Kisah Razan Ashraf Najjar, Perawat Palestina Yang Tewas Ditembak Israel

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Kisah Razan Ashraf Najjar, Perawat Palestina Yang Tewas Ditembak Israel

Razan Ashraf Najjar gugur dalam tugas. Peluru tajam yang ditembakkan tentara Israel menembus punggung gadis 21 tahun itu, merangsek ke jantungnya, saat ia sedang memberikan pertolongan pertama pada korban luka di tengah demonstrasi berdarah di perbatasan Gaza, Palestina.

Razan al-Najjar, nama perawat cantik asal Khuzaa, Jalur Gaza, Palestina. Media internasional menyoroti kiprah perempuan 21 tahun yang ditembak matisniper Israel tersebut saat menjalankan tugas kemanusiaan di tengah-tengah demonstran "Great March of Return" di Gaza.

Di saat para perempuan seusianya menikmati hidup dengan pergi ke kelab, shopping, atau hal-hal remeh lainnya, Najjar memilih menjalani hidup yang berbeda. Dia bertaruh untuk menyelamatkan para demonstran yang terluka oleh bidikan senjata sniper-sniper militer Israel.

Publik Gaza menjulukinya "guardian angel" atau "malaikat pelindung". Julukan itu melekat karena kiprahnya dalam menyelamatkan para demonstran Palestina yang terluka oleh tembakan pasukan Israel.

Jauh hari sebelum kematiannya, dia bercerita sekilas mengapa memilih menjalani hidup yang sangat berbahaya ini. Najjar ingin membuktikan bahwa perempuan memiliki peran dalam masyarakat konservatif Palestina di Gaza.

Hingga akhir hidupnya, Jumat 1 Juni 2018, Razan telah membuktikan bahwa ia adalah perawat yang tangguh. Perempuan itu tak gentar bertugas di garis depan. Wajahnya yang cantik dan kinerjanya yang cekatan membuatnya bak 'malaikat' di tengah situasi penuh gejolak di perbatasan Gaza dan Israel.

Razan Ashraf Najjar, seorang relawan paramedis, tewas ditembak di dadanya dan tewas di tangan sniper Israel saat memberikan pertolongan pertama pada korban luka di pagar perbatasan Khan Younes, di selatan Jalur Gaza.

Rqazan menjadi sasaran tembak para penembak jitu Israel, meski ia jelas-jelas mengenakan jas putih, yang menandakan profesinya sebagai paramedis. Peluru tajam sniper Israel menembus punggung hingga ke jantung. Rqazan kemudian meninggal dunia dalam hitungan menit.

Namun, siapa sangka aksi penyelamatan itu menjadi misi terakhir bagi Najjar. Sebab, saat menolong demonstran yang terluka tersebut, sniper Israel menembakkan dua hingga tiga peluru dari seberang pagar perbatasan. Tembakan itu menghantam tubuh Najjar bagian atas. Dia dinyatakan meninggal tidak lama kemudian.

Rasha Abdul-Rahman Qdeih, sesama paramedis, mengatakan, sebelum kejadian tersebut ia melihat lima kendaraan militer Israel muncul di perbatasan, di sisi negeri zionis. Kemudian, dua tentara mengarahkan senjatannya ke arah mereka.

Rasha Abdul-Rahman Qdeih berteriak pada teman-teman, untuk waspada di tengah serangan tentara Israel, dan mereka berhasil selamat dan mengevakuasi para korban luka.

Qdeih menambahkan, setelah melaksanakan misi mengevakuasi korban luka, paramedis kemudian kembali maju. Saat berada 20 meter dekat pagar perbatasan, mereka kembali diserang. 

Akibatnya, Razan terluka parah di bagian dada. Paramedis lain, Rami Abu Jazar terkena pecahan peluru di tulang paha dan tangan kirinya.

Saksi lain, Ibrahim Najjar mengatakan, saat kejadian, Razan berniat memberikan pertolongan pertama kepada seorang lansia yang berada di antara para demonstran yang terluka di dekat perbatasan. Perempuan tangguh itu tetap berupaya keras, meski matanya sakit bukan kepalang gara-gara semburan gas air mata Israel.

Razan mengenakan jas putih, simbol paramedis jelas terpampang.  Setelah ditembak, Razan sempat dilarikan ke rumah sakit.

Ibrahim Najjar membawanya sampai ambulans. Saat itu dia masih hidup. Ibrahim Najjar menemani Razan di dalam ambulans menuju ke rumah sakit, beberapa menit sebelum Razan meninggal.

Salaheddin Rantisi, direktur rumah sakit lapangan tempat Razan dievakuasi, mengatakan bahwa korban tiba  dalam kondisi kritis. Para dokter memasangkan tabung udara melalui trakea untuk membantunya bernapas.

Sayangnya, Razan menderita pendarahan internal dan bukan eksternal, khususnya di daerah dada. Peluru itu tampaknya mengenai arteri utama di jantung.

Para pejabat Palestina dan kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia melancarkan kritik ke militer Israel karena menggunakan kekuatan mematikan terhadap para pengunjuk rasa yang sebagian besar tidak bersenjata.

Dalam sebuah pernyataan, Israel Defense Forces (IDF) berdalih pihaknya telah bertindak sesuai aturan. Pihak militer negeri zionis juga mengatakan, sebuah kendaraan tempurnya menjadi target penyerangan. 

Tersangkanya diidentifikasi melintasi pagar keamanan di Gaza utara dan menanam granat yang meledak. Awal pekan ini, Israel melakukan lusinan serangan udara pada target di Gaza sebagai tanggapan terhadap apa yang disebut rentetan tembakan roket dan mortir terbesar dari Jalur Gaza sejak perang tahun 2014.

loading...
IDF mengatakan, pihaknya menghitung lebih dari 100 peluncuran roket dan rudal dari sisi Hamas. Israel menanggapinya dengan melancarkan lebih dari 60 serangan udara terhadap target di wilayah itu.

Lebih dari 120 warga Palestina tewas di tengah demonstrasi memperingati 70 tahun Nakba sejak 30 Maret 2018.  Nakba adalah peristiwa tatkala hampir satu juta orang Palestina dipaksa meninggalkan kampung halamannya, untuk membuka jalan bagi berdirinya negara Israel. Dan kini, mereka menuntut kembali.


Ratapan Sang Ibu
Kepergian untuk selamanya Razan Al Najjar meninggalkan duka mendalam bagi sang ibu, Sabreen Al-Najjar.

Sabreen al-Najjar menceritakan kembali kenangan saat terakhir kali dia melihat putrinya hidup.

"Dia berdiri dan tersenyum kepada saya, mengatakan dia menuju ke protes," kata wanita berusia 43 tahun itu kepada Al Jazeera dari rumahnya di Khuza'a, Jalur Gaza selatan.

Protes itu adalah demonstrasi Jumat ke-10 yang diadakan oleh Palestina sejak 30 Maret dekat pagar dengan Israel dijuluki The Great March of Return.
Putri Sabreen, Razan yang berusia 21 tahun, telah menjadi sukarelawan sebagai sukarelawan untuk membantu mereka yang ditembak oleh penembak jitu Israel.

"Dalam sekejap mata dia keluar dari pintu. Saya berlari ke balkon untuk mengawasinya di luar tetapi dia sudah berjalan ke ujung jalan," kata Sabreen, Sabtu, dikelilingi oleh kerabat, teman, hingga pasien putrinya pernah dirawat.

"Dia terbang seperti burung di depanku," ujarnya lagi sambil tak henti menahan tangis.

Ketika Sabreen berbicara lagi, kata-katanya memunculkan ratapan dari para wanita di sekitarnya.

"Kuharap aku bisa melihatnya dalam gaun pengantin putihnya, bukan kain kafannya," katanya.

Di tempat protes di Khuza'a, saksi mengatakan bahwa Razan mendekati pagar pembatas pada hari Jumat (1/6/2018).

Ia mengangkat kedua lengannya untuk menunjukkan kepada tentara Israel yang 100 meter jauhnya bahwa dia tidak menimbulkan ancaman.

Ia hanya seorang paramedis, terlihat dari rompi medis yang dikenakannya.

Niat Razan ini hanya untuk mengevakuasi seorang pengunjuk rasa yang terluka berbaring di sisi lain pagar.

Pengunjuk rasa ini berhasil menembus pagar pembatas usai memotong lubang di pagar tersebut.

Namun nahas, ketika Razan maju hendak menyelamatkan korban, ia ditembak di dadanya dengan peluru tajam.

Satu buah peluru berhasil menembus lubang di bagian belakang rompi.

Razan menjadi orang Palestina ke-119 yang dibunuh oleh pasukan Israel sejak protes populer mulai menyerukan agar hak Palestina untuk kembali ke rumah dari mana mereka diusir dari tahun 1948.
Lebih dari 13.000 orang lainnya telah terluka.

Hanya Kami
Rida Najjar, yang juga seorang relawan medis, mengatakan dia berdiri di samping Razan ketika Razan ditembak.

"Ketika kami memasuki pagar untuk mengambil para pengunjuk rasa, Israel menembakkan gas air mata ke arah kami," kata pria 29 tahun, yang tidak terkait dengan Razan, kepada Al Jazeera pada hari Sabtu.

"Kemudian seorang sniper menembakkan satu tembakan, yang langsung mengenai Razan. Fragmen peluru melukai tiga anggota lain dari tim kami.

"Razan pada mulanya tidak menyadari dia telah ditembak, tetapi kemudian dia mulai menangis, 'Punggung saya, punggungku!' dan kemudian dia jatuh ke tanah.

"Itu sangat jelas dari seragam kami, rompi kami dan tas medis, siapa kami," tambahnya.

"Tidak ada pemrotes lain di sekitar, hanya kami."
Menyelamatkan Nyawa Dan Mengevakuasi Yang Terluka
Dalam wawancara dengan Al Jazeera pada 20 April 2018 lalu, Razan mengatakan bahwa dia merasa itu adalah "tugas dan tanggung jawabnya" untuk hadir di protes dan membantu yang terluka.

"Tentara Israel berniat untuk menembak sebanyak yang mereka bisa," katanya lagi.

"Ini gila dan aku akan malu jika aku tidak ada di sana untuk bangsaku."

Berbicara kepada The New York Times bulan lalu, Razan menggambarkan antusiasme yang dia miliki untuk pekerjaan yang dia lakukan.

"Kami memiliki satu tujuan - untuk menyelamatkan nyawa dan mengevakuasi [orang-orang yang terluka]," katanya.

"Kami melakukan ini untuk negara kami," lanjutnya, menambahkan bahwa itu adalah pekerjaan kemanusiaan.

Razan juga menolak penilaian masyarakat terhadap perempuan yang bekerja di lapangan, di mana ia sendiri akan melakukan 13 jam shift, mulai dari jam 7 pagi sampai 8 malam.

"Perempuan sering diadili tetapi masyarakat harus menerima kita," kata Razan.

"Jika mereka tidak mau menerima kami karena pilihan, mereka akan dipaksa untuk menerima kami. Karena kami memiliki kekuatan lebih daripada siapa pun."

Sabreen mengatakan putrinya berada di garis depan untuk menyelamatkan para pemrotes yang terkena sasaran tembakan tentara Israel, sejak 30 Maret - dan tidak hanya pada hari Jumat.

Razan menjadi wajah yang akrab di perkemahan Khan Younis, salah satu dari lima yang didirikan di sepanjang pagar timur di Jalur Gaza.

"Dia tidak pernah peduli tentang apa yang dikatakan orang," kata Sabreen.

"Dia berkonsentrasi pada pekerjaannya di lapangan sebagai tenaga medis sukarela, yang mencerminkan kekuatan dan tekadnya."

"Putriku tidak punya senjata; dia seorang medis," tambahnya. "Dia memberi banyak kepada orang-orangnya."

Tenaga medis di lapangan sebelumnya mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pasukan Israel telah menembaki para demonstran dengan jenis putaran baru.

Peluru yang ditembakkan tentara Israel ini disebut juga "kupu-kupu peluru".

Ketika peluru itu ditembakkan ke sasaran, maka korban akan mengalami luka parah pada arteri dan tulang dan cedera dalam yang tak kalah parah.

Rida beserta lelaki lain mengangkat Razan ke tenda darurat.

Para dokter yang lain pun berusaha menyelamatkan nyawa Razan.

Mulai dari memegangi badan Razan, memeriksa denyut nadi di tangan Razan, hingga dokter berteriak-teriak meminta bantuan kepada asistennya.

Sayang, nyawanya tak terselamatkan.

Ia dinyatakan mati syahid.
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT