Suara Perawat Indonesia

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Suara Perawat Indonesia
Tulisan ini di terbitkan pada hari Sabtu, 12 Mei 2018 Pukul 09:21 WIB Oleh Yelli Sustarina untuk memperingati Hari Perawat Internasional di serambinews.com/ tribunnews.com.

Tidak banyak yang tahu bahwa setiap 12 Mei diperingati sebagai Hari Perawat Internasional. Jangankan masyarakat biasa, perawat pun terkadang tidak ingat momen peringatan sekali setahun ini lantaran terlalu fokus terhadap pekerjaannya. Padahal perannya sangat besar dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Perawat merupakan orang pertama yang mengetahui kondisi pasiennya.

Meski demikian, kondisi perawat sampai saat sepertinya kurang diperhatikan oleh pemerintah. Ini setidaknya terlihat dari kehidupan kesehariannya yang masih jauh dari kata sejahtera. Baik itu dalam status hukum yang masih lemah, maupun gaji perawat yang terlalu kecil untuk kontribusi dan beban kerjanya yang begitu besar.

Di samping itu, beberapa kasus yang sering diangkat ke media terkait dugaan malpraktek di rumah sakit, sering kali memosisikan perawat sebagai pelaku utama. Misalnya saja pada kasus kematian bayi yang terjadi di Aceh Singkil pada 28 Desember 2017 lalu. Secara gamblang media menginformasikan bahwa bayi tersebut meninggal karena perawat yang menangani bayi tersebut tidak bisa memasang infus.

Lain lagi kasus Wali Kota Langsa yang sempat direkam dan viral, karena memarahi oknum perawat dengan mengeluarkan kata-kata yang kurang enak didengar. Kasus-kasus seperti itu sangat sering diberitakan, sehingga citra perawat Indonesia jatuh di mata masyarakat. Sedangkan kontribusinya bertahun-tahun melayani masyarakat jarang sekali diekspos, bahkan perayaannya saja jarang diperingati.

Padahal sejak 1974 Dewan Perawat Internasional atau Internasional Council of Nurses (ICN) telah menetapkan 12 Mei sebagai Hari Perawat Internasional yang bertepatan dengan kelahiran Florence Nightingale, sebagai pendiri keperawatan modern. Setiap tahunnya Hari Perawat Internasional mempunyai tema dan tahun ini temanya ialah:
Nurses a Voice to Lead-Health is a Human Right (Suara Perawat Memimpin-Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia).
FUNGSI MANDIRI
Berdasarkan UU No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Praktik yang dilakukan perawat ialah berupa asuhan keperawatan yang merupakan fungsi mandiri atau independen bagi seorang perawat.

Asuhan keperawatan adalah rangkaian interaksi perawat dengan klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian klien dalam merawat dirinya. Perawat yang bisa melakukan kegiatan ini ialah perawat yang sudah lulus uji kompetensi, mempunyai sertifikat kompetensi, dan profesi yang sudah ter registrasi atau tercatat resmi secara hukum untuk menjalankan Praktik Keperawatan.

Tugas utama perawat di sini ialah menjalankan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan tahapan lima proses keperawatan, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap pasien. Fokusnya ialah pasien, bukan hal-hal yang berkaitan dengan terapi medis seperti pengobatan.

Sedangkan pelayanan pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya dilakukan dokter seperti pemasangan infus, pemberian obat, dan melaksanakan suntikan ialah tanggung jawab dokter. Akan tetapi pada kasus-kasus tertentu, perawat bisa melakukan tugas itu bila telah dilimpahkan wewenang oleh dokter, inilah fungsi dependen perawat. Namun, hanya untuk perawat profesi atau perawat vokasi yang sudah terlatih, bisa melakukan tindakan medis di bawah pengawasan. Jadi, tidak sembarang perawat dapat diberikan wewenang untuk melakukan tindakan medis ini.

Untuk menjadi seorang perawat di Indonesia haruslah menempuh pendidikan program Diploma-3 selama tiga tahun atau sarjana keperawatan selama kurang lebih empat tahun. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan profesi perawat satu sampai dua tahun. Setelah itu diuji dengan Ujian Kompentensi Ners Indonesia (UKNI) dengan menggunakan metode CBT (Computer Based Test).

Tidak semua perawat bisa lulus tes ini karena ada yang harus berkali-kali ujian untuk bisa lulus dan mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) perawat. Namun, tidak semua perawat yang lulus tes dan mempunyai STR bisa bekerja di pelayanan kesehatan. Bila pun bekerja di puskesmas mereka dianggap bakti dan hanya mendapatkan jasa medis sebanyak Rp 1,5 juta per tiga bulan pemberian. Bila pun kontrak di rumah sakit negeri atau swasta, gajinya masih jauh di bawah upah minum regional (UMR).

Lain lagi persaingan untuk memasuki dunia kerja yang sangat ketat, sehingga gaji yang tidak seberapa itu diperebutkan oleh ratusan, bahkan ribuan orang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan. Sulitnya lapangan kerja bagi lulusan perawat Indonesia menambah angka pengangguran. Pendidikan lama dan biaya yang besar untuk menjadi seorang perawat tidak menjamin mendapatkan pekerjaan.

Seperti yang dikeluhkan oleh teman penulis lulusan keperawatan pada 2016 di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Aceh. Dia harus rela menutup gengsi menjadi buruh kasar di pabrik kacang yang hanya dibayar 25 ribu perhari, dengan 18 jam kerja. Hal ini terpaksa dia lakukan karena lamaran di pelayanan kesehatan selalu ditolak lantaran tidak ada STR, tidak ada “orang dalam”, dan pengalaman kerja.
Kurang Dihargai
Hal ini pula yang memotivasi lulusan keperawatan untuk mencari pekerjaan di luar negeri, karena jasa perawat di dalam negeri kurang dihargai. Seperti teman penulis yang menjadi perawat lansia di Jepang yang digaji Rp 15-16 juta per bulannya. Sebelumnya dia hanya digaji Rp 1,7 juta per tiga bulan saat bekerja di puskesmas daerahnya. Teman penulis lainnya yang bekerja di Arab Saudi sebagai pusat rehabilitasi medis digaji Rp 8,5 juta per bulan.

Mereka berdua belumlah mengikuti ujian yang ditetapkan oleh negaranya masing-masing, karena untuk mengikuti ujian harus bekerja dulu selama 2-3 tahun. Bila mereka lulus ujian, maka gajinya akan bertambah lagi jauh dari gaji sebelumnya. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan Indonesia yang mengharuskan lulusan keperawatan ujian terlebih dulu, sebelum mendapatkan pekerjaan.

Pekerjaan belum dapat, tapi uang pun habis terkuras untuk mengikuti bimbingan ujian dan ujian kompetensi perawat. Nyatanya setelah lulus pun dan mendapatkan STR masih banyak perawat yang tidak bisa bekerja di dalam negeri dengan gaji sejahtera. Jadi, patutkah perawat dalam negeri terus-terusan disalahkan? 
☆☆☆☆☆
Ns. Yelli Sustarina, S.Kep.
Alumnus Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, aktif di Forum Aceh Menulis (FAMe). 
E-Mail:
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT