Perjalanan Pemilu Legislatif Pertama Era Orde Baru Hingga Era Reformasi (Buku: Di Balik Reformasi 1998)

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Perjalanan Pemilu Legislatif Pertama Era Orde Baru Hingga Era Reformasi (Buku: Di Balik Reformasi 1998)
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. 

Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. 

Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. 

Orde Baru berlangsung dari tahun1966 hingga 1998. 

Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.

Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang relatif tidak stabil. 

Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya persaingan di antara kelompok-kelompok politik. 

Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat mempersenjatai diri. 

Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia. 

Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah. 

Era Pasca Soeharto atau Orde Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.

Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.

Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. 

Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. 

Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Pada pemilu yang diselenggarakan pada 1999(lihat: Pemilu 1999), partai PDI-P pimpinan Megawati Soekarnoputri berhasil meraih suara terbanyak (sekitar 35%). 

Tetapi karena jabatan presiden masih dipilih oleh MPR saat itu, Megawati tidak secara langsung menjadi presiden. 

Abdurrahman Wahid, pemimpin PKB, partai dengan suara terbanyak kedua saat itu, terpilih kemudian sebagai presiden Indonesia ke-4. 

Megawati sendiri dipilih Gus Dur sebagai wakil presiden.

Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid diwarnai dengan gerakan-gerakan separatisme yang makin berkembang di Aceh, Maluku dan Papua. Selain itu, banyak kebijakan Abdurrahman Wahid yang ditentang oleh MPR/ DPR.
☆☆☆☆☆
Rezim Orde Baru dan Politikus Kasta Paling Rendah

Tahun 1992 Laksamana Sukardi terpilih menjadi anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ia menyadari keputusan politiknya membuat dirinya dicap sebagai oposisi politik Presiden Soeharto dan semua suprastruktur dan organisasi di belakangnya.

"Hampir tak ada pengusaha ataupun profesional yang mau menjadi oposisi rezim Orde Baru. Menjadi oposisi merupakan pilihan yang sangat berbahaya. Pemerintah tak punya toleransi terhadap oposisi," ungkap Laks dalam catatan pribadinya yang dituangkan ke dalam buku Di Balik Reformasi 1998.

Tak ada pula pegawai negeri sipil yang diperbolehkan menjadi anggota dan pendukung partai politik, selain anggota dan pendukung Golkar. Jika berlaku sebaliknya, PNS itu akan dikucilkan dan dipecat.

Ada beragam respons negatif yang diterima Laks ketika memutuskan bergabung dengan PDI. Ia menyimpulkan, sistem politik Indonesia waktu itu, para politikus terbagi dalam tiga kasta. Kasta tertinggi ditempati Soeharto dan para anggota keluarganya.

Kasta kedua para anggota ABRi dan Golkar. Kasta terendah diisi politikus PDI dan PPP.

"Warga kasta politik terendah tak punya hak mendapatkan pekerjaan apa pun di pemerintahan. Organisasi dan kebijakan kasta terendah dikontrol dan diatur oleh suprastruktur yang diciptakan oleh Presiden Soeharto," papar Laks.

PDI dan PPP adalah contoh bagaimana kumpulan partai dipaksakan ke dalam dua partai. PDI merupakan gabungan Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonedis, Partai Katolik, dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak.

Sedangkan PPP, hasil penggabungan Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Tarbiyah Islamiyah.

"Penggabungan yang dipaksakan memudahkan pemerintah mengontrol dan menciptakan konflik internal. Kepengurusan partai harus mendapatkan restu dari pemerintah Soeharto," kata dia.

Soeharto akan menempatkan para pengurus yang berafiliasi dengannya untuk saling memata-matai di antara mereka sendiri.

Selain itu, rezim juga menciptakan kelompok-kelompok di luar pimpinan partai yang tugasnya mengganggu pimpinan partai itu sendiri.

"Apa yang lebih membingungkan ternyata banyak tokoh politik yang mau diadu domba dan dijadikan pelengkap penderita dalam sistem demokrasi yang hanya 'seolah-olah'," katanya.

Kisah di atas merupakan salah satu catatan pribadi Laksamana Sukardi sejak 1990-2004 yang dibukukan dalam buku Di Balik Reformasi 1998. Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini diluncurkan di Menara Imperium, Jakarta, Senin (6/8/2018).

Laks mengungkapkan banyak hal ketika ia berada di bawah bayang-bayang Orde Baru hingga pascatransisi Reformasi. Ia menekankan, buku ini menjadi sebuah pesan sejarah khususnya kepada generasi muda untuk memetik berbagai pelajaran dari era Orde Baru dan Reformasi saat ini.

Laksamana Sukardi lahir pada 1 Oktober 1956. Setelah Reformasi, lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) ini dipercaya menjadi Menteri BUMN pada tahun 1999-2004. Ia juga pernah berkiprah sebagai Bendahara Umum PDI-P dan anggota DPR pada tahun 1992-1997.

Sebelumnya ia juga pernah berkarir sebagai Vice President Citibank pada 1981-1987 dan Managing Director Lippobank pada 1988-1993.
☆☆☆☆☆
Pemilu Legislatif Pertama Era Orde Baru
Pada 3 Juli 1971, digelar pemilihan legislatif pertama pada era Orde Baru.

Pemilu 1971 diselenggarakan untuk memilih dan menentukan calon legislatif (DPR)

Sebanyak 10 partai mengikuti Pemilu 1971 yaitu Golkar, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Persatuan Tarbiah Islamiah (PERTI), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Katolik.
Pemilu Kedua
Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua setelah pemilu pertama pada 1955 yang memilih anggota DPR dan Konstituante.

Pada masa itu, Soeharto sudah ditetapkan oleh MPRS sebagai Presiden untuk menggantikan Soekarno.

MPRS dan DPR-GR bentukan Orde Lama masih aktif, tetapi Soeharto sendiri melakukan pembersihan lembaga peninggalan Orde Lama.

Cara pembagian kursi yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955.

Pada Pemilu 1971, UU No 15 Tahun 1969 menjadi dasar pembagian kursi habis di setiap daerah pemilihan.

Saat pemilu pada masa ini, para pejabat negara dan perdana menteri harus bersifat netral.

Hal ini dibuktikan dengan tidaknya mengikuti kampanye dan mendukung salah satu parpol.

Kondisi tersebut berbeda dengan Pemilu 1955 di mana para pejabat negara dan menteri boleh masuk partai.

Pada praktiknya, para pejabat pemerintah tetap berpihak pada salah satu peserta pemilu.

Masa Kampanye
Dikutip dari Harian Kompas, 26 April 1971, penyelenggaraan kampanye berlangsung pada 29 April-28 Juni 1971.

Selama 60 hari, partai yang mengikuti pemilu boleh berkampanye untuk menarik simpati masyarakat.

Sebelum melakukan kampanye, ketua partai harus meminta izin kepada pimpinan daerah.

Setelah mendapatkan izin, partai boleh menyosialisasikan program-program partainya seperti rapat umum di lapangan, mengadakan pawai di jalan/ di kampung dan mengadakan keramaian untuk umum.
Pelaksanaan Dan Hasil Pemilu 1971
Sistem Pemilu 1971 menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem stelsel daftar.

Artinya, besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD, berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan suaranya kepada organisasi peserta pemilu.

Dari 10 partai yang bertarung pada Pemilu 1971, hanya delapan partai yang meraih kursi.

Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) muncul sebagai partai baru.

Meski berasaskan langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber), ada sejumlah masalah terkait ini pada Pemilu 1971.

Salah satunya, dibungkamnya suara partai lain untuk meningkatkan suara Golkar.

Sebelumnya, Golkar mengampanyekan bahwa menentang Golkar berarti menentang pemerintah sehingga tidak akan ada pekerjaan atau pelayanan pemerintah bagi para penentang Golkar.

Struktur kepanitiaan pemilu diduduki para pejabat pemerintahan, terutama dari Departemen Dalam Negeri.

Pada hari pencoblosan, tempat pemungutan suara (TPS) dijaga ketat polisi dan tentara.

Saat itulah mulai dikenal istilah Serangan Fajar, yaitu pemberian uang kepada warga pada pagi hari sebelum datang ke TPS agar mencoblos partai tertentu.
Pada Pemilu 1971, Golkar sebagai partai baru yang mengikuti pemilu ini mendapatkan suara terbanyak dengan perolehan hampir sekitar 62,82 persen suara dan mendapatkan 236 kursi.
Sementara, di posisi kedua, NU mendapatkan suara 18,68 persen dengan 58 kursi.
☆☆☆☆☆
Cerita Sahabat tentang Perjalanan Gus Dur Menentang Orde Baru
"Mereka seperti kumpulan orang aneh yang mengambil opsi untuk melawan kekuasan Orde Baru Soeharto."

Kalimat itu diungkapkan sastrawan Floribertus Rahardi untuk menggambarkan perjuangan tokoh Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid, bersama sejumlah sahabatnya.

Perjalanan pria yang akrab disapa Gus Dur saat berjibaku merintis tegaknya demokrasi di Indonesia itu diungkap ke publik oleh sahabatnya, sekaligus mantan Pejabat Sementara Sekretaris Negara Bondan Gunawan.

Melalui bukunya, Hari-hari Terakhir bersama Gus Dur (2018), Bondan Gunawan menceritakan persahabatannya dengan Presiden ke-4 RI itu.

"Saya pribadi ingin mengungkapan beberapa hal yang mungkin masih menjadi cerita berkabut," tulis Bondan di awal buku tersebut.

Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas itu diluncurkan di Museum Nasional, Jakarta pada Rabu (25/7/2018).

Saat memberikan sambutan, Bondan mengungkapan bahwa bukunya menceritakan perjuangannya bersama Gus Dur, mulai dari membentuk Forum Demokrasi (Fordem) pada 3 April 1991.

Di bagian bukunya, Bondan juga menceritakan sejumlah langkah politik hingga Gus Dur dapat merangkul kelompok minoritas.

Sebagai mantan Pejabat Sementara Sekretaris Negara, Bondan juga menceritakan perjuangan bersama Gus Dur di dalam pemerintahan. Salah satunya yakni cerita saat berdialog dengan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka pada Maret 2000.

Tak hanya itu, buku Hari-hari Terakhir bersama Gus Dur juga mengungkapan kesan Bondan tantang tumbangnya kekuasaan cucu dari pendiri NU Hasyim Asy'ari tersebut.

Bahkan, Bondan juga mengungkapkan aktivitas Gus Dur setelah tak lagi menjadi orang nomor satu di Indonesia.

"Saya harap agar buku ini dapat menjadi bacaan generasi muda.  Kami berangkat dari kelompok yang berbeda, tetapi ketika kami bicara negera ini dikuasai oleh kekuatan tertentu, tidak ada perbedaan itu. dalam hal ini, kami jelas berbeda tetapi demi satu cita cita kami satu," kata Bondan.
☆☆☆☆☆
3 Penasihat Internasional Gus Dur dan Kebingungan Laksamana Sukardi

Masa tugas sebagai menteri di Kabinet Persatuan Nasional yang dibentuk Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ditandai banyaknya peristiwa jenaka. Hal itulah yang dialami Laksamana Sukardi ketika menjadi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di kabinet Gus Dur.

Sebagai menteri, ia sering kali merasa terhibur dengan guyonan-guyonan dan berbagai keputusan-keputusan tak terduga yang dikeluarkan oleh Gus Dur.

"Saya tak mampu bereaksi serius bahkan terhadap kebijakan Presiden yang sesungguhnya dapat berakibat fatal," cerita Laks dalam catatan pribadinya dalam buku Di Balik Reformasi 1998.

Tak lama dilantik sebagai presiden, Gus Dur memilih tiga penasihat yang terdiri dari tokoh dan negarawan internasional yang berpengalaman. Mereka adalah mantan Presiden Singapura Lee Kuan Yew, mantan Pemimpin Bank Sentral Amerika Serikat Paul Volcker, dan mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Henry Kissinger.

"Gus Dur kemudian mengundang mereka ke Jakarta untuk bertemu langsung dengannya. Entah kenapa, sebelum melakukan pertemuan di Istana Negara, para penasihat internasional itu menghubungi saya," tutur Laks.

Ketiganya ingin bertemu dengan Laks sebelum bertemu Gus Dur. Mereka ingin Laks memberikan sekilas informasi masalah-masalah ekonomi dan politik Indonesia sebagai bekal ketika akan bertemu Gus Dur.

"Dalam hati saya berkata, 'Serius banget para penasihat Internasional Gus Dur ini?'. Tampaknya mereka ingin sekali memberikan kesan sebagai tokoh-tokoh profesional dan mampu memberikan nasihat atau advice yang profesional kepada Presiden Republik Indonesia," cerita Laks.

Laks pun merasa terhormat menerima ketiga penasihat penting ini, walaupun ia yakin kedutaan besar asal ketiganya bisa memberikan masukan yang akurat. Namun, Laks berpandangan mereka juga ingin mendengar informasi yang berbeda.

Setelah berdiskusi dan memberikan masukan. Laks mengucapkan "good luck" kepada ketiganya. Ia juga meminta ketiganya mengabari hasil pertemuan dengan Gus Dur.

Keesokan harinya, ketiga penasihat internasional itu menghubungi Laks. Mereka mengaku kesulitan memenuhi keinginan Gus Dur sebagai Presiden.

"Ketika ditanya kenapa, jawaban mereka kurang lebih sama, 'I think he is too tired. Most of the time he fall asleep'. Presiden Gus Dur rupanya sedang lelah tak kuasa menahan kantuk saat menerima mereka," kata Laks.

Setelah itu, tak ada kabar dari para penasihat internasional ini. Laks mengira Gus Dur akhirnya memutuskan tidak jadi meminta bantuan mereka.

"Gitu aja kok repot!" tulis Laks.

Kisah di atas merupakan salah satu catatan pribadi Laksamana Sukardi sejak 1990-2004 yang dibukukan dalam buku Di Balik Reformasi 1998. Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini diluncurkan di Menara Imperium, Jakarta, Senin (6/8/2018).

Laks mengungkapkan banyak hal ketika ia berada di bawah bayang-bayang Orde Baru hingga pascatransisi Reformasi. Ia menekankan, buku ini menjadi sebuah pesan sejarah khususnya kepada generasi muda untuk memetik berbagai pelajaran dari era Orde Baru dan Reformasi saat ini.

Laksamana Sukardi lahir pada 1 Oktober 1956. Setelah Reformasi, lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) ini dipercaya menjadi Menteri BUMN pada tahun 1999-2004. Ia juga pernah berkiprah sebagai Bendahara Umum PDI-P dan anggota DPR pada tahun 1992-1997.

Sebelumnya, ia juga pernah berkarir sebagai Vice President Citibank pada 1981-1987 dan Managing Director Lippobank pada 1988-1993.
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT