Kontroversial Vanilla Bercinta BDSM

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Kontroversial Vanilla Bercinta BDSM
Membicarakan hal-hal yang berbau Kualitas Ranjang Di Guling dianggap tabu dan dianggap salah bagi sebagian besar orang. Kita akan dilabeli menyimpang dan tidak tahu sopan santun.

Seolah-olah membicarakan tentang kelamin atau ekspresi bercinta dinilai terlalu liar dan wajib untuk dihindari.

Padahal kekuatan media dan teknologi telah memberikan sumbangsih yang cukup besar atas konten-konten yang mengeksplorasi tubuh secara vulgar.

Dengan mudahnya film menawarkan scene yang memuat adegan bersetubuh atau menjamurnya situs yang menghadirkan streaming video panas.

Perlu disadari bahwa, brcinta adalah kebutuhan dasar manusia.

Begitu juga dengan kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal yang layak.

Sehingga, jika tidak ada pelajaran khusus mengenai pendidikan ranjang, maka kebanyakan orang akan tetap terjebak dalam ketidaktahuan percintaan ranjang dan dampaknya akan mengarah pada kekerasan percintaan ranjang simbolik pada perempuan.
Senantiasa perempuan bahkan sebagian laki-laki, merasa risih jika orang-orang di sekitarnya secara gamblang membicarakan tubuh sebagai arena percintaan.

Bahkan sejak dalam pikiran, kita sudah memperlakukan tidak adil bagian-bagian dari tubuh.

Kita merasa lebih nyaman menyebut keindahan mata, kelebatan rambut, atau kehebatan telinga yang mampu mendengar dengan tajam.

Kita akan secara sungkan menyebut payudara yang besar berisi, atau canggung menjelaskan tentang penis yang pendek tapi ngangenin.

Seakan-akan bagian tubuh tersebut tidak layak diperbincangkan, sementara mereka berada pada tubuh yang sama.

Praktis, anggapan laki-laki lebih superior dibanding perempuan dalam wilayah ranjang, menjadi mitos yang susah untuk dihindari.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya jam malam bagi perempuan, dianggap mengakibatkan stigma negatif sebagai perempuan nakal,  atau akibat yang paling parah adalah mereka  bisa saja melakukan praktik percintaan ranjang dan hamil.

Seolah-olah mereka hamil dengan sendirinya. Bukankah untuk perempuan bisa hamil ada peran laki-laki di dalamnya? seharusnya laki-laki juga dilarang keluar malam.
Baru-baru ini sebuah film yang cukup laris dan paling banyak dibicarakan adalah  Fifty Shades Of Grey. Sebuah film yang disutradarai oleh Sam Taylor-Johnson yang juga pernah menyutradarai fim Nowhere Boy (2009), kisah tentang John Lennon. Sebuah film yang diangkat dari trilogi novel karya E.L James, seorang penulis berkebangsaan inggris.

Film ini bercerita tentang seorang mahasiswi Sastra Inggris yang bernama Anastasia Steele (Dakota Johnson) yang harus menggantikan rekan sekamarnya untuk mewawancarai seorang pengusaha muda kaya untuk dimuat dalam koran kampus.

Pemuda itu adalah Christian Grey yang diperankan oleh Jamie Dornan seorang yang berpenampilan bersih, sopan, teliti, dan sangat formal serta memiliki kesan mengintimidasi menurut pengamatan Steele.

Sejak pertemuan itu, Grey menaruh simpati pada Steele, begitu pun sebaliknya.

Diam-diam Steele merasa tertarik pada sosok karismatik Grey.
Grey kemudian memutuskan untuk mendatangi Steele ke tempat kerjanya untuk melanjutkan percakapan yang tertunda sebelumnya dan bersedia melakukan sesi pemotretan untuk koran kampus tersebut.

Sejak saat itulah sebuah hubungan yang tak  biasa dimulai.

Seperti film romantis pada umumnya, film ini menyajikan sebuah model romantis yang tidak biasa.

Sebuah kencan singkat yang dilakukan dengan menggunakan helikopter mengitari kota dilatari dengan soundtrack romantis Ellie Goulding (Love like you do, lo lo love like you do).

Sebagai pria kaya dan tampan, Grey berhasil mencuri hati Steele.

Sampai akhirnya, tiba pada sebuah adegan percintaan ranjang yang melibatkan beragam benda-benda keras yang digunakan untuk mencambuk Steele.

Secara umum film ini mengangkat tema mengenai Sadomasokisme atau dalam dunia p*rn0grafi diistilahkan sebagai Bondage Dominance Sadomasochism (BDSM).

Sebuah ekspresi percintaab yang menjadikan perempuan sebagai budak ranjang panas dan siap menerima hukuman oleh pasangannya seperti dicambuk atau diborgol.

Sebagian besar kalangan menilai film ini sebagai sebuah bentuk kekerasan ranjang panas.
Seperti halnya Morality in Media, sebuah kelompok pengamat anti-p*rn0grafi, menganggap bahwa hampir keseluruhan isi cerita dari film tersebut membicarakan tentang kekerasan ranjang panas, ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki, serta Masokisme sebagaimana yang dimuat dalam Rima News.

Secara budaya mungkin apa yang dijelaskan tersebut diatas adalah benar, namun tak sepenuhnya benar.

Dalam percintaan ranjang, selain identitas dan orientasi, juga dikenal istilah ekspresi ranjang panas.

Sebuah bentuk ekspresi dalam menyalurkan hasrat bercinta, termasuk BDSM.

Setiap orang memiliki fantasi dan kepuasan akan dicapai jika fantasi tersebut tersalurkan.

Film ini menunjukkan sebuah sisi manusia yang memiliki ekspresi bercinta berbeda dengan ekspresi ranjang panas pada umumnya yang dilakukan oleh kebanyakan orang.

Film ini mencoba memberikan perspektif lain bahwa ekspresi itu tidak tunggal dan umum.

Ada beragam ekspresi yang bisa dilakukan saat melakukan hubungan intim. Dan, salah satunya adalah BDSM.
Novel erotis yang kontroversial di seluruh dunia dan kini segera hadir dalam film, Fifty Shades of Grey memang mengajarkan bercinta dengan BDSM alias Bondage and Discipline, Sadism and Masochism (perbudakan, disiplin, sadis, dan masokis). Lantas apa itu BDSM dan benarkah menyehatkan?

Ini menarik, seperti diberitakan Nydailynews, Jumat (6/2/2015), praktik bercinta yang melibatkan rasa sakit dan kekerasan saat bercinta serta melukai diri sendiri atau pasangan untuk mencapai kepuasan ini ternyata menyehatkan. 
The Journal of Senual Medicine bahkan menuliskan, pasangan yang terlibat dalam praktik BDSM memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik daripada orang-orang yang terlibat dalam apa yang disebut percintaan 'vanilla'. 
The British Medical Journal mendefinisikan vanila bercinta adalah hubungan bercinta yang terjadi antara pasangan heterosensual di dunia Barat yang sering merujuk pada posisi misionaris dan dianggap sebagai gaya bercinta standar, jauh dari BDSM.
Menurut peneliti, BDSM menyehatkan karena akan membuat pasangan lebih terbuka terhadap pengalaman baru, ditambah lagi dengan sedikit penolakan yang dianggap menggairahkan.

Ada anggapan yang berlaku secara universal dan diakui oleh keilmuan yang positivis.

Seolah segala sesuatu yang terjadi dan di luar kebiasaan normal dianggap sebagai sebuah perilaku yang menyimpang.

Lazimnya, kita berjabat tangan menggunakan tangan kanan, sekiranya ada yang berjabat tangan menggunakan tangan kiri padahal orang tersebut “Normal atau tidak sehat” maka berjabat tangan dengan menggunakan tangan kiri adalah menyimpang.

Positivis senantiasa melihat realitas dalam kacamata sistem. Sesuatu yang saling berhubungan satu dengan yang lain. jika salah satu sub sistem tidak melakukan perannya sebagaimana yang lain, maka sistem akan mengalami ketidakseimbangan. Dan mereka subsistem yang gagal menjalankan peran disebut menyimpang (deviant)

Begitu pula dalam dunia ranjang panas. Seolah tahapan sensual sedari kecil seperti oral, anal, pallus dan genital harus dilalui secara linear.

Orientasi sensual yang normal adalah penis ke vagina, sementara penis ke anus dianggap menjijikkan dan menyimpang.

Ekspresi pun menjadi sesuatu yang dicibir, BDSM dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Padahal ekspresi tersebut merupakan fantasi yang dimiliki setiap orang tidak boleh direpresi atau dikekang.

Mencapai kepuasan dengan sesuatu yang tak lazim dianggap menyimpang. Seolah-olah kepuasan bercinta hanya dapat tercapai dengan hubungan yang sederhana antara penis dan vagina.

Mengapa orgasme yang didapatkan melalui sesuatu yang dianggap “kekerasan” tidak layak? Ini sama halnya dengan membunuh pilihan kebebasan manusia. Padahal apa yang menjadi ekspresi mereka tidak mengganggu orang lain.

Ada banyak kasus pencapaian orgasme yang tak lazim, misalnya melalui olahraga, ada yang menemukan kepuasan sensual dengan menghisap jempol, melalui persalinan, bahkan hanya dengan menguap seseorang dapat menemukan kepuasan sensualnya.

Jadi, bukan hal yang aneh jika ada orang yang menemukan kepuasan sensualnya dengan jalan kekerasan.

Bisa jadi kita saja yang melihat adegan BDSM yang menganggapnya sebagai sebuah kekerasan, sementara mereka sangat menikmatinya.

Sesuatu dapat dikatakan kekerasan sensual dalam kasus pemerkosaan, sementara ekspresi BDSM adalah sesuatu yang dilakukan atas dasar suka sama suka bahkan dalam film tersebut menggunakan kontrak.

Sekiranya salah satu di antara keduanya tidak menyetujui maka hubungan tersebut dihentikan seperti yang terjadi di akhir cerita film tersebut.

Anggapan mengenai ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki dalam film tersebut juga tidak sepenuhnya benar.

Apa yang mereka lakukan adalah berdasarkan kesepakatan dan dilakukan secara sadar.

Bukankah sebenarnya yang melakukan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan adalah  budaya kita sendiri.

Sedari kecil budaya melakukan pembedaan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada kesepakatan. Sedari kecil perempuan lebih sering mendapatkan larangan dibanding laki-laki.

Ekspresi sensual adalah hak segala manusia. Orientasi sensual maupun ekspresi gender memiliki hak untuk hidup bersama tanpa pengucilan.

Kita tidak boleh melihat mereka yang berbeda dengan kita sebagai sesuatu yang menyimpang apalagi sebagai sesuatu yang salah.
Baca Juga:
  1. Ajaran Asmaranala Raja-Raja Jawa 
  2. Asmaragama Raja Jawa 
  3. Cara Memperbesar Alat Vital Penis Paling Alami, Aman, dan Mudah
  4. Kontroversial Vanilla Bercinta BDSM
  5. Opini Tentang Sejarah BDSM 
The Journal of Senual Medicine
Introduction
Little attention has been paid to distress in sesual functioning or the sesual satisfaction of people who practice BDSM (Bondage and Discipline, Domination and Submission, Sadism and Masochism).
Aim
The purpose of this study was to describe sociodemographic characteristics and BDSM practices and compare BDSM practitioners' sesual outcomes (in BDSM and non‐BDSM contexts).
Methods
A convenience sample of 68 respondents completed an online survey that used a participatory research framework. Cronbach's alpha and average inter‐item correlations assessed scale reliability, and the Wilcoxon paired samples test compared the total scores between BDSM and non‐BDSM contexts separately for men and women. Open‐ended questions about BDSM sesual practices were coded using a preexisting thematic tree.
Main Outcome Measures
We used self‐reported demographic factors, including age at the onset of BDSM interest, age at first BDSM experience, and favorite and most frequent BDSM practices. The Global Measure of Sesual Satisfaction measured the amount of sesual distress, including low desire, arousal, maintaining arousal, premature orgasm, and anorgasmia.
Results
The participants had an average age of 33.15 years old and were highly educated and waited 6 years after becoming interested in BDSM to act on their interests. The practices in which the participants most frequently engaged did not coincide with the practices in which they were most interested and were overwhelmingly conducted at home. Comparisons between genders in terms of distress in sesual functioning in BDSM and non‐BDSM contexts demonstrate that, with the exception of maintaining arousal, we found distress in sesual functioning to be statistically the same in BDSM and non‐BDSM contexts for women. For men, we found that distress in sesual functioning, with the exception of premature orgasm and anorgasmia, was statistically significantly lower in the BDSM context. There were no differences in sesual satisfaction between BDSM and non‐BDSM contexts for men or women.
Conclusion
Our findings suggest that BDSM sesual activity should be addressed in clinical settings that account for BDSM identities, practices, relationships, preferences, sesual satisfaction, and distress in sesual function for men and women. Additional research needs are identified, such as the need to define distressful sesual functioning experiences and expand our understanding of the development of BDSM sesual identities. 
Pascoal PM, Cardoso D, and Henriques R. Sesual satisfaction and distress in sesual functioning in a sample of the BDSM community: A comparison study between BDSM and non‐BDSM contexts. J Ses Med 2015;12:1052–1061
The British Medical Journal 
Introduction
This book explores the living worlds of queer Christianities.
The title may disconcert. Like other traditions, Christianity has often oppressed sesually nonconforming people. The harm it has done is vast and ongoing, and yet queer people have also thrived in Christian contexts. They have made and continue to make homes for themselves within Christian traditions. But more disconcerting still, for many who believe that the terms are mutually exclusive, is the growing number of theologians and practitioners who find Christianity itself to be at heart queer. 
Celibacy was long the most prized among Christian “states of life”—indeed, the paradigmatic state of Christian life, distinguished from pagan and Jewish practices. It may seem today no more than an anachronism, a pathology haunting the Christian traditions, but as the chapters in this part suggest, such a judgment would be premature.
Like “Matrimonies” and “Promiscuities,” the title of this part invokes a traditional term ripe for queering. “Celibacy” abuts other terms and forms of living, including chastity, abstinence, asceticism, and asesuality, and raises questions of nonsesual eros and mystical ses. 
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT