Perdebatan Tentang Akurasi Historis Atas Bendera Nabi Muhammad tersebut.

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Perdebatan Tentang Akurasi Historis Atas Bendera Nabi Muhammad tersebut.
Ada sesuatu yang bisa dibilang sebagai simbol bersama yang diakui semua orang dalam sebuah komunitas besar atau bahkan dalam kemanusiaan. 

Kita sebagai umat Islam punya kesamaan yang menjadi identitas bersama, misalnya azan. Di manapun azan terdengar, berarti itu adalah tanda serang muslim sudah waktunya menunaikan shalat. 

Di manapun ada pelarangan atau pelecehan terhadap azan, maka seluruh muslim akan keberatan.

Ada juga hal yang menjadi milik seluruh manusia, misalkan perdamaian, kejujuran, keadilan dan sebagainya. 

Di manapun hal-hal itu dijunjung tinggi, maka akan diapresiasi oleh semua orang. Demikian sebaliknya bila hal-hal itu dinodai, maka akan dihakimi oleh siapapun. 

Tapi ada juga hal umum yang kemudian berkembang menjadi identitas kelompok tertentu saja.

Misalnya kain penutup rambut bagi wanita, dulunya orang dari berbagai agama banyak memakainya namun sekarang kain tersebut menjadi identitas seorang muslimah. Kita menyebutnya sebagai jilbab atau kerudung.

Demikian juga kain panjang yang dipakai menutup tubuh lelaki dari pundak hingga ke bawah, yang hanya menutupi satu pundak saja dan membiarkan sebagian badan terlihat.

Bila kain ini berwarna putih, maka menjadi simbol muslim yang sedang ihram, namun bila kuning justru menjadi simbol Biksu Hindu.

Ada juga yang asalnya simbol kelompok kemudian berubah umum menjadi milik bersama, misalnya peci hitam. Dulu peci hitam adalah simbol pakaian muslim, sekarang menjadi simbol pakaian nasional, tak harus Muslim untuk memakainya. 

Hal yang sama berlaku dalam ajaran islam sendiri. Misalnya saja kasus taqiyyah. Sejatinya taqiyyah adalah keringanan yang disebutkan secara literal dalam al-Qur'an. Semua ulama mengakui kebolehan taqiyyah, namun ketika taqiyyah berkembang menjadi simbol Syi'ah, maka para ulama menjauhi kata ini bahkan tak membahasnya. Demikian juga pada sebutan "Imam" bagi Sayyidina Ali, meski seluruh kaum muslimin mengakui keimaman beliau, tapi kebanyakan ulama menghindari ucapan "Imam Ali" sebab ucapan ini berkembang menjadi simbol Syi'ah. 
Sekarang, bagaimana dengan bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid?
Bendera adalah 
Sepotong kain atau kertas segi empat atau segitiga (diikatkan pada ujung tongkat, tiang, dan sebagainya) dipergunakan sebagai lambang negara, perkumpulan, badan, dan sebagainya atau sebagai tanda; panji-panji; tunggul: sering dikibarkan di tiang, umumnya digunakan secara simbolis untuk memberikan sinyal atau identifikasi. 

Hal ini sering juga digunakan untuk melambangkan suatu negara/ organisasi/ Kelompok tertentu untuk menunjukkan kedaulatannya.

Bendera pertama digunakan untuk membantu koordinasi militer di medan perang, dan bendera sejak berevolusi menjadi alat umum untuk sinyal dasar dan identifikasi, terutama di lingkungan di mana komunikasi juga menantang (seperti lingkungan hidup maritim di mana semaphore digunakan). 

Bendera nasional adalah simbol-simbol patriotik kuat dengan interpretasi luas bervariasi, sering termasuk asosiasi militer yang kuat karena asli dan berkelanjutan militer mereka. 

Bendera juga digunakan dalam pesan, iklan, atau untuk tujuan hias lain. Studi tentang bendera dikenal sebagai vexillology.

Peradaban-peradaban purba seperti peradaban Persia dan Tiongkok sudah lazim menggunakan panji, pataka atau bendera sebagai penanda pasukan perangnya. 

Pada zaman dahulu, di medan pertempuran tanda-tanda atau standar yang digunakan dalam peperangan yang dapat dikategorikan sebagai vexilloid atau "seperti bendera". 

Contohnya dari legiun Romawi seperti elang dari legiun X Agustus Caesar, atau naga dari Sarmatian, yang kedua adalah membiarkan terbang bebas di angin, dibawa oleh seorang penunggang kuda, tetapi dinilai dari penggambaran itu lebih mirip dengan layang-layang naga panjang daripada bendera sederhana.

Dimulai pada awal abad ke-17, telah menjadi kebiasaan (dan kemudian persyaratan hukum) bagi kapal laut untuk membawa bendera kebangsaan mereka; bendera-bendera ini akhirnya berkembang menjadi bendera nasional dan bendera maritim di hari kemudian. 

Bendera juga menjadi sarana pilihan komunikasi di laut, mengakibatkan berbagai sistem sinyal bendera; seperti bendera sinyal maritim internasional.

Penggunaan bendera di luar konteks militer atau angkatan laut dimulai dengan munculnya semangat nasionalis pada akhir abad ke-18, pada saat awal bendera nasional untuk periode tersebut, dan selama abad ke-19 itu menjadi umum untuk setiap negara berdaulat untuk memperkenalkan bendera nasionalnya

Kasusnya sama saja, dulu di era Nabi itu menjadi milik bersama sebagai simbol pasukan muslimin dalam memerangi penindasan kaum kafir terhadap umat muslim, sekarang di Suriah berkembang jadi bendera (simbol) ISIS sedangkan di Indonesia jadi bendera (simbol) HTI. 
Kalau kebanyakan orang Indonesia melihat itu di pinggir jalan atau di mana pun di Indonesia, maka di benaknya juga akan terbayang HTI, bukan semata simbol bersama lagi sebagai bendera umat islam keseluruhan. 

Meskipun HTI selalu menegaskan bahwa bendera itu adalah bendera Rasulullah, tapi ketika itu mereka jadikan alat propaganda perjuangan mereka, maka wajar bila kemudian Bendera Rasul tak hanya dimaknai sebagai bendera tauhid semata. 

Sebagian kalangan bisa memprotes pengasosiasian bendera "bersama" ini pada kelompok tertentu saja dengan berpaku pada sejarah masa lalu, tapi pengasosian ini adalah fakta empiris saat ini yang tak dapat dipungkiri. 

Bila hal ini cukup sulit diterima dan tetap secara naif menegasikan keterkaitan simbol tersebut dengan HTI, maka silakan kibarkan bendera itu di Arab Saudi yang memiliki kalimat tauhid serupa. 

Tentu nanti akan terlihat bahwa itu bukan semata kalimat tauhid murni lagi, tapi kalimat tauhid yang telah berasosiasi pada kelompok tertentu. 

Jadi, bila sekarang ada kasus oknum yang membakar bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid itu,
Apakah berarti bisa dianggap dia melecehkan kalimat tauhid yang menjadi simbol sakral seluruh umat Islam? 
Tak sesederhana itu. Saya tentu tak mendukung bahkan menyesalkan aksi seperti itu dan apalagi direkam dan disebar segala sebab itu hanya menghasilkan polemik yang tak perlu. 

Namun, saya juga menyesalkan pihak-pihak yang menutup mata dari perubahan bendera sebagai simbol "bersama" ke simbol kelompok tertentu itu.

Bila ditanya pelakunya, tentu mereka tidak berniat melecehkan simbol kalimat tauhid sebab siapapun tahu bahwa ini bisa berkonsekuensi kemurtadan.

Mereka pasti niatnya membakar simbol HTI yang memang berpotensi memecah belah bangsa. 

Kasusnya bisa kita samakan dengan aksi Khalifah Utsman membakar mushaf sahabat. 

Hal itu tak bisa diartikan bahwa beliau sedang melecehkan firman Allah sebab itu berkonsekuensi kemurtadan. 

Dalam sejarah, hanya Khawarij yang punya pikiran picik seperti itu hingga mereka membantai Khalifah Utsman dengan kejinya.

Sedangkan kenyataannya, Khalifah Utsman hanya membakar catatan pribadi para sahabat yang berpotensi memecah belah umat di kemudian hari.

Motif atau niat ini akan menentukan cara kita menghakimi sesuatu. 

Ingat,
Bitter bukan mau membela pembakaran bendera tauhid, tapi mau mengajak agar kita lebih berfikir secara objektif.

Bedakan antara simbol bersama dan simbol yang sudah berasosiasi pada golongan supaya tidak berlebihan dalam berkomentar. 

Cukup Khawarij saja yang pikirannya sempit seperti itu. 
☆☆☆☆☆

Video amatir itu beredar luas, dan lagi-lagi bikin cemas.
Beberapa pemuda berseragam Banser dengan agak susah payah menyalakan korek di bawah dua lembar kain hitam.

Kain pertama cukup lebar, seukuran bendera. Kain kedua kecil memanjang, seukuran ikat kepala.

Di atas kain-kain hitam itu tertulis kalimat dalam aksara Arab:
Lailahaillallah Muhammadar rasulullah. 
Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.
Dan, orang-orang itu membakarnya!

Sebagai muslim yang dididik sejak kecil dalam ajaran Islam, fondasi itu tetap menjadi bagian paling dasar dari segenap membangun keyakinan yang Bitter peluk hingga detik ini:
Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.

Maka, bagaimana bisa menyalahkan dan sebersit perasaan pedih di hati,
Jika sebuah teks kalimat dengan muatan makna yang sangat saya cintai dibakar orang?

Pada detik-detik itu, yang tertangkap oleh mata fisik dan mata perasaan bitter semata-mata hanyalah kalimat:
Lailahaillallah Muhammadar rasulullah
Sebuah perasaan yang terbangun dari bawah sadar emosi puluhan tahun tidak akan punya cukup waktu untuk mencerna warna kain tempat kalimat itu diletakkan.

Namun kenyataanya...!!!
Konstelasi sosial-politik yang menempatkan teks itu dalam sebuah tarik-ulur kepentingan global, dan perkara-perkara rumit lainnya. Itu kejauhan.

Memang, kemudian Bitter memahami konteksnya. Dan, di atas papan konteks inilah segala kerumitan ini bermula.

Dalam sebuah pandangan,
Hizbut Tahrir itu cerdas sekali, sekaligus licin sekali, untuk tidak mengatakan curang sekali.

Baca dulu penjelasan berikut:
Mereka membangun sebuah organisasi, yang mereka sebut sendiri sebagai sebuah partai (secara harfiah Hizbut Tahrir bermakna 'partai pembebasan').

Kemudian, mereka memilih bendera Rasulullah Muhammad SAW sebagai simbol mereka.

Dalam logo internasional Hizbut Tahrir, bendera tersebut tergambar utuh sebagai bendera, lengkap dengan tiangnya, ditambahi bola dunia, dan tulisan Hizb ut-Tahrir dalam huruf Arab dan alfabet.

Bitter tidak ingin masuk ke dalam:
Perdebatan tentang akurasi historis atas bendera Nabi Muhammad tersebut. 

Namun, dengan pemilihan logo bendera Nabi dalam posisi utuhnya sebagai bendera, permainan simbolisasi visual berkembang lebih jauh lagi.

Maka, kita pun menyaksikan, dalam setiap aksi yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), para anggotanya membawa bendera-bendera seperti itu.

Nuansa hitam-putih selalu dominan dalam segenap aksi HTI, dengan bendera putih bertulisan hitam, atau bendera hitam bertulisan putih. Semuanya memajang kalimat yang sama:
Lailahaillallah Muhammadar rasulullah.

Pada satu sisi, kiat harus memaklumi kenapa mereka menggunakan simbol bendera tersebut.

Mereka (Anggota HTI) meyakini diri sebagai kelompok yang memperjuangkan Islam paling kaffah, sehingga merasa wajib memajang simbol yang merepresentasikan Islam.

Itu hal yang normal saja dalam belantara klaim kebenaran dari segala jenis kelompok Islam. Toh, masing-masing kelompok juga merasa menjalankan Islam yang benar.

Problemnya, simbol bendera hitam dan putih itulah yang paling memainkan citra visual terkuat atas HTI di tengah-tengah publik.

Bukan simbol resmi Hizbut Tahrir sendiri. 
Belum pernah melihat para aktivis HTI memanggul logo resmi Hizbut Tahrir dalam aksi mereka, BENAR KAH?

Kalau toh ada, pasti kalah dominan dengan kemunculan bendera hitam dan putih.

Walhasil, secara riil, simbol HTI yang paling dikenal publik adalah bendera hitam dan putih bertuliskan:
Lailahaillallah Muhammadar rasulullah.

Loh, bendera itu juga dibawa orang saat demo pembelaan atas Palestina, juga pada peristiwa 212!
Bukan cuma orang HTI yang mengibarkannya! 
Itu bukan bendera HTI!

Tunggu dulu....!!!!!!
Ini bukan tentang hal-hal sporadis seperti itu. Sebagaimana publik awam tidak mengintip lembar akta notaris HTI, citra dominan yang tertangkap di mata mereka pun hanya berupa hal-hal yang berlaku paling lazim dan paling umum.

Dari keumuman itulah, bendera tauhid hitam-putih dan HTI menjadi dua entitas yang identik di mata masyarakat awam Indonesia.
Ini sesungguhnya mekanisme psikologis biasa, classical conditioning. 
Etalase terluar HTI adalah aksi-aksi unjuk rasa, poster-poster, spanduk-spanduk.

Di ruang-ruang itulah bendera hitam dan putih selalu hadir terpajang.

Di mana bendera hitam dan putih bertuliskan kalimat tauhid berkibar, maka 90% kemungkinannya kelompok HTI-lah pembawanya.

Proses itu berlangsung terus-menerus, berulang-ulang, dalam skala yang masif.

Begitulah cara kerja semiotika. 
Begitulah simbol-simbol terbentuk secara alami, bukan dengan logika legal-formal.

Publik tidak akan punya kepentingan untuk setiap saat mengintip akta notaris HTI (sebelum mereka dibubarkan), atau menengok papan nama kantor cabang HTI di kota terdekat, tempat simbol-simbol resmi Hizbut Tahrir menampakkan diri.

Ringkasnya, secara legal memang simbol HTI adalah bendera ditambah bola dunia ditambah tulisan Hizb ut-Tahrir.

Namun, secara de facto dalam benak dan persepsi publik luas, Simbol HTI adalah:
Bendera hitam dan putih dengan kalimat tauhid.
Situasinya mirip dengan tanda gambar Partai Komunis Indonesia (PKI).

Jika itu benar-benar melihat simbol resmi PKI, kita akan tahu tanda gambarnya bukan palu-arit saja.

Lambang resmi PKI adalah:
Palu-arit yang dipadu dengan bendera merah-putih, dirangkai dengan padi dan kapas di samping kiri dan kanan, latar gambar bintang besar berwarna merah, juga pita merah di bagian bawah bertuliskan PKI.

Namun, dalam penampilan PKI setiap saat pada masanya, yang selalu dimunculkan adalah simbol palu-arit saja.

Hasilnya, dalam konteks persepsi publik masyarakat Indonesia, orang melihat bahwa simbol PKI adalah palu-arit.

Simpel sekali.
Kita tidak perlu mengatakan bahwa palu-arit bukan simbol PKI, dengan dalih bahwa tanda gambar resminya lebih kompleks ketimbang sekadar palu-arit. 
Begitu, bukan?

Sekarang, coba bandingkan dengan organisasi-organisasi Islam lain.

Dalam logo Muhammadiyah, misalnya, terkandung teks syahadat berhuruf Arab:
asyhaduallailahaillallah wa asyhaduanna muhammadarrasulullah. 
Itu pun merupakan format lain dari kalimat tauhid, dan sama-sama merupakan dasar suci ajaran Islam.

Bedanya, dalam setiap penampilan publik Muhammadiyah, yang selalu nongol adalah logo utuh Muhammadiyah, lengkap dengan gambar matahari bersinar dan kaligrafi Arab berbunyi Muhammadiyah dalam kombinasi warna hijau-putih. Bukan cuma teks syahadatnya.

Maka, orang tidak akan melihat bahwa teks syahadat identik dengan Muhammadiyah saja.

Kasus yang sama terjadi pada lambang Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Partai tersebut memiliki lambang Kakbah, bangunan suci yang menjadi kiblat umat Islam.

Namun, bersama Kakbah, ada juga unsur lain yakni warna hijau dan huruf-huruf PPP. Para peserta pawai kampanye bermotor PPP tidak pernah secara dominan membawa tanda gambar Kakbah saja. Mereka juga membawa unsur dominan warna hijau, juga tulisan PPP.

Itulah sebabnya, siapa pun yang sedang khusyuk berdoa di depan Kakbah saat haji atau umrah tidak serta-merta teringat wajah Romahurmuziy.

Kita kembali ke HTI. 
Mekanisme pembentukan simbol HTI beda dengan Muhammadiyah dan PPP.

Maka, bendera hitam atau putih dengan teks kalimat tauhid muncul dalam persepsi publik sebagai simbol HTI.

Di situlah cerdas, cerdik, dan curangnya HTI.
Ketika orang-orang bersikap resisten kepada HTI, otomatis mereka akan resisten juga kepada simbol-simbolnya.

Namun, ketika resistensi itu ditujukan secara spontan kepada simbol-publik HTI yakni bendera hitam-putih bertuliskan kalimat tauhid, orang-orang HTI akan menampar balik,
Itu bukan simbol HTI! Itu bendera Rasul! Bendera tauhid! Jadi kamu membenci tauhid!
Nah, nah, nah. Enak sekali HTI ini. Karena simbol de facto mereka adalah bendera Rasul, bendera tauhid, maka dengan gampang mereka menghadang setiap ketidaksukaan kepada HTI dengan tuduhan:
Membenci tauhid, membenci panji-panji Rasulullah.
dan entah apa lagi.

Bitter yakin, ketika pembubaran HTI dilaksanakan waktu itu, aparat pun garuk-garuk kepala.

Kekuatan negara sekalipun tidak dapat membubarkan ideologi, karena ideologi letaknya di otak dan hati.

Satu-satunya yang dapat dijalankan hanyalah membubarkan fisiknya.

Mencabut akta notarisnya, menjadikannya berstatus ilegal, melarang acara-acara resmi yang menggunakan nama organisasi resminya, dan melarang simbol-simbolnya.

Masalahnya,
Bagaimana mau melarang simbol HTI, jika simbol riil mereka yang berlaku di lapangan adalah simbol yang diklaim sebagai "bendera Rasul" atau "bendera tauhid"?
Jadi kalian itu mau membungkam HTI, apa membungkam Islam?
Akhirnya, retorika klise seperti itu muncul lagi dengan instan.
☆☆☆☆☆

Kesimpulan
Dengan segala gambaran mekanisme pembentukan simbol dalam psikologi massa itu tadi,
Bitter tidak bermaksud mengatakan bahwa 
Anak-anak muda Banser di Garut itu murni cuma sedang membakar bendera HTI, lalu berkesimpulan bahwa mereka tidak bersalah sama sekali.
Bukan seperti itu.
Bitter cuma ingin membayangkan situasi yang terjadi pada kedua belah sisi.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa:
Anak-anak muda Banser itu 100% bermaksud membakar bendera tauhid, dan oleh karenanya mereka menghina tauhid. 

Mereka muslim juga, dan bitter pribadi haqqul yaqin mereka masih beriman kepada Allah dan Muhammad.

Persoalannya, dalam:
Mekanisme semiotika alami.
simbol yang mereka bakar itu di mata mereka memang simbol HTI.

Tapi, Secara Teori
Untuk mengatakan bahwa simbol tersebut murni simbol HTI pun Bitter pribadi sangat juga tidak bersepakat.

Bagaimanapun terkandung kalimat:
Lailahaillallah Muhammadarrasulullah
di situ, satu kalimat yang paling sakral dalam iman seorang muslim.

Tapi, Secara De facto
Masyarakat Umum itu menggambarkan simbol sebuah kelompok terlarang yaitu Hizbut Thahris Indonesia (HTI).

Bitter yakin, ada ribuan orang yang posisinya sama persis dengan Bitter.
Barangkali Sahabat Bitrer juga.
Baca Selanjutnya Kudeta Hizbut Thahrir
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT