Siapa Sajakah Keturunan Raja Brawijaya V Di Tanah Jawa? (TRAH MATARAM JAWA)

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Siapa Sajakah Keturunan Raja Brawijaya V Di Tanah Jawa? (TRAH MATARAM JAWA)

Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang memerintah sampai tahun 1478. 

Tokoh ini nyata dan sangat legendaris. Prabu Brawijaya sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu:
Nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton.


KERAJAAN MAJAPAHIT
Majapahit kerajaan besar yang membentang dari ujung utara Sumatera, Selat Malaka hingga ke Papua mulai melemah akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan Perang Paregreg (1401-1406 M)

Akibat Perang inilah Kerajaan Majapahit dibawah jurang kehancuran. 

Sehingga kurang melakukan pengawasan terhadap beberapa kerajaan yang sebelumnya berada di bawah panji Majapahit yang kemudian mulai melepaskan diri.

Misalnya, tahun 1405 daerah Kalimantan Barat direbut Kerajaan China, lalu disusul lepasnya Palembang, Melayu, dan Malaka yang tumbuh sebagai bandar-bandar perdagangan ramai, yang merdeka dari Majapahit. 

Kemudian lepas pula daerah Brunei yang terletak di Pulau Kalimantan sebelah utara. Hal ini diperparah dengan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi setelah Perang Paregreg. Akibatnya perekonomian dan arus perdagangan Kerajaan Majapahit menjadi menurun.

DAFTAR KETURUNAN BRAWIJAYA V
Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, memiliki 117 orang putera-puteri dari beberapa isteri dan banyak selir. 

Permaisuri maupun selir-selir itu kebanyakan adalah upeti dari kerajaan atau penguasa lain yang tunduk atau mengakui kekuatan Majapahit.

Tentu saja jumlahnya banyak sekali, mengingat luasnya wilayah Majapahit dan banyaknya negeri lain yang mengakui eksistensi Majapahit. 

Sebagai raja tentu saja sang Prabu tidak mungkin bisa menolak upeti atau persembahan yang cantik-cantik tersebut. 

Selain bisa mencederai persahabatan dengan kerajaan-kerajaan lain, juga tak baik menolak persembahan dari daerah-daerah taklukan.

Banyaknya putera-puteri sang Prabu tersebut, di sisi lain bermanfaat melestarikan kekuasaan untuk wilayah kekuasaan yang begitu luas. 

Setelah dewasa beberapa putera Brawijaya V diberi jabatan bupati atau adipati dan ditugaskan jadi penguasa di berbagai wilayah kekuasaan Majapahit.

Beberapa anak perempuan dinikahkan dengan penguasa atau anak penguasa lain sebagai tanda pengikatan. 

Dengan cara begini diharapkan seluruh wilayah kekuasaan dan seluruh tali persahabatan dengan kerajaan lain bisa terus dikendalikan dan dilestarikan. 

Ini membuktikan betapa luasnya wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit pada saat itu.

Berikut ini adalah 117 Putera-puteri Prabu Brawijaya V:
  1. Raden Jaka Dilah (Aryo Damar) – dijadikan Adipati Palembang;
  2. Raden Jaka Pekik (Harya Jaran Panoleh) – Adipati Sumenep;
  3. Putri Ratna Pambayun, menikah dengan Prabu Srimakurung Handayaningrat;
  4. Raden Jaka Peteng;
  5. Raden Jaka Maya (Harya Dewa Ketuk) – dijadikan adipati di Bali;
  6. Dewi Manik – menikah dengan Hario Sumangsang Adipati Gagelang;
  7. Raden Jaka Prabangkara – pergi ke negeri sahabat, Cina;
  8. Raden Harya Kuwik – dijadikan Adipati Borneo/ Kalimantan;
  9. Raden Jaka Kutik (Harya Tarunaba) – dijadikan Adipati Makasar;
  10. Raden Jaka Sujalma – jadi adipati Suralegawa di Blambangan;
  11. Raden Surenggana – tewas dalam peristiwa penyerbuan Demak;
  12. Retno Bintara – menikah dengan Adipati Nusabarung, Tumenggung Singosaren;
  13. Raden Patah – dijadikan Adipati & Sultan Demak;
  14. Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng Tarub III – menurunkan raja-raja Mataram Islam;
  15. Retno Kedaton – muksa di Umbul Kendat Pengging;
  16. Retno Kumolo (Raden Ayu Adipati Jipang) – menikah dengan Ki Hajar Windusana;
  17. Raden Jaka Mulya (Raden Gajah Permada);
  18. Putri Retno Mas Sakti – menikah dengan Juru Paningrat;
  19. Putri Retno Marlangen – menikah dengan Adipati Lowanu;
  20. Putri Retno Setaman – menikah dengan Adipati Jaran Panoleh di Gawang;
  21. Retno Setapan – menikah dengan Bupati Kedu Wilayah Pengging, Harya Bangah;
  22. Raden Jakar Piturun – dijadikan Adipati Ponorogo dikenal sebagai Betara Katong;
  23. Raden Gugur – hilang/ muksa di Gunung Lawu;
  24. Putri Kaniten – menikah dengan Hario Baribin di Madura;
  25. Putri Baniraras – menikah dengan Hario Pekik di Pengging;
  26. Raden Bondan Surati – tewas “mati obong” di Hutan Lawar Gunung Kidul;
  27. Retno Amba – menikah dengan Hario Partaka;
  28. Retno Kaniraras;
  29. Raden Ariwangsa;
  30. Raden Harya Suwangsa – Ki Ageng Wotsinom di Kedu;
  31. Retno Bukasari – menikah dengan Haryo Bacuk;
  32. Raden Jaka Dandun – nama gelar Syeh Belabelu;
  33. Retno Mundri (Nyai Gadung Melati) – menikah dengan Raden Bubaran dan muksa di Sendak Pandak Bantul;
  34. Raden Jaka Sander – nama gelar Nawangsaka;
  35. Raden Jaka Bolod – nama gelar Kidangsoka;
  36. Raden Jaka Barak – nama gelar Carang Gana;
  37. Raden Jaka Balarong;
  38. Raden Jaka Kekurih/ Pacangkringan;
  39. Retno Campur;
  40. Raden Jaka Dubruk/ Raden Semawung/ Pangeran Tatung Malara;
  41. Raden Jaka Lepih/ Raden Kanduruhan;
  42. Raden Jaka Jadhing/ Raden Malang Semirang;
  43. Raden Jaka Balurd/ Ki Ageng Megatsari/ Ki Ageng Mangir I;
  44. Raden Jaka Lanangm – dimakamkan di Mentaok Jogja;
  45. Raden Jaka Wuri;
  46. Retno Sekati;
  47. Raden Jaka Balarang;
  48. Raden Jaka Tuka/ Raden Banyak Wulan;
  49. Raden Jaka Maluda/ Banyak Modang – dimakamkan di Prengguk Gunung Kidul
  50. Raden Jaka Lacung/ Banyak Patra/ Harya Surengbala;
  51. Retno Rantam;
  52. Raden Jaka Jantur;
  53. Raden Jaka Semprung/ Raden Tepas – dimakamkan di Brosot Kulonprogo;
  54. Raden Jaka Gambyong;
  55. Raden Jaka Lambare/ Pecattanda – dimakamkan di Gunung Gambar, Ngawen, Gunung Kidul;
  56. Raden Jaka Umyang/ Harya Tiran;
  57. Raden Jaka Sirih/ Raden Andamoing;
  58. Raden Joko Dolok/ Raden Manguri;
  59. Retno Maniwen;
  60. Raden Jaka Tambak;
  61. Raden Jaka Lawu/ Raden Paningrong;
  62. Raden Jaka Darong/ Raden Atasingron;
  63. Raden Jaka Balado/ Raden Barat Ketigo;
  64. Raden Beladu/ Raden Tawangtalun;
  65. Raden Jaka Gurit;
  66. Raden Jaka Balang;
  67. Raden Jaka Lengis/ Jajatan;
  68. Raden Jaka Guntur;
  69. Raden Jaka Malad/ Raden Panjangjiwo;
  70. Raden Jaka Mareng/ Raden Pulangjiwo;
  71. Raden Jaka Jotang/ Raden Sitayadu;
  72. Raden Jaka Karadu/ Raden Macanpura;
  73. Raden Jaka Pengalasan;
  74. Raden Jaka Dander/ Ki Ageng Gagak Aking;
  75. Raden Jaka Jenggring/ Raden Karawita;
  76. Raden Jaka Haryo;
  77. Raden Jaka Pamekas;
  78. Raden Jaka Krendha/ Raden Harya Panular;
  79. Retna Kentringmanik;
  80. Raden Jaka Salembar/ Raden Panangkilan;
  81. Retno Palupi – menikah dengan Ki Surawijaya (Pangeran Jenu Kanoman);
  82. Raden Jaka Tangkeban/ Raden Anengwulan – dimakamkan di Gunung Kidul;
  83. Raden Kudana Wangsa;
  84. Raden Jaka Trubus;
  85. Raden Jaka Buras/ Raden Salingsingan – dimakamkan di Gunung Kidul;
  86. Raden Jaka Lambung/ Raden Astracapa/ Kyai Wanapala;
  87. Raden Jaka Lemburu;
  88. Raden Jaka Deplang/ Raden Yudasara;
  89. Raden Jaka Nara/ Sawunggaling;
  90. Raden Jaka Panekti/ Raden Jaka Tawangsari/ Pangeran Banjaransari dimakamkan di Taruwongso Sukoharjo;
  91. Raden Jaka Penatas/ Raden Panuroto;
  92. Raden Jaka Raras/ Raden Lokananta;
  93. Raden Jaka Gatot/ Raden Balacuri;
  94. Raden Jaka Badu/ Raden Suragading;
  95. Raden Jaka Suseno/ Raden Kaniten;
  96. Raden Jaka Wirun/ Raden Larasido;
  97. Raden Jaka Ketuk/ Raden Lehaksin;
  98. Raden Jaka Dalem/ Raden Gagak Pranala;
  99. Raden Jaka Suwarna/ Raden Taningkingkung;
  100. Raden Rasukrama menikah dengan Adipati Penanggungan;
  101. Raden Jaka Suwanda/ Raden Harya Lelana;
  102. Raden Jaka Suweda/ Raden Lembu Narada;
  103. Raden Jaka Temburu/ Raden Adangkara;
  104. Raden Jaka Pengawe/ Raden Sangumerta;
  105. Raden Jaka Suwana/ Raden Tembayat;
  106. Raden Jaka Gapyuk/ Ki Ageng Pancungan;
  107. Raden Jaka Bodo/ Ki Ageng Majasto;
  108. Raden Jaka Wadag/ Raden kaliyatu;
  109. Raden Jaka Wajar/ Seh Sabuk Janur;
  110. Raden Jaka Bluwo/ Seh Sekardelimo;
  111. Raden Jaka Sengara/ Ki Ageng Pring;
  112. Raden Jaka Suwida;
  113. Raden Jaka Balabur/ Raden Kudanara Angsa;
  114. Raden Jaka Taningkung;
  115. Raden Retno Kanitren;
  116. Raden Jaka Sander (Harya Sander)
  117. Raden Jaka Delog/ Ki Ageng Jatinom Klaten

Ada 8 putera Brawijaya V ditugaskan dan berkedudukan di pulau Bali, diiringi oleh banyak punggawa/ abdi dalem dan rakyat pengikutnya. 

Di tempat tujuan mereka mendirikan kerajaan baru dan di kemudian hari mereka menurunkan para raja Bali. 

Kelompok yang pindah ke Bali ini menjadi kelompok yang selamat dari pembasmian, ketika Demak menghancurkan Majapahit, karena tidak terjangkau oleh kejaran lawan politik.

PAHAM SIWAITIS
Paham Siwaistis memang memberi posisi serta penghormatan penting dan tinggi terhadap gunung.

Di mana daratan tertinggi dalam suatu kawasan atau wilayah, di sanalah dipandang sebagai pusat buana (madyanikang bhuwana) sekaligus hulu bagi kawasan atau wilayah sekitar.

Di sana pula Tuhan sebagai Siwa Yang Mahasuci distanakan, lalu dipuja.

Tidak heran bila tempat-tempat suci untuk lingkup luas, umum (kahyangan jagat), lantas didirikan di gunung, entah di puncak, di lambung atau di kaki gunung, karena di sanalah dinilai secara spiritual sebagai kawasan tersuci.

Bila bukan di gunung maka pura akan diorientasikan ke arah gunung.

Bentuk pemujaan (palinggih) pun mengerucut ke atas, menyerupai gunung, entah berupa candi seperti di Jawa, entah berwujud padmasana, atau pun meru layaknya di Bali.

Atau bahkan berupa lingga, batu berdiri.

Dari pemahaman inilah lantas gunung disebut pula sebagai lingga acala, lingga yang tidak bergerak sekaligus juga berarti lingga yang tidak diciptakan manusia.

Dalam bahasa Jawa Kuno, acala memang juga diartikan gunung, karang. Hindu memang mengajarkan manusia untuk senantiasa berorientasi atau menjadikan yang Abadi, tidak bergerak, itu sebagai tujuan.

Karena itu, selain pada gunung, Hindu juga mengagungkan matahari sebagai maha sumber energi hidup yang abadi.

Memuja Hyang Siwa Pasupati
Dengan dasar pandangan berwawasan kemestaan demikian maka sangat tepatlah bila di Gunung Semeru dibangun pura, sebagai tempat umat Hindu se-Indonesia memuja Hyang Siwa Pasupati.

Puncak Gunung Semeru lantas menjadi Gunung Agung (yang sama artinya dengan Mahameru, kini berketinggian 3,142 m) tempat berstana Hyang Putranjaya atau Mahadewa, bagiannya yang tercecer menjadi:
  1. Gunung Batur (1.717 m) istana Dewi Danuh (Wisnu), dan 
  2. Gunung Lempuyang sebagai stana Hyang Gnijaya (Iswara). 

Sejak itu jagat Bali disuratkan stabil kembali, dan ketiga gunung ini pun mendapat kedudukan penting, yaitu:
  1. Gunung Watukaru (2,276 m), 
  2. Pucak Mangu, 
  3. Penulisan (1.475 m), 
  4. Andakasa, 
  5. Bukit karang Uluwatu, dan 
  6. Goa Lawah. 

Dari semuanya ini, Gunung Agung-lah dinilai sebagai pusat di Bali, karena tertinggi di Pulau Dewata.

Karena itu pula, maka hingga kini bila di Pura Agung Besakih -- begitu juga pura-pura Sad Kahyangan lain di Bali -- ada upacara besar (karya agung) tetap mesti nuur tirta ke Semeru.

Sebaliknya kini bila di Pura Semeru ada upacara, maka terlebih dahulu juga disertai dengan matur piuning ke Pura Sad Kahyangan di Bali, termasuk ke Gunung Rinjani (Lombok, 3.726 m).

Dari gunung yang lebat ditumbuhi pepohonanlah air mengalir menyuburkan tanah, bumi.

Sebelumnya, air pegunungan ditampung danau, lalu mengalir lewat sungai-sungai.

Setelah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan memenuhi hidup manusia, air lantas dialirkan lagi ke laut.

Panas matahari menguapkan air laut, menjadi mendung, dan mendung turun, menjadi hujan, kembali diserap gunung dengan pepohonannya, ditampung danau, melesak ke tanah, menyembul menjadi mata air, mengalir dan terus mengalir.

Begitu seterusnya, berputar dan berputar, tiada henti.

Itu alasan gunung dalam kosmologi Hindu diposisikan sebagai hulu, danau di tengah, dan laut di hilir.

Ketiganya membentuk alur siklus kesemestaan.

Dari gunung sebagai hulu itulah kerahayuan mengalir bagi segenap makhluk.

Manakala di tempat suci di gunung, seperti di Pura Besakih, di lambung Gunung Agung, maupun di Pura Mandara Giri Semeru Agung, di lambung Gunung Semeru, digelar upacara tawur, misalnya, maka itu akan dialirkan ke dataran di hilir atau di bagian bawah dataran tinggi itu lewat sungai-sungai, masuk sawah, tegalan, parit-parit, dan seterusnya.

Dengan begitu pemilihan gunung tertinggi sebagai pusat buana memang didasarkan wawasan yang luas, mendalam, tidak saja secara spiritual, tetapi juga secara kosmologis, geografis, sosiologis, dengan kesadaran ekologis yang kuat.
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT