Benarkah yang menjadi masalah umat muslim Indonesia saat ini adalah Intoleransi?

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Benarkah yang menjadi masalah umat muslim Indonesia saat ini adalah Intoleransi?
Jika kita membicarakan Umat Muslim Indonesia, setidaknya kita harus mengetahui makna dari Islam Nusantara saat ini.

Seperti Apa Islam Nusantara itu?
Dikutib dari wikipedia, Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah:
Suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia. 

Kapan Istilah Islam Nusantara diresmikan?
Istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi Perspektif Arab dan Timur Tengah.

Islam Nusantara didefinisikan sebagai:
Penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya. 

Pada Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, yang merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya Indonesia.

Apa Karakter Islam Nusantara?
Ciri utama dari Islam Nusantara adalah:
  • tawasut (moderat), 
  • rahmah (pengasih), 
  • anti-radikal, 
  • inklusif dan 
  • toleran. 
Dalam hubungannya dengan budaya lokal, Islam Nusantara menggunakan pendekatan budaya yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam.

Islam Nusantara tidak menghancurkan, merusak, atau membasmi budaya asli, tetapi sebaliknya, merangkul, menghormati, memelihara, serta melestarikan budaya lokal. 

Salah satu ciri utama dari Islam Nusantara adalah:
Mempertimbangkan unsur budaya Indonesia dalam merumuskan fikih.

Islam Nusantara dikembangkan secara lokal melalui Institusi Pendidikan Tradisional Pesantren

Pendidikan ini dibangun berdasarkan sopan santun dan tata krama ketimuran, yakni:
Menekankan penghormatan kepada kiai dan ulama sebagai guru agama. 

Para santri memerlukan bimbingan dari guru agama mereka agar tidak tersesat sehingga mengembangkan paham yang salah atau radikal. 

Salah satu aspek khas adalah penekanan pada prinsip Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi semesta alam) sebagai nilai universal Islam, yang memajukan perdamaian, toleransi, saling hormat-menghormati, serta pandangan yang berbineka dalam hubungannya dengan sesama umat Islam, ataupun hubungan antaragama dengan pemeluk agama lain.

Kembali kepertanyaan awal:
Apa yang menjadi masalah umat muslim Indonesia saat ini?
Masalah utamanya adalah sikap Intoleransi Umat Islam terhadap Non-Muslim. Khususnya kecenderungan intoleran terhadap non-muslim dalam hal politik.

Kenapa?
Menurut peneliti dari Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi.
Penelitian dari Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menilai umat Islam di Indonesia cenderung intoleran terhadap non-muslim dalam hal politik. 

Sedangkan tingkat intoleran dalam hal ibadah sedikit lebih rendah.

Sikap intoleransi yang dilakukan ialah dengan memberi pertanyaan kepada masyarakat mengenai sikap mereka terhadap non-muslim terkait dengan hak sipil mereka. 

Misal berupa hak politik maupun terkait ibadah.

Misal apabila kita mengajukan pertanyaan bagaimana pendapat mereka tentang umat non-muslim yang membangun rumah ibadah di sekitar mereka. 

Kemudian bagaimana pendapat mereka tentang umat non-muslim yang mengadakan kegiatan keagamaan di sekitar mereka. 

Hingga pendapat mereka tentang umat non-muslim jadi pemimpin pemerintah di berbagai tingkat, dan pertanyaan lain-lain. 

Didalam penelitian, membagi intoleransi tersebut dalam dua kategori:
Kategori Pertama: 
Intoleransi dalam hal politik;
Hasilnya: 
Intoleransi dalam hal politik umat Islam Indonesia kepada non-muslim sebanyak 59,3 persen.
Kategori Kedua: 
Intoleransi dalam hal ibadah (religius-kultural). 
Hasilnya: 
Intoleransi dalam hal ibadah sebanyak 49,2 persen.

Hasil intoleransi secara keseluruhan 31 persen. Itu kelihatannya besar, namun jika dibandingkan dengan negara lain. Tingkat intoleransi Indonesia jauh lebih rendah. Bisa dibilang sedikit lebih baik. 

Di Yunani ada 60 persen masyarakat yang punya pandangan negatif terhadap Islam. Di Polandia dan Jerman juga tinggi. 

Bagaimana kita dapat melihat, apabila situasinya dibalikkan. Karena kalau di Indonesia Islam itu mayoritas, kalau di negara lain non-muslim itu mayoritas. Hasilnya negara kita tidak terlalu buruk. 

Selain membandingkan dengan negara yang mayoritas non-muslim, dibandingkan dengan negara yang mayoritas masyarakat beragama Islam. 

Hasilnya, tingkat intoleransi Indonesia masih jauh di bawah Bangladesh dan Malaysia. 

Didalam melakukan survei di empat negara Asia Tenggara yakni Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Kesimpulannya intoleransi di Indonesia masih lebih baik dibanding 3 negara tadi, terutama di Thailand dan Filipina. Poin yang ingin saya sampaikan, meskipun nilainya kelihatan tinggi namun jika dibandingkan secara luas, Indonesia tidak buruk-buruk amat.

Selain intoleransi, kita juga dapat meneliti tentang radikalisme. 

Cara mengukur radikalisme yang digunakan dengan bertanya mengenai tindakan atau keinginan responden melakukan perusakan rumah ibadah agama lain. 

Kemudian keinginan untuk mendemonstrasi kelompok yang dianggap memecah agama, seperti Syiah dan Ahmadiyah. 

Lalu pertanyaan tentang:
Adakah menyumbang ke organisasi yang akan mewujudkan negara islam, dan lain hal?
Hasilnya, ada yang sudah melakukan hal yang di atas namun jumlahnya kecil sekitar 0,3 persen, ada juga yang belum pernah melakukan dan itu jumlahnya besar. Namun, jika ada kesempatan untuk melakukan berbagai hal tersebut, bersedia atau tidak bersedia. Responden yang bersedia disebut willing to radical, totalnya 11 persen. 

Skor radikal 0,3 dari 100 memang terlihat jumlah yang kecil, tapi jika dilihat populasi umat islam yang berjumlah 160 juta, ada sekitar 700 ribu orang yang sudah melakukan tindakan. 

Tidak hanya berfokus pada umat Islam, penelitian juga dilakukan terhadap kalangan non-muslim untuk melihat seberapa tingkat intoleransinya. 

Dengan pertanyaan yang sama yang diajukan kepada umat Islam, hasilnya secara umum kalangan non-muslim jauh lebih toleran dibanding umat Islam Indonesia. 

Jika dibandingkan, intoleransi dalam hal ibadah umat muslim 49,2 persen, sedangkan tingkat intoleransi non-muslim 15,4 persen. Lalu intoleransi berdasarkan politik, muslim 59,3 persen dan non-muslim 11,4 persen.

Jadi polanya, umat Islam itu lebih intoleran secara politik, sementara non-muslim lebih intoleran dalam hal ibadah. Jadi polanya kebalik.

Hasil penelitian ini ternyata berkorelasi dengan tingkat mayoritas suatu golongan di suatu wilayah. 

Indikator Politik Indonesia melakukan penelitian di seluruh wilayah Indonesia. 

Ada wilayah yang umat Islamnya mayoritas, di wilayah lain justru non-muslim yang mayoritas. 

Kesimpulannya:
Mau muslim atau non-muslim, kalau dirinya merasa mayoritas maka mereka cenderung intoleran. 

Kalau ditanya misalnya non-muslim di papua itu lebih intoleran dibanding non-muslim yang tinggal di rembang. Karena posisinya berbeda, jadi faktor keistimewaan mayoritas [majority privilage] menjelaskan mengapa seseorang jadi intoleran.

Artikel ini di kutib Tirto.id dengan judul:

Berikut adalah jawaban dari Mohammad Kanedi di Quora: 
Mohammad Kanedi
Mohammad Kanedi, Akademisi

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT