Islam Nusantara

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Islam Nusantara
Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia.

Istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah.

Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya. Pada Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, yang merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya Indonesia.

Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan berlangsung secara damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M, sementara pihak lain menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah. Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara. 

Islam tradisional yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh kaum ulama, para kyai di pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional telah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat.
Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam tradisi Islam seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia. Akan tetapi, setelah datangnya Islam aliran Salafi modernis yang disusul datangnya ajaran Wahhabi dari Arab, golongan Islam puritan skripturalis ini menolak semua bentuk tradisi itu dan mencelanya sebagai perbuatan syirik atau bidah, direndahkan sebagai bentuk sinkretisme yang merusak kesucian Islam. Kondisi ini telah menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan yang kurang mengenakkan, dan persaingan spiritual antara Nahdlatul Ulama yang tradisional dan Muhammadiyah yang modernis dan puritan.

Sementara warga Indonesia secara sesama memperhatikan kehancuran Timur Tengah yang tercabik-cabik konflik dan perang berkepanjangan; mulai dari Konflik Israel–Palestina, Kebangkitan dunia Arab, perang di Irak dan Suriah, disadari bahwa ada aspek keagamaan dalam konflik ini, yaitu munculnya masalah Islam radikal. Indonesia juga menderita akibat serangan teroris yang dilancarkan oleh kelompok jihadi sepertiJamaah Islamiyah yang menyerang Bali.

Doktrin ultra konservatif Salafi dan Wahhabi yang disponsori pemerintah Arab Saudi selama ini telah mendominasi diskursus global mengenai Islam.

Kekhawatiran semakin diperparah dengan munculnya ISIS pada 2013 yang melakukan tindakan kejahatan perang nan keji atas nama Islam. 

Di dalam negeri, beberapa organisasi berhaluan Islamis seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), juga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah secara aktif bergerak dalam dunia politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini menggerogoti pengaruh institusi Islam tradisional khususnya Nahdlatul Ulama. Elemen Islamis dalam politik Indonesia ini kerap dicurigai dapat melemahkan Pancasila.

Akibatnya, muncullah desakan dari golongan cendekiawan Muslim moderat yang hendak mengambil jarak dan membedakan diri mereka dari apa yang disebut Islam Arab, dengan mendefinisikan Islam Indonesia. Dibandingkan dengan Muslim Timur Tengah, Muslim di Indonesia menikmati perdamaian dan keselarasan selama beberapa dekade. Dipercaya hal ini berkat pemahaman Islam di Indonesia yang bersifat moderat, inklusif, dan toleran. 

Ditambah lagi telah muncul dukungan dari dunia internasional yang mendorong Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, agar berkontribusi dalam evolusi dan perkembangan dunia Islam, dengan menawarkan aliran Islam Nusantara sebagai alternatif terhadap Wahhabisme Saudi. Maka selanjutnya, Islam Nusantara diidentifikasi, dirumuskan, dipromosikan, dan digalakkan.
Karakteristik Islam Nusantara
Ciri utama dari Islam Nusantara adalah tawasut (moderat), rahmah (pengasih), anti-radikal, inklusif dan toleran.

Dalam hubungannya dengan budaya lokal, Islam Nusantara menggunakan pendekatan budaya yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam;
  1. Tidak menghancurkan, 
  2. Tidak merusak, 
  3. Tidak membasmi budaya asli, 
  4. Saling merangkul, 
  5. Saling menghormati, 
  6. Saling memelihara, 
  7. Serta melestarikan budaya lokal. 
Salah satu ciri utama dari Islam Nusantara adalah mempertimbangkan unsur budaya Indonesia dalam merumuskan fikih.

Islam Nusantara dikembangkan secara lokal melalui institusi pendidikan tradisional pesantren. Pendidikan ini dibangun berdasarkan sopan santun dan tata krama ketimuran, yakni menekankan penghormatan kepada kyai dan ulama sebagai guru agama.

Para santri memerlukan bimbingan dari guru agama mereka agar tidak tersesat sehingga mengembangkan paham yang salah atau radikal. 

Salah satu aspek khas adalah penekanan pada prinsip Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi semesta alam) sebagai nilai universal Islam, yang memajukan perdamaian, toleransi, saling hormat-menghormati, serta pandangan yang berbineka dalam hubungannya dengan sesama umat Islam, ataupun hubungan antar agama dengan pemeluk agama lain.
Kritik Islam Nusantara
Segera setelah diumumkan, Islam Nusantara menghadapi tentangan dan kritik dari aliran Islam yang lain. Tentangan datang khususnya dari para penganut aliran wahhabi dan salafi, atau aliran serupa yang hendak membersihkan Islam dari unsur-unsur lokal yang dianggap tidak Islami, yang sering dihujat sebagai praktik syirik atau bidah. 

Hizbut Tahrir Indonesia telah secara terang-terangan menentang konsep Islam Nusantara. Islam Nusantara dikritik sebagai suatu bentuk Islam sinkretisme yang merusak KESEMPURNAAN dan ketunggalan Islam, serta dianggap merusak persatuan umat. 

Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam berpengaruh di Indonesia walaupun tidak menentang secara langsung konsep ini, menekankan bahwa istilah Islam Nusantara harus digunakan secara berhati-hati dan proporsional, agar tidak menindas aliran Islam lain yang memiliki pemahaman berbeda tentang Islam.

Jika Islam Nusantara didukung dan diangkat sebagai aliran Islam utama oleh negara, maka ditakutkan aliran Islam lain akan mengalami penindasan dan diskriminasi.
Islam Nusantara Menurut KH Afifuddin Muhajir
Dikutib dari Hafiz, NU Online | Sabtu, 27 Juni 2015 17:01
Istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak. Alasan penolakan mungkin adalah karena istilah itu tidak sejalan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah.

Kadang suatu perdebatan terjadi tidak karena perbedaan pandangan semata, tetapi lebih karena apa yang dipandang itu berbeda. Tulisan singkat ini mungkin menjadi jawaban bagi mereka yang menolak “Islam Nusantara” menurut apa yang saya pahami dan saya maksudkan dengan istilah tersebut.

Seperti jamak diketahui, Al-Quran sebagai sumber utama Agama Islam memuat tiga ajaran, yaitu:
  1. Pertama, ajaran akidah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. 
  2. Kedua, ajaran akhlak/ tasawuf, yaitu ajaran yang berintikan takhalli dan tahalli, yakni membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat terpuji. 
  3. Ketiga, ajaran syariat, yaitu aturan-aturan praktis (al-ahkam al-‘amaliyah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.
Yang pertama dan kedua sifatnya universal dan statis, tidak mengalami perubahan di manapun dan kapanpun. Tentang keimanan kepada Allah dan hari akhir tidak berbeda antara orang dahulu dan sekarang, antara orang-orang benua Amerika dengan benua Asia. Demikian juga, bahwa keikhlasan dan kejujuran adalah prinsip yang harus dipertahankan, tidak berbeda antara orang Indonesia dengan orang Nigeria. Penipuan selalu buruk, di manapun dan kapanpun. Dalam segmen keyakinan dan tuntunan moral ini, Islam tidak bisa di-embel-embeli dengan nama tempat, nama waktu, maupun nama tokoh.

Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus dipilah antara yang tsawabith/ qath’iyyat dan ijtihadiyyat. Hukum-hukum qath’iyyat seperti kewajiban shalat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa, keharaman berzina, tata cara ritual haji, belum dan tidak akan mengalami perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah. Shalatnya orang Eropa tidak berbeda dengan salatnya orang Afrika.

Puasa, dari dahulu hingga Kiamat dan di negeri manapun, dimulai semenjak Subuh dan berakhir saat kumandang azan Maghrib. Penjelasan Al-Quran dan As-Sunah dalam hukum qath’iyyat ini cukup rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada umumnya tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh kali antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut tunduk dan pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut.

Sementara itu, hukum-hukum ijtihadiyyat bersifat dinamis, berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi sekarang atau kelak bisa jadi boleh. Al-Quran dan As-Sunah menjelaskan hukum-hukum jenis ini secara umum, dengan mengemukakan prinsip-prinsipnya, meski sesekali merinci. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad supaya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan lingkungan sosial.

Para tabi’in berpendapat bahwa boleh menetapkan harga (tas’ir), padahal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam melarangnya. Tentu saja mereka tidak menyalahi As-Sunah. Perbedaan putusan itu karena kondisi pasar yang berubah, yaitu bahwa pada masa Nabi SAW harga melambung naik karena kelangkaan barang dan meningkatnya permintaan, sedangkan pada masa tabi’in disebabkan keserakahan pedagang. (Nailul Authar, V, 220) Di sini, para tabi’in membedakan antara-apa yang disebut ekonomi modern dengan-pasar persaingan sempurna dari pasar monopoli atau oligopoli misalnya.

Para tabi’in juga memfatwakan larangan keluar menuju masjid untuk perempuan muda karena melihat zaman demikian rusak, banyak laki-laki berandal yang sering usil hingga berbuat jahil, (Al-Muntaqa Syarḥul Muhadzdzab, I, 342) padahal Nabi sendiri bersabda-seperti dalam riwayat Abu Daud:
 (لا تمنعوا اماء الله مساجد الله، ولكن ليخرجن تفلات. رواه أبو داود عن أبي هريرة.)
Supaya jangan sampai perempuan dilarang keluar menuju masjid.

Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Dalam istilah Islam Nusantara, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an. Ini persis sama dengan nama FPI misalnya, saya benar-benar yakin kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka bukan pembela Islam.
Islam Nusantara Menurut Candra Malik
Dikutib dari Fathoni, NU Online | Senin, 22 Juni 2015 11:30
Islam dan Arab adalah satu dan lain hal. Islam adalah agama, Arab adalah bangsa/budaya. Islam tidak selalu Arab, dan sebaliknya: Arab tidak selalu Islam. Memeluk Islam tidak harus dengan bermuluk-muluk dengan yang serba Arab, pun tidak perlu mengutuk-ngutuk yang serba padang pasir.

Nusantara yang Bhinneka Tunggal Ika berpengalaman dengan perbedaan. Islam meyakini perbedaan sebagai rahmat. Dan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah rahmatan lil 'alamin, anugerah bagi semesta raya bukan sekadar rahmatan lil mukminin, bukan pula cuma rahmatan lil muslimin.

Islam adalah ajaran samawi/ langit. Nusantara adalah tradisi ardhi/ bumi. Oleh karena itulah, Islam Nusantara adalah ajaran langit yang membumi. Islam Nusantara bukan soal menilai buruk dan salah pada yang lain. Tapi lebih tentang di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.

Menjadi Nusantara adalah hal yang paling manusiawi bagi manusia Nusantara. Dilahirkan sebagai anak Nusantara, berakar kebudayaan negeri sendiri, berkebangsaan bangsa sendiri, dan menjadi diri sendiri. Bukan menjadi orang lain dengan justru kehilangan jati diri. Sebab, kehilangan terbesar adalah kehilangan diri sendiri.

Menjadi Islam, atau yang kemudian disebut Muslim, tidak berarti harus dengan meninggalkan kodrat keibuan seorang anak manusia. Jika bahasa ibunya adalah bahasa Nusantara, maka lisan Nusantara itulah kodratnya sejak lahir. Jika budaya Nusantara adalah kesehariannya sejak dilahirkan, maka akar tradisi itulah yang menumbuhkan karakternya sebagai manusia.

Islam adalah tulang sumsumku. Nusantara adalah darah dagingku. Menyatu dalam jiwa ragaku. Islam Nusantara adalah jatidiriku. Aku bangga menjadi diri sendiri. Aku bangga menjadi anak bangsa dari bangsaku sendiri. Belajar tentang apa saja, di mana saja, kepada siapa saja, kapan saja, bagaimana saja, apa pun alasannya, meyakinkan aku betapa Nusantara adalah rumah dari mana aku berangkat dan ke mana aku pulang.

Sampeyan bebas menyampaikan pendapat yang berbeda tentang Islam Nusantara. Kebebasan berpendapat dilindungi oleh undang-undang, dan saya menghormati itu. Berbeda tidak lantas menjadikan Sampeyan orang lain. Kita berbeda karena kita sama: sama-sama berbeda. Ada benarnya kita tidak saling menyalahkan. Tidak ada salahnya kita saling membenarkan.

Berdakwah itu mengajak, bukan mengejek. Berdakwah itu merangkul, bukan memukul. Berdakwah itu ramah, bukan marah. Berdakwah itu menjadi kawan, bukan mencari lawan. Berdakwah itu mengajak senang, bukan mengajak perang. Agama itu mudah dan selayaknya memudahkan. Jika bagi kita agama itu susah dan justru menyusahkan, selayaknya kita mawasdiri. Jangan-jangan, kita sendiri yang sulit dan mempersulit.

Bagi saya, Nusantara adalah anugerah yang tidak bisa dipungkiri dan Islam adalah hidayah yang tidak bisa diingkari. Saya bersyukur dilahirkan sebagai seorang anak Nusantara dan saya berdoa kelak diwafatkan sebagai seorang manusia Islam (muslim). Bagi saya, dilahirkan sebagai seorang anak Nusantara adalah awal yang baik dan diwafatkan sebagai manusia Islam (muslim) adalah akhir yang baik.

Islam saya Islam Nusantara, dan saya menghormati keyakinan dalam beragama sesuai dengan jatidiri dan tradisi masing-masing. Saya tidak memiliki hak dan wewenang bertanya dan mempertanyakan kesalehan personal Sampeyan. Yang terpenting dari kesalehan sosial kita adalah hidup akur, rukun, damai, dan gotong-royong.

Islam mengajari saya untuk memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat. Saya berjalan menjauh dari Shirath Al Mustaqim jika saya menjauhi ajaran-ajaran dan ajakan-ajakan hidup bahagia. Sebagai anak Nusantara, saya bahagia. Dan jika sebelumnya kita telah mengenal idiom kesalehan personal dan kesalehan sosial, maka Islam Nusantara adalah kesalehan natural.
Tulisan ini juga dimuat di islami.co, link: 
Islam Nusantara Menurut KH Afifuddin Muhajir
Dikutib dari Hafiz, NU Online | Rabu, 17 Juni 2015 19:02
Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar. Sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Al-Quran dan Sunah. Memang betul Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu. Akan tetapi selain memiliki landasan nash-nash syariat (Al-Quran dan Sunah).

Islam juga memiliki acuan maqasidus syariah (tujuan syariat). Maqasidus syariah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqro (penelitian).

Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang dilakukan. Di antaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang digali dari padanya, ʻillat-ʻillat dan hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh simpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

Kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyatul khams), yaitu hifzhud din, hifẓhul ʻaql, hifẓhun nafs, hifzhul mal, dan hifzh al-ʻirḍ.

Ulama Ushul Fiqih membagi maslahat pada tiga bagian. Pertama, maslahat muʻtabarah, yaitu maslahat yang mendapat apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya seperti kearifan dan kebijakan dalam menjalankan dakwah islamiyah. Kedua, maslahat mulgoh, yaitu maslahat yang diabaikan oleh syariat melalui salah satu nashnya seperti menyamaratakan pembagian harta pusaka antara anak laki-laki dan anak perempuan. Ketiga, maslahat mursalah, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan nash khusus, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya seperti pencatatan akad nikah.

Tujuan negara dalam Islam sejatinya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang berketuhanan yang Maha Esa, negara yang memiliki dimensi kemaslahatan duniawi dan ukhrowi seperti tersebut sesungguhnya sudah memenuhi syarat untuk disebut negara khilafah, sekurang-kurangnya menurut konsep al-Mawardi. Dalam hal ini menurutnya,
“الامامة موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا”
Kepemimpinan negara diletakkan sebagai kelanjutan tugas kenabian dalam menjadi agama dan mengatur dunia.

Maqasidus syariʻah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam dua hal:
  1. Dalam memahami nushushus syariah, nash-nash syariat yang dipahami dengan memperhatikan maqasidus syariʻah akan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual.
  2. Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Al-Quran dan Sunah) merupakan konsekuensi logis dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah al-Qiyas, Istiḥsan, Saddudz dzariʻah, ʻUrf, dan Maslaḥah Mursalah seperti disinggung di atas.
Al-Qiyas ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain yang tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki ʻillat (alasan hukum) yang sama.

Istiḥsan ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.

Saddudz dzariʻah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau diduga kuat mengantarkan pada mafsadat.

ʻUrf adalah tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal maupun komunal. ʻUrf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Mengabaikan ʻurf yang sahih seperti tersebut bertentangan dengan cita-cita kemaslahatan sebagai tujuan (maqasidus) syariʻah.

Sebagian ulama mendasarkan posisi ʻurf sebagai hujjah syarʻiyyah pada firman Allah,
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-Aʻraf: 199)

Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadis riwayat Ibn Masʻud,
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.”

As-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsuṭ,
الثابت بالعرف كاالثابت بالنص
“Yang ditetapkan oleh ʻurf sama dengan yang ditetapkan oleh nash.”

Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya karena yang pertama bersifat ilahiyah sementara yang kedua adalah insaniyah. Akan tetapi, berhubung Islam juga dipraktikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insaniyah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan.

Selain nususus syariʻah dan maqasidus syariʻah, Islam juga memiliki mabadiꞌus syariʻah (prinsip-prinsip syariat). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-wasaṭhiyyah. Hal ini dinyatakan langsung oleh Allah swt dalam firman-Nya,
وَكَذلِك جَعَلْناكُم أُمَّةً وَسَطا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكَم شَهِيدًا.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (al-Baqarah: 143)

Wasaṭhiyyah yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata moderasi memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah al-waqiʻiyyah (realistis). Realistis di sini tidak berartitaslim atau menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi berarti tidak menutup mata dari realitas yang ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan ideal.

Banyak kaidah fiqih yang mengacu pada prinsip waqiʻiyyah, di antaranya:
الضرر يزال
Kemudaratan harus dihilangkan.
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق
Dalam kondisi sempit ada kelapangan, dan dalam kondisi lapang di situ ada kesempitan.
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menolak kerusakan didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.
النزول الى الواقع الأدنى عند تعذر المثل الأعلى
Turun ke  realitas yang lebih rendah ketika tak mungkin mencapai idealitas yang lebih tinggi.
دارهم ما دمت فى دارهم، وحيهم ما دمت فى حيهم
Beradaptasilah dengan mereka selama kamu ada di kediaman mereka, dan hormatilah mereka selama kamu ada di kampung mereka.

Dakwah beberapa Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di atas. Secara terutama adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran-aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif (wa yadkhuluna fi dinillahi afwaja). Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede, Yogyakarta). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.

Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Ada cerita masyhur, suatu waktu ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati.

Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang berarti “Seekor Sapi”.

Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya mencopy-paste kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara fiqih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial). Salah satu kaidah fiqih ibadat mengatakan
“الله لا يعبد الا بما شرع”, 
Allah tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang disyariatkan-Nya. Sebaliknya kaidah fiqih muamalat mengatakan,
“المعاملات طلق حتى يعلم المنع”, 
muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.

Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan manhaj Islam Nusantara sebagaimana dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti oleh ulama Ahlis Sunah di negara ini dalam periode berikutnya.

Islam Nusantara ialah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.

Satu lagi contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara memahami dan menerapkan ajaran Islam adalah lahirnya Pancasila. Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia diterima dan disepakati untuk menjadi dasar negara Indonesia meskipun pada awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu. Pasalnya yang mereka idealkan adalah Islam secara eksplisit yang menjadi dasar negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara substansial Pancasila adalah sangat Islami. Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman. Sedangkan sila-sila yang lain merupakan bagian dari representasi syariat.

Seandainya kaum muslimin ngotot dengan Islam formalnya dan kelompok lain bersikeras dengan sekulerismenya barang kali sampai saat ini negara Indonesia belum lahir. Itulah pentingnya berpegang pada kaidah
“درء المفاسد مقدم على جلب المصالح”, 
menolak mudarat didahulukan dari pada menarik maslahat.

Pemahaman, pengalaman, dan metode dakwah ulama Nusantara, sejauh ini telah memberikan kesan yang baik, yaitu Islam yang tampil dengan wajah semringah dan tidak pongah, toleran tapi tidak plin-plan, serta permai nan damai.

Saat ini, dunia Islam di Timur Tengah dibakar oleh api kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah. Ironisnya, agama Islam acapkali digunakan sebagai justifikasi bagi perusakan-perusakan tersebut. Maka cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara ini kembali terafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.

Yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana nilai-nilai keislaman yang telah dan sedang kita hayati ini, terus dipertahankan. Bahkan, kita harus berupaya ‘mengekspor’ Islam Nusantara ke seantero dunia, terutama ke bangsa-bangsa yang diamuk kecamuk perang tak berkesudahan, yaitu mereka yang hanya bisa melakukan kerusakan (fasad) tapi tidak kunjung melakukan perbaikan (sholah). Tugas kita adalah mengenalkan Allah yang tidak hanya menjaga perut hamba-Nya dari kelaparan, tapi juga menenteramkan jiwa dari segala kekhawatiran,
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ، الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوْعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ.
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (Quraisy: 3-4).Wallahu A’lam.
☆☆☆☆☆
ISLAM NUSANTARA BAGI BITTER SEBAGAI MUSLIM INDONESIA

Bitter tidak heran kalau orang-orang salafi, baik hijazi maupun ikhwani menolak Islam Nusantara karena sejak dari sono-nya mereka menolak NU dan menggolangkannya sebagai ahlul bid’ah. 

Bitter juga tidak heran kalau orang-orang Masyumi dan keturunannya mencela Islam Nusantara karena sejak dulu Islam Nusantara memilih berada di satu rumah tetapi beda kamar. 

Yang saya takjub itu orang NU yang ikut latah menolak Islam Nusantara gara-gara opini orang yang salah paham atau pahamnya salah.

Islam Nusantara itu ya Islam NU itu, Islam Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah! Itu seperti isi lama dalam botol baru. 

Tidak ada yang berubah. Basis teologinya sama, Asy’ariyah. Madzhab fiqihnya Syafi’i. Pandangan tasawufnya ikut Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali. 

Gampangnya, Islam Nusantara itu Islam yang diamalkan dalam wadah budaya Nusantara, sebagaimana sudah dijalankan NU selama ini.

Nalarnya tidak usah dibikin rumit. Islam itu agama. Sifatnya universal, lintas ruang dan waktu. Manusia itu temporal-partikular, terikat ruang waktu dan waktu. Dia makhluk berbudaya. 

Begitu agama yang universal itu diamalkan oleh manusia yang partikular, ekspresinya beragam, sesuai dengan wadah budayanya.

Islam yang diamalkan di Arab tentu punya karakteristik berbeda dengan Islam yang diamalkan di Persia, Cina, dan Jawa. 

Perbedaannya di tingkat cabang (furû’), bukan pokok (ushûl). Yang pokok bersifat universal, tidak berubah atau diubah, untuk selamanya. 

Syahadat ya syahadatain, tidak boleh ditambah atau dikurangi. 

Salat subuh ya dua raka’at, tidak boleh ditambah atau dikurangi. 

Soal pakai Qunut, itu persoalan cabang karena kita mengikuti Syafi’i. 

Dan perlu diingat, Imam Syafi’i itu orang Arab keturunan Qura’isy yang lahir di Palestina, karena itu pandangan-pandangannya sangat Arabis.

Soal shalat, misalnya, sudah pasti Imam Syafi’i mewajibkan salat dalam bahasa Arab. Tidak sah salat selain dalam bahasa Arab karena pedomannya qath’i:
صلوا كما رايتموني اصلي. 
Ini berbeda dengan Imam Hanafi yang orang Persia. 

Dalam sebuah qaul, Imam Hanafi membolehkan salat dalam bahasa Persia, meski yang utama pakai bahasa Arab. 


Jadi tidak masuk akal tudingan pencela NU yang bilang Islam Nusantara itu anti-Arab. 

Nabi Umat Muslim baik orang Arab dan NU sangat ta’dzim kepada habaib keturunan Nabi. 


Salat kita pakai bahasa Arab. Tidak pernah ada bahtsul masâ’il di NU yang membolehkan salat pakai bahasa Jawa. 

Bahkan nama-nama keluarga santri NU hampir rata-rata nama Arab. 

Rasanya tidak mantap kalau santri NU tidak pakai nama Arab.

Lucunya, pencela NU yang bilang Islam Nusantara itu anti-Arab, seringkali asal namanya sendiri justru nama Nusantara yang kemudian “di-Arab-Arabkan,” pakai ganti nama atau ditambah embel Abu-Abi atau Ummu-Ummi. 

Masih soal shalat, orang Arab pakai jubah danumamah (surban udeng-udeng), kita pakai batik dan kopiah. Itulah Islam Nusantara. 

Sebelum shalat puji-pujian, setelah salat dzikir bareng dan mushafahah. Itulah Islam Nusantara. Nabi tidak mengajarkannya, tetapi juga tidak melarangnya. 

Soal zakat, kita jalankan zakat, tetapi objeknya tidak sama dengan orang Arab. Orang Arab zakat fitrah pakai kurma atau gandum, kita pakai beras. Itulah Islam Nusantara. 

Soal puasa, kita sama-sama tidak makan-minum dan jima’ dari subuh sampai maghrib. Tidak ada NU mengajarkan puasa ngebleng, puasa semalam suntuk karena Nabi tidak mengajarkannya. 

Tetapi soal menu buka puasa, orang Arab pakai kurma, kita kolak pisang. Itulah Islam Nusantara. 

Lepas bulan puasa, kita halal bi halal, didahului acara mudik kolosal. Itulah Islam Nusantara.

Soal haji, kita sama-sama pergi ke Arab, tidak ke Parung. Tetapi, soal dulu Nabi ke Makkah pakai unta atau kuda dan kita sekarang terbang pakai pesawat, itu soal teknis dan sama sekali bukan bid’ah. 

Orang Arab tidak punya budaya slametan. rang Jawa hobi ‘cangkruk’, slametan yang isinya keplek dan nenggak miras. 

Walisongo datang, slametannya dipertahankan, tetapi isinya diganti tahlil dan salawat. Keplek dan mirasnya diganti berkat. Namanya tahlilan. Itulah Islam Nusantara. 

Orang Arab itu egaliter. Memanggil Nabi yang mulia tidak ada bedanya dengan memanggil penggembala domba, “Ya Muhammad.” 

Orang Jawa punya budayaunggah-ungguh, stratanya canggih dan rumit. ‘Njangkar’ alias manggil orang mulia apa adanya itu saru alias tabu. 

Ada embel-embel Ngarso Ndalem, Sinuhun, dan seterusnya. Karena itu, orang Arab shalawatnya cukup pakai redaksi اللهم صل على محمد, orang NU ditambah kata Sayyidina (سيدنا). Itulah Islam Nusantara. 

Jadi Islam Nusantara itu bukan barang baru, itu soal ganti casing. 

Kalau ada yang ingin dipertegas dari Islam Nusantara adalah pandangan politiknya. 

Islam Nusantara itu pendukung sintesis Islam dan kebangsaan. NKRI final, titik. 

Tidak ada khilafah sebagai sistem politik. 

NKRI yang isinya pembangunan inklusif, ekonomi berdikari, dan minim ketimpangan, itu sudah Islami. 

Itu yang harus didorong. 

Tidak ada lagi membentuk Negara Islam.

Manifestasi Islam Nusantara itu bukan hanya dalam fikrah dîniyah (agama), tetapi juga siyâsiyah (politik) dan iqtishâdiyah (ekonomi). 

Fikrah diniyah-nya tawassuth, fikrah siyâsiyah-nya NKRI, fikrah iqtishadiyah-nya ekonomi konstusi. 

Jadilah Negara Kesejahteraan Pancasila. 

Inilah tema Kongres II ISNU yang Insyaallah digelar di Bandung, 24-26 Agustus 2018 mendatang bertajuk Pembangunan Inklusif dan Islam Nusantara Menyongsong Se-Abad Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan Pancasila. 

Inti gagasan ini sederhana, kita ingin membangun Indonesia berdasarkan agama. Artinya kita tidak ingin membentuk Indonesia sebagai negara sekuler. 

Tetapi agama seperti apa yang ingin kita tegakkan? 

Agama yang ramah, toleran, inklusif, yang menunjang Pembangunan Indonesia, bukan Pembangunan di Indonesia. 

Tentu ada beda antara pembangunan Indonesia dan pembangunan di Indonesia.

Pembangunan Indonesia merefleksikan bahwa pelaku dan penerima manfaat pembangunan adalah rakyat Indonesia. 

Sementara Pembangunan di Indonesia adalah pembangunan oleh siapa saja di Indonesia, tidak peduli siapa pelaku dan penerima manfaatnya. 

Karena Indonesia mayoritas muslim, agama di sini adalah Islam. 

Jadi Islam yang ingin kita tegakkan adalah Islam nasionalis, Islam inklusif yang mendukung pembangunan inklusif. Itulah Islam Nusantara.  

Kalau kalian punya persepsi lain tentang Islam Nusantara, itu urusan kalian. 

Bitter tidak mengurusi keyakinan orang lain. Bitter hanya mengurusi keyakinan Bitter sendiri. 

Bitter hanya ingin jadi umat Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan segala ekspresi Bitter sebagai orang Jawa.

Kalau kalian menganggap ber-Islam harus sama atau semakin dekat dengan budaya Arab, silakan saja, asal kalian menghormati tempat bumi berpijak, Indonesia dan tidak berencana merusaknya. 

Indonesia dengan segala warna-warninya adalah anugerah bagi kita semua.

Baca Juga:

  1. Aliran Kejawen Sapto Darmo
  2. Islam Kejawen Dan Sanepanan Ajaran Islam
  3. Islam Nusantara
  4. Tahlil Itu Kebudayaan Islam Nusantara
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT