai kertas gosok nomer 10.000.. (hahahahhaaa... Peace Mas Brow Ku....)

By The Whay.... di sekarang jadi Dukun looo....
Ya.. akhirnya Bitter Coffee Park panggil dia Mbah Dukun Imam....

Lama tidak bertemu dengan Mbah Dukun Imam kurang lebih sejak tahun 1997 tidak mengubah keakrapan Bitter Coffee Park. Tetap saja saling gojlok mengojlok sampai lemah Syahwat pokoknya.

Bahkan orang-orang disekitar warungpun dengan tidak langsung ngikut terasa emosionalnya ketika kami bercanda.

Mulai bahas RDKB (Rondo Kembang Bos) hingga kegiatan masing-masing selama tudak bertemu.

Itu tadi sekilas tentang Sahabat Bitter Coffee Park yang Bernama Mbah Dukun Imam.

Adahal menarik yang Bitter Coffee Park tangkap dari pembicaraan kami, yaitu tentang:
Sekuler di saat merasa menjadi paling bodoh
Mungkin Sahabat Bitter pernah bertanya-tanya seperti judul kali ini? 
Bitter Coffee Park Sih akhirnya sadar tenteng:
Sekuler di saat merasa menjadi paling bodoh
Saking pahamnya, lama kelamaan Bitter Coffee Park merasa bodoh juga ketika Ngobrol dengan Mbah Dukun Imam ini.

Bitter Coffee Park ternyata kurang paham apa itu bodoh (plus sanak-familinya yang lain, seperti bego atau tolol atau goblok), duspake mikirin pertanyaan bodoh itu pula. 

Lucunya, kata yang kurang Bitter Coffee Park mengerti karena dan begitu bodohnya Bitter Coffee Park itu justru kerap Bitter Coffee Park pakai untuk mengatai orang (termasuk diri sendiri, lebih sering malah lebih bodo dari orang lain!). 

Tapi setolol-tololnya Bitter Coffee Park, ada juga yang mekesimpulkan yang kesampaian bahwa orang bisa disebut bodoh kalau dia tertimpa retardasi mental Seperti:
  1. Debil, 
  2. Embisil, 
  3. Idiot; 
  4. IQ-nya jauh di bawah normal akibat cacat pada otak yang didapatnya sewaktu dalam kandungan;
  5. Oleh hal-hal lain yang membuat perkembangan otaknya terhambat; dan
  6. Bodoh juga dapat berarti tidak tahu. 
Pernah Bitter Coffee Park teringat suatu saat sepasang teman Bitter Coffee Park yang berpacaran ribut.

Panggil saja di Arjuna dan Srikandi

Sang arjuna, kebetulan satu kos dengan Bitter Coffee Park, hendak curhat. Tapi belum ada tiga kalimat pembuka dia bicara, srikandinya menelepon Bitter Coffee Parm. 

Tanpa menjelaskan dulu duduk perkaranya, si gadis langsung mencerocos di sela isak-tangisnya tentang kekesalannya pada si pria. 

Selesai menumpahkan isi hati penuh emosional itu, dia langsung menutup telepon. 
(Ini sebenarnya sedang Marah atau cerita ke Bitter yaa???)

Tapi, Bitter Coffee Park maklumi, mungkin dia ingin menenangkan diri. 

Sudah itu, Si Arjna itu langsung menanyakan apa yang dikatakan pacarnya. 

Bitter Coffee Park kasih tahu saja apa adanya. 

Eh, malah gantian dia yang mengumpat-umpat. 
(Busyet dah! Apa Salah dan dosa hamba kawan....)

Bitter Coffee Park pun terbengong, merasa seperti orang tolol, mendapati diri terjebak di tengah-tengah dua orang yang sedang berselisih, tapi tidak tahu masalahnya apa. 

Kita juga akan merasa bodoh jika kita tidak menguasai atau tidak mengerti sesuatu. (Tidak Peka Lingkungan)

Bayangkan seandainya dalam suatu perjalanan, kita (amit-amit) mengalami insiden kapal terdampar atau pesawat jatuh di daerah yang sama sekali asing. 
(Ketahuan Bitter Coffee Park Tukang Ngayal gak jelas..)

Kemudian kita berjumpa dengan penduduk asli setempat. 

Mereka mengatakan sesuatu tapi kita tidak mengerti bahasanya. 

Saat itu kita bakal merasa dungu sekali, karena kita berada di kerumunan orang banyak tapi hanya kita yang tidak mengerti satu patah katapun. 
(Ibarat kata kayak Alien tersasar ke galaksi lain gitu kali....)

Kebodohan juga sering dikaitkan dengan sesuatu yang tidak logis.
Photo Rieke Dyah Pitaloka
(Bunda ini cantik juga ya..., dan berwawasan pula. Berbeda banget aslinya dari apa yang di perankan menjadi Oneng di Film Bajai Bajuri)
Beberapa tahun yang lalu, Rieke Dyah Pitaloka (Salah Satu Legislatif dari Partai PDI-P) memerankan karakter komedi-situasi bernama Oneng yang kondang dengan ke"o-on"annya. 

Oneng memiliki karakter:
Omongannya nggak nyambung, analisanya tidak sinkron. 

Pendek kata, dia dibilang o-on karena ketidak-logisan daya pikirnya. 
(Mingkin ini alasan peran itu diberinama Oneng oleh pengarang ceritanya "ONENG=Oonnya Si Eneng")

Dan bagaimana bila ada yang dengan yakin mengatakan bahwa ada laki-laki melahirkan anak? 
Tentu orang itu akan disebut bodoh, atau bahkan gila, karena apa yang dikatakannya itu tidak logis. 

Tapi tidak ada yang lebih bodoh daripada:
  • Orang yang sengaja tidak mau tahu, 
  • Orang yang sengaja tidak mau belajar, dan 
  • Orang yang sengaja tidak mau berpikir logis. 
Okelah kalau ada orang melakukan sesuatu yang tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan kita. 

Meskipun awalnya mungkin kuping jadi merah, kita akan maklum juga dengan langgam bicara yang keras dari orang-orang suku tertentu, pembawaan mereka memang begitu. 

Kita tahu, tidak ada maksud mereka untuk kasar. 

Namun tidak termaafkan jika kita melakukan sesuatu yang kita tahu pasti menyakiti orang lain atau membawa keburukan namun kita tidak mau tahu. 
  1. Orang mana yang sebegitu bodohnya sampai-sampai tidak tahu kalau sampah yang terus dibuang ke kali lama-lama akan membukit, menyumbat aliran air sehingga menyebabkan air itu meluap, yang disebut dengan banjir? 
  2. Namun ironisnya, mengapa kita masih saja kerap melakukan itu? 
  3. Tidakkah kita lebih bodoh daripada yang bodoh? 
Pengalaman adalah guru terbaik, kata orang. 

Tapi...
Hanya orang bodoh yang mau belajar dari pengalaman, kata orang lain lagi. 

Bitter Coffee Park tidak tahu, orang yang menyatakan pendapat terakhir ini sebenarnya bijaksana atau bodoh bukan main. 

Bagaimanapun, kita harus:
  1. Belajar dari siapapun dan dari apapun, termasuk dari pengalaman,
  2. Belajar tidak selalu identik dengan menempuh pendidikan formal, dan
  3. Belajar merupakan proses tak berkeputusan selama kita hidup. 
Semua yang kita lakukan harus mulai dari titik awal, yaitu belajar. 

Kita bisa berjalan karena pernah belajar jalan waktu bayi. 

Kita bisa baca-tulis-hitung karena pernah mempelajarinya di sekolah. 

Apapun yang sekarang kita kerjakan dimulai dari tahap belajar, bukan dari potensi. 

Coba saja pikir kalau anak Sahabat Bitter punya tungkai dan kaki yang sehat tapi tidak mau belajar berjalan. 

Anak itu jelas punya potensi bagus, tapi sampai kapanpun dia takkan pernah bisa berjalan. 

Jadi, bukan potensi yang membuat kita kapabel, menjadikan kita sukses, melainkan proses belajar. 

Jadi, betapa bodohnya kita kalau selalu bermimpi akan sukses, bakal hidup sejahtera, namun tidak ada keinginan untuk belajar berjuang meraih cita-cita. 

Ketidaksudian kita berpikir logis, malas pake otak, pun adalah bentuk kebodohan yang sangat parah. 

Coba seandainya Sahabat Bitter selalu tidak sabar dengan perilaku sebagian sopir angkot. 

Jelas-jelas orang di pinggir jalan itu menolak angkot sebelumnya, padahal angkot itu relatif kosong, masih juga sopir angkot trayek yang sama di belakangnya menawari. 

Bodohnya, di belakangnya lagi angkot lain, dengan trayek yang juga sama, menawari pula. 

Bitter Coffee Park sering dengar dalih mereka: 
Namanya juga usaha. 
Kalau seperti itu, kita tentu akan memaklumi para maling, pembunuh bayaran, dan koruptor. 
Toh, namanya juga usaha. 
Tidak masuk akal, bukan? 
Tapi, celakanya, kita memang memakluminya. 

Buktinya, kita sendiri melakukan hal yang sama, kan? 
Tapi di atas semua, tidak ada ketololan yang lebih menyedihkan ketimbang perbuatan sengaja membodohi atau membodohkan orang lain, dimana:
  1. Membodohi berarti memberi kebodohan., dan
  2. Membodohkan berarti membuat jadi bodoh. 
Dua-duanya puncak segala kebodohan yang bisa dicapai manusia.

Jadi, pertanyaannya adalah:
  • Siapa yang dapat memberi uang banyak selain dia yang punya sangat banyak uang? Dan
  • Siapa lagi yang mampu menjadikan seseorang ahli matematika selain begawan matematika? 
Jadi, analoginya, siapa lagi yang dapat memberi kebodohan dan mampu menjadikan seseorang bodoh, selain orang yang sudah piawai bodohnya.

Orang seperti itu tidak sadar, dengan membodohi (kata lain: membohongi) orang lain, ia menimbulkan opini yang salah dari orang yang mendengarnya. 

Orang terakhir ini kemudian meneruskannya kepada orang lain lagi. 

Karena dipercaya lebih dari satu orang, opini berubah menjadi paham. 

Seterusnya, suatu saat, publik seluruh populasi akan menganut paham sesat tersebut. 

Makin lama mengendap, paham itu mengkristal menjadi pola pikir dan budaya. Sama juga, dengan membodohkan orang lain, sang pakar kebodohan itu tidak sadar bahwa ia telah menebarkan benih kontra-produktivitas

Dan gawatnya, benih ini sangat subur. 

Dia akan tumbuh dan menyebar cepat sekali seperti virus H5N1. 

Tidak produktifnya satu orang cepat sekali menulari etos kerja orang lain. 

Buntutnya, perekonomian makro menjadi mandeg, stagnasi global di segala bidang terjadi. 

Dan si pandir itu, tentu takkan menyadari efek berantai yang mematikan dari kedua tindakan bodohnya itu. 

Dia takkan merasa bersalah dan bertanggungjawab atas semua itu. 

Contoh konkret hasil panen sang jago kebodohan itu dapat kita lihat sendiri di sekitar kita, seperyi:
  1. Betapa bobroknya mental bangsa kita akibat budaya yang salah-kaprah, 
  2. Betapa acak-adutnya keadaan ekonomi nasional kita, dan 
  3. Betapa jauhnya bangsa kita tertinggal dalam banyak hal saat ini. 
Sebagai pengakhir, kita perlu ikhlas mengakui bahwa kita semua bodoh. 

Siapa juga yang tidak? 
Selama manusia hidup dalam raga fananya, ia serba terbatas, termasuk kemampuannya.

Keterbatasan itulah kebodohan dan tidak mungkin selama masih di dunia ini kita mampu melenyapkan kebodohan kita.

Namun tugas kita ialah terus mendaki, setinggi mungkin yang kita sanggup.

Semakin bertambah ketinggian sebuah titik dari permukaan laut, semakin tipis lapisan udara di situ.

Semakin tinggi jenjang kebijaksanaan kita, semakin tipis pula lapisan kebodohan kita.

Jadi kita harus terus naik, bukan malah menerpurukkan diri kita dalam sumur kesengajaan (yang sama dengan membodohi diri kita sendiri) yang kadar gas beracun kebodohannya pekat sekali.
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT