Legenda Joko Kahiman

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Legenda Joko Kahiman
Saat Adipati Warga Utama I menjabat mempunyai banyak panakawan yang diambil dari para petinggi dan kadipaten Wirasaba. 

Pada suatu malam pada saat bulan purnama, para panakawan tidur di halaman, dan Adipati Warga Utama melihat cahaya masuk ke dalam tubuh salah seorang panakawan yang tidak dikenali oleh Sang Adipati. 

Oleh karena itu, Sang Adipati merobek bebed panakawan tersebut untuk mengenalinya.

Pada pagi harinya, panakawan yang di sobek bebednya dipanggil, ternyata punakawan tersebut adalah Jaka kaiman punakawan dari Kejawar dan setelah itu diberitahunya bahwa ia akan dijadikan menantu. 

Jaka Kaiman akan dinikahkan dengan puteri Adipati Warga Utama yang bernama Rara Kartimah dan uang lima riyal sebagai pitukon.

Jaka Kaiman disuruh pulang oleh Sang Adipati agar memberitahukan ayahnya dan diikuti oleh dua orang utusan dari Wirasaba.

Pada suatu hari, Prabu Linggakarang dari Kerajaan Bonokeling, ingin menguji kesaktian Prabu Brawijaya V. 

Diutusnya seorang patih bernama Ki Tolih ke Majapahit. 

Ki Tolih pun berangkat dengan mengendarai seekor burung besar (sejenis garuda) yang dinamai burung Mahendra. 

Dan bersenjatakan keris ligan (tanpa sarung.) (keris Kyai Gajah Endro)

Pada waktu itu, Prabu Brawijaya mempunyai firasat yang tidak baik. 

Dia memerintahkan untuk menutup semua sumur dan mata air di Majapahit. 

Tetapi, ada satu sumur yang tidak di tutup, yaitu sumur di daerah kepatihan yang dijaga oleh Raden Arya Gajah.

Sesampainya di Majapahit, burung Mahendra kehausan. Setelah mencari kesana kemari, sampailah mereka di sumur yang terletak di kepatihan. 

Begitu burung Mahendra hendak minum dari sumur tersebut, tiba-tiba dihadang oleh Raden Arya Gajah dan dibunuh. Ki Tolih pun ditangkap.

Ketika Ki Tolih akan diadili dihadapan raja, tiba-tiba kuda milik Prabu Brawijaya terlepas dan memberontak. 

Tidak ada seorangpun yang dapat menangkapnya. 

Melihat itu, Ki Tolih memohon untuk membantu asalkan ia diberi tali kekang burung Mahendra Prabu Brawijaya mengijinkan dengan syarat bila berhasil, Ki Tolih akan dibebaskan dan diangkat menjadi pembesar Majapahit akan tetapi bila gagal, dia akan dihukum mati.

Dan benar saja, begitu kuda raja, yang dinamai Kiai Joyotopo, melihat tali kekang burung Mahendra di tangan Ki Tolih, langsung jinak kembali. 

Prabu Brawijaya masih belum begitu saja mempercayai Ki Tolih. 

Dilepasnya seekor singa buas. Ternyata singa itu pun langsung jinak begitu melihat tali kekang tadi.

Sesuai janji Prabu Brawijaya, Ki Tolih dibebaskan, tetapi dia menolak menerima hadiah dan jabatan. 

Dia memilih menetap di Majapahit. Permintaan Ki Tolih dikabulkan. Keris miliknya pun, yang tanpa sarung, juga dikembalikan pada Ki Tolih.

Setelah beberapa lama menetap di Majapahit, Ki Tolih berniat memesan sarung (wrangka) untuk kerisnya. 

Dia pergi ke daerah Banyumas dan menemui seorang ahli keris, Kiai Mranggi Kejawar.

Kiai Mranggi Kejawar, yang tak lain adalah ayah angkat Raden Jaka Kahiman, menyanggupi membuat sarung untuk keris Ki Tolih. 

Namun tiba-tiba keris itu hilang saat diserahkan kepada Kiai Mranggi Kejawar dan mereka berdua terperanjat. 

Kemudian Ki Tolih mengatakan bahwa mungkin keris itu memang bukan haknya.

Pada saat yang bersamaan, Raden Jaka Kahiman yang sedang dalam perjalanan dari Wirasaba menuju Kejawar, ke rumah orang tua angkatnya, untuk memberitahukan rencana pernikahannya dengan putri Adipati Wirasaba. 

Tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyelinap di ikat pinggangnya. Ternyata itu adalah sebilah keris tanpa sarung. Dia sangat keheranan.

Sesampainya di Kejawar, Kiai Mranggi dan Ki Tolih yang masih ada di sana terheran-heran melihat Jaka Kahiman datang memakai keris tanpa sarung yang ternyata keris milik Ki Tolih.

Ketika ditanyakan oleh Ki Tolih, apakah Jaka Kahiman menyukai keris tadi, Jaka Kahiman mengatakan kalau dia amat suka dengan keris itu, tetapi tidak mau memilikinya karena bukan haknya.

Ki Tolih dengan ikhlas memberikan keris itu kepada Jaka Kahiman dan berpesan agar dipakai pada saat upacara pernikahannya.

Demikianlah, Raden Jaka Kahiman selain sebagai seorang yang “terpilih”, dia adalah seorang yang jujur dan baik hatinya.

Raden Joko Kahiman pun menyampaikan permintaan Kanjeng Adipati. Dan Karena tidak mampu, Kiai Mranggi Kejawar (ayah angkat Jaka Kaiman) meminta bantuan keuangan kepada Banyak Kumara di Kaleng yang masih Kerabat dari Joko Kahiman.

Sebenarnya Joko Kaiman adalah putera Raden Banyak Sosro dengan ibu adalah puteri Adipati Banyak Geleh (Wirakencana/Mangkubumi II) dari Pasir Luhur. 

Semenjak kecil Raden Joko Kaiman diasuh oleh Kyai Mranggi di Kejawar, yang terkenal dengan nama Kyai Sembarta dengan Nyi Ngaisah yaitu puteri Raden Baribin yang bungsu.‎

Setelah semuanya siap Raden Joko Kahiman pun berpamitan pulang ke Kadipaten.‎ 

Ki tolih pun meramalkan Jaka Kaiman akan menjadi Penguasa di Wirasaba dan akhirnya keris Gajah Endra di bawanya pulang Jaka kaiman kembali ke Wirasaba dan menikahi Rara Kartimah putri dari Adipati Warga Utama I.

‎Adipati Wirasaba Wargatuma I mengawinkan puterinya yang belum cukup umur, bernama Rara Sukartiyah, mendapatkan Bagus Sukara anak Ki Gede Banyureka Demang Toyareka. 

Dalam hidup rumah tangga kedua pasangan itu tiada kecocokan. 

Pihak Puteri tidak bersedia melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.

Akibat sikap istrinya itu, Bagus Sukra terpaksa pulang kerumah orang tuanya di Toyareka. 

Kepulangan puterinya itu diterima oleh Ki Gede Banyureka dengan hati masygul. 

Ia menganggap dan menuduh Adipati Wirasaba tidak bisa membimbing Puterinya. 

Dan rasa dendam mulailah bersarang dalam batin Ki Gede Banyureka.

Begitulah sudah menjadi kebiasaan, tiap tahun Sultan Pajang R. Hadiwijaya yang menjadi atasannya, secara bergilir meminta upeti seorang gadis yang masih suci kepada bawahannya, untuk dijadikan selir atau penari kesultanan. 

Karena kesetiannya, Adipati Wargautama I menyerahkan Rr Sukartiyah (Puterinya) kepada Baginda Sultan. 

Ia mengatakan kepada Sultan bahwa puterinya itu masih dalam keadaan suci. Selesai menghaturkan segera ia beranjak meninggalkan pendapa kesultanan.

Tetapi sesaat kemudian, datanglah Ki Gede Bnyureka bersama Bagus Sukra menghadap Sultan. 

Kedua orang ini mengatakan, bahwa Rara Sukartiyah yang baru saja dihaturkan itu isteri Bagus Sukra.

Mendengar laporan itu, murkalah Sultan Mandiwidjaya karena merasa dirinya telah dikibuli dan dihina oleh Adipati Wargautama I. 

Tanpa pikir panjang disuruhlah seorang gandek (prajurit)agar memburu dan membunuh Adipati Wirasaba yang belum lama meninggalkan pendapa kesultanan.

Setelah Ki Banyureka beserta anaknya mohon diri, dipanggilah Rara Sukartiyah dimintai keterangan. 

Rara Sukartiyah menjelaskan, dan mengakui bahwa dirinya memang masih menjadi isteri Bagus Sukra, tetapi sejak mulai kawin belum pernah melakukan kewajiban sebagai seorang istreri.

Maka sadarlah Baginda Sultan, bahwa putusan yang diambilnya tadi sebenarnya sangat tergesa-gesa. 

Karenanya diperintahkan lagi seorang prajurit agar menyusul dan membatalkan hukuman mati yang akan oleh utusan pertama.

Perjalanan Adipati Wirasaba Adipati Wirasaba sementara itu sudah sampai di desa Bener. 

Sedang mengaso di sebuah rumah balai malang (rumah yang pintu depannya dibawah pongpok) sambil makan hidangan nasi dan lauk daging angsa. 

Tiba-tiba datanglah seorang prajurit pajang dengan tombak di tangan siap membunuhnya. 

Tentu saja sikap prajurit Pajang itu menjadi kejutan bagi Adipati Wirasaba. 

Bersamaan dengan itu, dari kejauhan terdengar suara orang berteriak. 

Tatkala prajurit yang siap membunuh menoleh kearah datangnya suara itu, terlihat rekannya (utusan kedua) melambaikan tangan. 

Tanpa piker panjang diutuskannya tombak itu kepada Adipati Wirasaba, sehingga korban jatuh terkapar berlumuran darah. 

Peristiwa ini terjadi bertepatan dengan hari Sabtu Pahing.
Kedua prajurit itu kemudian menyesal, setelah sama-sama mengerti bahwa lambaian tangan tadi sebenarnya merupakan isyarat, agar pembunuhan dibatalkan. 

Sesaat sebelum menemui ajalnya Adipati Wargatuma I konon sempat member pesan, agar orang-orang Banyumas sampai turun-temurun jangan beprgian di hari sabtu pahing, jangan makan daging angsa, jangan menempati rumah balai malang dan jangan menaiki kuda berwarna dawuk bang. 

Karena menurutnya dapat mendatangkan malapetaka. Kecualai itu Adipati juga berpesan agar orang-orang Wirasaba tidak dikawinkan dengan orang Toyareka. 

Pesan-pesan tersebut dijadikan prasasti pada makam Adipati Wirasaba dan menjadi kepercayaan turun temurun di sementara masyarakat Banyumas. 

Namun kepercayaan itu kini kini sudah semakin menipis, karena masyarakat kian menyadari akan perlunya memelihara persatuan dan kesatuan serta demi suksesnya pembangunan nasional.

Jenazah Adipati Wirasaba Wrgautama I kemudian dimakamkan di desa klampok Kabupaten Banjarnegara dan dikenal dengan sebutan makam Adipati Wirasaba.
Setelah kematian Adipati Warga Utama I, Sultan Pajang Adiwijaya kebingungan dan merasa sangat bersalah dan atas kejadian ini. 

Maka dengan segera Sultan Pajang memanggil putera Adipati Warga Utama I, namun tidak ada yang berani menghadap. 

Maka satu dari dua putra menantu Adipati yaitu Raden Joko Kaiman (suami R. Rara Kartimah) memberanikan diri untuk menghadap dengan menanggung apapun segala resikonya.

Bukan amarah dan murka yang di dapat tetapi anugerah dijadikannya Adipati dengan gelar Adipati Warga Utama II. 

Karena Raden Joko Kaiman bukan keturunan kandung dari Adipati yang terbunuh maka teks pengangkatanpun harus dirubah.

Dan atas kemurahan Sultan Pajang akhirnya Wirasaba dibagi menjadi empat yaitu;
  1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
  2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
  3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
  4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT