Seberapa Muakkah Sahabat Bitter Terhadap Politisi Yang Selalu Membawa Agama Untuk Kepentingan Politik?

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang: 
Seberapa Muakkah Sahabat Bitter Terhadap Politisi Yang Selalu Membawa Agama Untuk Kepentingan Politik?
Terus terang..😈😈😈😈😈😈😈😈
Sangat risih sekali, karena agama bukan untuk kepentingan dan alat pemuas sesaat, sementara politik lebih identik dengan kepentingan pribadi dan golongan tertentu.

Dari sudut pandang Bitter Coffee Park, banyak politisi sekarang adalah:
Manusia tidak beradab yang mendidik masyarakat menjadi bodoh demi memenuhi kepentingan syahwat pribadinya.

Mereka sekarang tidak lagi punya malu dengan menunjukan pribadinya yang asli.

Berbohong, caci-maki, fitnah, dan kebencian yang dibalut dengan bahasa retorika yang indah adalah makanan sehari-hari para politisi.

Terus, bagaimana dengan Politikus yang membawa-bawa Agama dalam berkampanyenya?
Bagi Bitter Coffee Park itu sih wajar-wajar saja jikalau seorang politisi tersebut adalah orang yang faham dengan ilmu agama tanpa ada kepentingan pribadi dan adanya intervensi, maka wajib hukumnya untuk memilih sebagai pemimpin.

Karena sesungguhnya politik dan agama tidak bisa dipisahkan, karena seorang yang memiliki nilai agama yang baik tanpa menghiraukan politik, maka dirinya akan mudah terperdaya oleh kekuatan politik.

Namun, jikala politikus itu hanya memanfaatkan agama demi ambisinya pribadi, secara pribadi Bitter Coffee Park akan sangat muak dan saking muaknya sih Bitter Coffee Park akan menjauhi semua politisi atau partai yang keterlaluan membawa nama Tuhan dan Agama keranah duniawi.

Belajar Dari Epic Mahabharata
Dalam Epic Mahabharata yang ditulis ribuan tahun silam, ada salah satu tokoh penting yang perannya relevan dengan pertanyaan ini. Tokoh tersebut adalah Mahaguru Drona

Guru Drona adalah Seorang Brahmana, keturunan resi, yang memiliki ilmu dan kesaktian yang sangat luar biasa.

Berikut Kutiban Ceritanya
Drona memiliki seorang putra bernama Aswatama yang sangat dicintainya. 
Cintanya yang teramat besar kepada sang putra ini menimbulkan ketakutan dan keserakahan pada Guru Drona. 
Dia takut anaknya kelaparan dan hidup sengsara karena itu dia menjadi pragmatis dan tamak.
Ketakutan dan ketamakannya itulah yang menyebabkan dia mengikat sumpah untuk mengabdi pada Kurawa. 
Bersama Kurawa dia bisa mewujudkan keinginannya untuk melihat putranya Aswatama menikmati kehidupan mewah dan hedonis.
Perang saudara dahsyat antara Pandawa dan Kurawa, yang dinamakan Perang Bharatayudha, tidak bisa dilepaskan dari ‘dosa-dosa’ Mahaguru Drona. 
Dengan jiwa Brahmana (religious) yang melekat pada dirinya dan kesaktian yang dimilikinya, Drona sejatinya bisa mencegah terjadinya perang dua keluarga yang bersaudara tersebut. 
Tetapi sumpahnya untuk berpihak ke Kurawa yang lalim, karena dorongan ketakutan dan ketamakan, telah membuat religiusitas dan kebijaksanaannya tidak berfungsi.

Catatan:
  • Brahmana adalah golongan manusia yang memiliki kecerdasan, kebijaksanaan, dan welas asih yang tinggi, karena itu tugasnya adalah memberikan bimbingan kegamaan, spiritual dan moral kepada masyarakat semua golongan. Brahmana ini, dalam konteks kekinian, bisalah kita sebut sebagai agamawan.
  • Ksatriya, di sisi lain, adalah golongan manusia yang memiliki keberanian, ketegasan, dan integritas tinggi sehingga cocok mengurusi politik dan militer. Kelompok ini, dapat kita analogikan dengan politisi dan negarawan.

Apakah keduanya, brahmana/ agamawan yang religius dan ksatriya/ negarawan/ politisi yang pragmatis bisa bertukar posisi dan misi? 
Secara teoritis-ilmu mungkin, TETAPI secara teknis-praktis tidak!
Hanya brahmana/ agamawan tamak (disimbolkan oleh Guru Drona) yang mau menjual ilmunya untuk kenikmatan duniawi. Hanya politisi/ negarawan lalim, pengecut dan tidak berintegritas (disimbolkan oleh Kurawa) yang tidak malu menjual kebohongan dengan berlindung pada kesucian ajaran agama (disimbolkan oleh sumpah kesetiaan Drona pada Kurawa).
-------------------------------------
Seberapa muakkah Bitter Coffee Park terhadap politisi yang selalu membawa agama untuk kepentingan politik? 
Muak, mungkin tidak! 
Tetapi, sulit untuk percaya lagi.

Agamawan seperti biksu, pendeta, ulama, kiyai yang baik tidak akan mau terjun ke dunia politik. 

Sebab Ketika seorang biksu pendeta, ulama, atau kiyai terlibat dalam kegiatan politik-praktis, apa pun dalil yang digunakannya, dia tidak bisa menghapus jejak nafsu duniawi dari keterlibatannya itu.

Sebaliknya, politisi yang selalu mengutip doktrin agama untuk meyakinkan masyarakat tentang siapa dirinya maka politisi tersebut hanyalah orang yang picik dan pengecut, lemah dalam pengetahuan sosial-budaya dan ekonomi, serta tidak memiliki wawasan kebangsaan yang memadai.

Sejatinya agama bukanlah penanda baik buruknya seseorang. 

Tapi bagimana cara mengamalkan ajaran agamanyalah yang menentukan baik dan buruknya seseorang. 

Agama A bisa jadi maling juga, bisa jadi koruptor juga, begitupun agama B, C yang menentukan baik dan buruknya ya dari diri sendiri, bukan otomatis beragama A pasti suci tanpa dosa dan cela.

Kalau politisi yang membawa-bawa atas nama agama kayak gini biasanya suka lucu, saat teriak alim paling kencang, tapi begitu ditantang untuk membuktikan ilmu agamanya langsung ngumpet. 

Kalau memang tidak punya ilmu agama memadai, ya pamerkan saja ilmu yang paling dikuasai, jangan mengada-ngada lah.
Agama yang sejatinya mengajarkan kedamaian, kebersamaan, dan kepedulian, namun saat ini telah dipelintir menjadi permusuhan, pertentangan, dan perpecahan.

Mereka tidak memikirkan bagaimana bangsa ini bisa bersatu dan sejahtera.

Wahai para politisi, jadilah kalian manusia beradab, sebagaimana ajaran agama kalian masing-masing yang begitu indah dan damai.
☆☆☆☆☆
Semua Itu Ada Caranya, Ada Tempatnya!
JENIS PENODAAN AGAMA YANG PERTAMA
Sebagai ajaran yang paripurna (Q.S. al-Ma’idah [5]: 3), Islam memberi panduan terkait urusan politik. 

Misalnya:
  1. Wajib taat kepada pemerintah, asalkan sesuai dengan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW (Q.S. al-Nisa’ [5]: 59); 
  2. Pemerintah wajib menerapkan hukum yang benar (haq) (Q.S. Shad [38]: 26); dan
  3. Masyarakat berhak memilih pemimpin berdasarkan asas musyawarah (Q.S. al-Syura [42]: 38). 
Realitanya, seringkali agama tidak dijadikan pemandu politik, justru dijadikan alat politik, misalnya:
  1. Menjelang momen pemilu, caleg, cabup, cagub hingga capres selalu tampil berkopiah, padahal sebelumnya tidak pernah memakai kopiah di ruang publik; 
  2. Berbagi sembako hingga wisata gratis ziarah wali bagi masyarakat, sebagai modus suap terselubung agar masyarakat memilihnya; dan
  3. Tiba-tiba aktif bersilaturrahim kepada ulama atau pesantren, untuk mendapatkan dukungan politis.

Sejalan dengan itu, al-Qur’an seringkali memperingatkan umat muslim agar tidak menjadikan agama sebagai pemoles citra, termasuk citra politik, misalnya:
  1. Orang yang melakukan shalat sekadar demi meraih citra (riya’) agar terlihat agamis, dinilai sebagai pendusta agama (Q.S. al-Ma’un [107]: 6); 
  2. Orang yang berbagi sedekah demi meraih citra (riya’) agar terlihat dermawan, justru terhapus pahalanya, bak debu di atas batu licin yang tertimpa hujan deras (Q.S. al-Baqarah [2]: 264).
JENIS PENODAAN AGAMA YANG KEDUA
Oknum yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik, sama persis dengan tindak-tanduk orang munafik yang bersikap oportunis terhadap agama. 

Jika dinilai menguntungkan dirinya, agama akan dieluh-eluhkan.

Jika dinilai merugikan dirinya, agama akan disalah-salahkan. 

Dalam bahasa al-Qur’an, saat kilat bercahaya, mereka berjalan; saat kembali gelap, mereka berdiam diri (Q.S. al-Baqarah [2]: 20).

JENIS PENODAAN AGAMA YANG KETIGA
Sikap oportunis para politisi terhadap agama, tercermin dalam aksi politisasi ayat al-Qur’an atau Hadits, untuk memperkuat kubu sendiri dan melemahkan kubu lain.

Misalnya, secara gegabah memberi label ulama kepada tokoh politik yang didukung, berdasarkan penafsiran sederhana terhadap kandungan Surat Fathir [35]: 28 dan al-Syu’ara’ [26]: 184

Padahal label untuk menjadi ulama menurut standar al-Qur’an, jauh lebih sulit dipenuhi daripada label ulama menurut standar umum.

Antara lain:
  • Ulama dalam standar al-Qur’an harus memiliki hati yang khasyyah (takut plus kagum) kepada Allah SWT, sedangkan kualitas hati hanya diketahui oleh Allah SWT (Q.S. al-Najm [53]: 32). 
  • Belum lagi jika mengacu pada tafsir al-Qur’an, semisal pendapat Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir yang membatasi pengertian ulama dalam Surat Fathir [35]: 28.
Hanya pada ahli di bidang ilmu yang berhubungan dengan ma’rifat kepada Allah SWT dan syariat Allah SWT.

JENIS PENODAAN AGAMA YANG KEEMPAT
Di sisi lain, ayat al-Qur’an dikait-kaitkan dengan peristiwa politik tertentu melalui logika cocokologi (otak-atik matuk). 

Misalnya:
  1. Saat terjadi aksi 212 tanggal 2 Desember 2016 (2-12), Surat al-Baqarah ayat 212 dimaknai sebagai isyarat bahwa para peserta aksi 212 mendapatkan rezeki yang tak terbatas, karena disediakan makanan dan minuman yang melimpah sepanjang aksi berlangsung.
  2. Ada lagi pada tanggal 21 September 2018, ada pasangan yang mendapatkan nomor urut 2, sehingga membentuk angka 212 (21-2); kemudian dikait-kaitkan dengan Surat al-Baqarah [2] ayat 12 yang memuat ulasan tentang golongan perusak bumi.

Jika mengacu pada kandungan Surat Ali ‘Imran [3]: 7:
  • Orang yang mempolitisasi ayat al-Qur’an mengemukakan pendapatnya berdasarkan hawa nafsu (syahwat politik), untuk menimbulkan fitnah (kontroversi dan kegaduhan) di tengah masyarakat dan mencari-cari penafsiran alternatif yang mendukung pendapatnya.
CARA MENGHIDARINYA
Agar terhindar dari politisasi ayat al-Qur’an, umat muslim diseru agar bertanya kepada ulama ahli tafsir al-Qur’an yang:
  1. Mendarah-daging ilmunya (al-rasikhun fi al-‘ilm) dan 
  2. Jernih hatinya (ulu al-albab). 
Dengan kata lain, berkompeten dan tidak memihak kubu politik mana pun, sehingga hasil penafsirannya lebih ilmiah, objektif dan layak diikuti masyarakat.

JANGAN MENGHINAKAN ULAMA
Sayangnya, sekarang ini pamor ulama semakin menurun, karena banyak ulama yang dipandang sinis dan dihina-dina oleh masyarakat, hanya gara-gara perbedaan pandangan politik. 

Hal ini juga tidak dapat dipungkiri karena banyaknya Ulama-Ulama Palsu yang ikut berjunta di panggung Politik saat ini.

Padahal Ulama adalah salah satu simbol (syi’ar) agama yang wajib dihormati.
(Catatan: Jelilah memandang Ulama, jika tidak tahu maka diam itu lebih baik. Mendukung kebenaran Ulama Palsu, berarti ikut menghinakan Ulama).

Sesungguhnya perbuatan menghina ulama, identik dengan hobi kaum kafir yang gemar menghina nabi dan rasul, sejak zaman Nabi Nuh AS hingga Nabi Muhammad SAW, dan mereka diancam siksa yang menghinakan oleh Allah SWT (Q.S. al-An’am [6]: 10). 

Sedangkan Rasulullah SAW memberi label fasik kepada orang yang menghina sesama muslim (H.R. Bukhari-Muslim).

Apalagi menghina ulama yang merupakan pewaris para nabi (H.R. Abu Dawud)

Ibn al-Mubarak juga berkomentar dalam Siyar A’lam al-Nubala, bahwa:
Orang yang merendahkan ulama, akan kehilangan akhiratnya.

Atas dasar itu, sikap terbaik umat muslim terhadap ulama adalah sebagaimana sikap terhadap para shahabat yang terlibat dalam konflik politik pada masa:
  • Khalifah ‘Utsman RA dan 
  • Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib RA.
Yaitu tetap menghormati para ulama, sekalipun tidak setuju dengan pandangan politik mereka.

Sikap penghormatan ini meneladani penghormatan yang diberikan Allah SWT kepada para ulama, dengan menyebut ulama setelah menyebut asma-Nya dan malaikat (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 18).

Penghormatan yang diberikan Rasulullah SAW kepada para ulama, dengan menyebut ulama lebih utama dibandingkan ahli ibadah, sebagaimana keutamaan beliau dibandingkan shahabat yang paling rendah kualitasnya (H.R. al-Tirmidzi).

Pada akhirnya, setiap umat muslim bertanggung-jawab menjaga marwah agama di tengah kontestasi politik yang semakin overdosis. 

Wujudnya antara lain: 
  • Pertama, Tidak mudah terkesima tampilan fisik dan lahiriah seseorang yang berjubel simbol agama. Sebagaimana tidak mudah terprovokasi tampilan fisik dan lahiriah yang minim simbol agama. 
  • Kedua, Membekali diri dengan wawasan keilmuan yang memadai, agar tidak terjebak dalam pusaran politisasi ayat al-Qur’an dan Hadis. (Lebih istimewa jika mampu menjernihkan ayat al-Qur’an dan Hadis yang sudah dipolitisasi dan menyebar di tengah masyarakat).
  • Ketiga, Membela harkat dan martabat ulama, sekalipun pilihan politiknya berseberangan. (Minimal hati ingkar dan tidak bergembira saat ada ulama yang dihina).

Jika hati setuju:
Apalagi bergembira saat ada ulama yang dihina, dikhawatirkan termasuk dalam ancaman Allah SWT yang akan meluluh-lantakkan siapapun yang setuju pada suatu kemungkaran.
(Q.S. al-Syams [91]: 14).
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT