Tumpeng Apem Tradisi Kebudayaan Islam Di Jawa (Megengan)

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
"Tumpeng Apem Tradisi Kebudayaan Islam Di Jawa (Megengan)"
Islam Jawa memang memiliki banyak tradisi yang khas dalam implementasi Islam, salah satunya tradisi megengan yang merupakan salah satu tradisi khas yang tidak dimiliki oleh Islam di tempat lain.

Bulan Ramadhan adalah bulan puncak, di mana sebelum adanya bulan Ramadhan kita akan melewati beberapa tahapan di bulan sebelumnya dan kita akan kembali fitri setelah sebulan berpuasa Ramadhan.

Orang Jawa Islam dalam menyabut Bulan Suci Ramadhan dengan rasa syukur dan bahagia dengan di simbolkan dalam acara Megengan sebagai wujud persaudaraan kerukunan Umat Islam Di Tanah Jawa. 

Dan hadirnya Megengan salah satunya ialah momentum untuk mengingat  bahwa kita akan menjalani puasa selama satu bulan. Di mana satu bulan puasa tersebut adalah menjadi bulan yang diagungkan.

Dalam tatanan agama, megengan dipakai sebagai tanda kesiapan mental menyambut Ramadhan. Salah satunya yakni latihan suka sedekah. Karena banyak sekali keutamaan Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. 

Di antaranya yaitu Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-qur’an, adanya malam lailatul qodar, dll. Dan karena keistimewaan bulan tersebut sehingga dijadikannya momentum yang tepat untuk memperoleh keberkahan dari Allah SWT.

Dua jenisa makanan didalam acara megengan adalah:
  1. Mangsa Gunung Sego Tumpeng; dan
  2. Kue Apem Ki Ageng Gribig "Yaqowiyu".

☆☆☆☆☆
MANGSA GUNUNG
SEGO TUMPENG
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; karena itu disebut pula 'nasi tumpeng'. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. 

Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum.

Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu) dan dialasi daun pisang.

Masyarakat di pulau Jawa, Bali dan Madura memiliki kebiasaan membuat tumpeng untuk kenduri atau merayakan suatu peristiwa penting, seperti perayaan kelahiran atau ulang tahun serta berbagai acara syukuran lainnya. 

Meskipun demikian kini hampir seluruh rakyat Indonesia mengenal tumpeng. Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. 

Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam parah yang, atau arwah leluhur (nenek moyang). 

Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.

Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. 

Dalam tradisi kenduri Selamatan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. 

Menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng" merupakan akronim dalam bahasa Jawa : 
  • Yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). 

Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya "Buceng", dibuat dari ketan; akronim dari: 
  • Yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh); dan 
  • Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). 

Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra' ayat 80: 
"Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan". 
Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. 

Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.

Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. 

Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. 

Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.

Dalam kenduri, syukuran, atau selamatan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. 

Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. 

Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.
☆☆☆☆☆
KUE APEM
Ki Ageng Gribig "Yaqowiyu"
Apem, atau dikenal juga dengan nama Appam di negeri asalnya India, adalah penganan tradisional yang dibuat dari tepung beras yang didiamkan semalam dengan mencampurkan telur, santan, gula dan tape serta sedikit garam kemudian dibakar atau dikukus dan bentuknya mirip serabi namun lebih tebal.

Menurut legenda, kue ini dibawa Ki Ageng Gribig yang merupakan keturunan Prabu Brawijaya kembali dari perjalanannya dari tanah suci. Ia membawa oleh-oleh 3 buah makanan dari sana. Namun karena terlalu sedikit, kue apem ini dibuat ulang oleh istrinya. Setelah jadi, kue-kue ini kemudian disebarkan kepada penduduk setempat. Pada penduduk yang berebutan mendapatkannya Ki Ageng Gribig meneriakkan kata “yaqowiyu” yang artinya “Tuhan berilah kekuatan.”

Makanan ini kemudian dikenal oleh masyarakat sebagai kue apem, yakni berasal dari saduran bahasa arab “affan” yang bermakna ampunan. Tujuannya adalah agar masyarakat juga terdorong selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta. 

Lambat laun kebiasaan ‘membagi-bagikan’ kue apem ini berlanjut pada acara-acara selamatan menjelang Ramadhan.
☆☆☆☆☆
PERAYAAN MEGENGAN
MASYARAKAT SUKU JAWA

Megengan adalah tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut bulan Ramadhan, megengan diambil dari bahasa Jawa yang artinya menahan. 

Ini merupakan suatu peringatan bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan, bulan dimana umat Islam diwajibkan berpuasa, yaitu menahan untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan ibadah puasa tersebut.

Adapun kegiatannya sangat bermacam-macam sesuai dengan adat daerah setempat, tapi umumnya masyarakat Jawa biasanya berbondong-bondong untuk berziarah kubur, membersihkannya serta menaburi bunga diatasnya dan tidak lupa mendoa'akannya serta ada juga yang membacakan yassin dan tahlil, kemudian Masak besar untuk dibagikan kepada sanak famili dan pada malam harinya mengadakan selamatan atau kenduri dengan mengundang para tetangga untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal, ada juga yang selamatan atau kendurinya diadakan bersama-sama oleh seluruh warga setempat dilanggar/ mushola.

Seiring berjalannya waktu tradisi megengan sendiri sudah mulai sedikit ditinggalkan, mungkin tidak bagi masyarakat desa karena tradisi ini masih sangat kental, melekat dan masih dianggap sakral tapi jika menengok masyarakat kota mungkin sudah banyak yang meninggalkan tradisi para leluhurnya ini karena berbagai alasan salah satunya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Yang harus dipahami terlebih dahulu, megengan berada dalam ranah sosial kultural (kemasyarakatan dan kebudayaan) yang mengacu pada aspek kemaslahatan dan tidak bisa dilabeli dengan istilah bid'ah. 

Orang sedekah dengan membawa ambeng (beragam jenis makanan) itu jelas baik dan bermanfaat bagi yang masih hidup, dan do'a-do'a sangat bermanfaat bagi yang sudah meninggal dunia, jadi megengan tidak hanya bermanfaat bagi yang masih hidup tapi juga bermanfaat bagi yang sudah meninggal dunia.

Tradisi ini adalah warisan leluhur yang sudah sepatutnya dijaga dan dilestarikan. Didalamnya mengandung nilai-nilai yang sungguh sangat luar biasa seperti cara berhubungan baik antara manusia dengan manusia, manusia dangan alam ghaib serta manusia dangan tuhannya.

Megengan sebagai sebuah perayaan dan rasa antusias dalam menyambut bulan yang penuh barokah, bulan yang ditunggu-tunggu dan bulan yang didalamnya terdapat malam "lailatul qodar" yaitu satu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan, dijelaskan dalam ayat Al-Qur'an yang berbunyi:
"Lailatul Qodri khoirun min alfi sahr" 
yang artinya:
Satu malam lailatul qodar lebih baik dari pada seribu bulan.
☆☆☆☆☆
WALI SONGO "SUNAN KALIJOGO"
Sejarah Megengan Di Tanah Jawa
Sebelum kedatangan Wali Songo di Jawa, tradisi Megengan sudah ada pada pemerintahan Majapahit yakni Ruwahan, yang berasal dari kata “Ruwah” yakni bulan urutan ketujuh yang bersamaan dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyah. Kata ruwah memiliki makna kata “arwah” yang berarti roh para luluhur dan nenek moyang. Setelah kedatangan Wali Songo ke pulau Jawa, tradisi tersebut pelan-pelan diubah dengan pelaksanaan dan nama yang berbeda.

Diyakini bahwa Sunan Kalijogo-lah salah satu Wali Songo yang memperkenalkan tradisi Megengan ini kepada masyarakat Jawa. Tradisi ini diperkenalkan pada saat penyebaran Islam di Jawa (Jawa Timur dan Jawa Tengan bagian selatan). Kanjeng Sunan berdakwah pada masyarakat Jawa pedalaman dengan menggunakan metode akulturasi budaya (proses sosial budaya). 

Di mana saat itu, Megengan sebenarnya adalah pembelokan dari adat lokal yang mana dahulu masih adanya tradisi sesajen dalam ruwahan yang dipersiapkan khusus untuk arwah dan tidak boleh dimakan. Namun, adat demikian tersebut perlahan dirubah oleh Kanjeng Sunan dengan adat Megengan yaitu sesajen dirubah dengan shodaqah makanan, dan makanan tersebut diperuntukkan untuk dibagikan dan dimakan bersama.

Dengan metode tersebut Sunan Kalijogo dapat berbaur dengan masyarakat dan memperkenalkan Megengan sebagai ganti dari ruwahan. Seperti yang telah kita kenal selama ini, masyarakat Jawa pedalaman memiliki ikatan tradisi yang sangat kuat dan ungguh-ungguh mereka sangat dijaga terhadap orang yang lebih tua dan terutama pemuka agama. Namun akan sangat sulit apabila diharuskan meninggalkan tradisi Ruwahan dan diganti dengan traidisi Islam yang berbau Arab meski Megengan adalah syukur dan doa. Dalam hal ini pembelokan adat tersebut dianggap masih bisa dan masih sesuai dengan syariat Islam.
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT