Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Jangan Kaburkan Istilah Ulama Dengan Khutaba (Dajjal Kecil Berselimut Jubah Putih)
Akhir zaman menjadi satu hal yang pasti terjadi dan patut diimani oleh umat Muslim.
Termasuk tanda dan apa yang akan terjadi dalam proses menuju penghujung waktu dunia itu.
Namun hal yang paling mengerikan mendekati akhir zaman adalah fitnah dajjal.
Makhluk yang akan menyebabkan kehancuran itu, akan mendatangi semua manusia kecuali dua kota yang tidak bisa ia masuki Madinah dan Mekkah.
Artinya,
Semua penjuru negeri akan didatangi Dajjal untuk mengajak semua manusia menjadi pengikutnya.
Sabda Rasulullah, sebagaimana
Diperingatankan oleh Sahabat Ibnu Mas'ud RA:
Sesungguhnya kalian sekarang ini pada zaman yang masih banyak ulamanya, sedikit tukang ceramahnya.
Dan sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu zaman yang banyak tukang ceramahnya dan sedikit ulamanya.
Kedudukan ulama itu sangat tinggi sekali, lanjutnya.
Akhir-akhir ini telah terjadi Viral di Media Sosial Seorang Pemuda yang dianggap atau menganggap dirinya seorang ulama yang suka memaki-maki nama seseorang.
Dan seakan Orang tersebut selalu dimaki-maki dalam cara di berdakwah dengan suara lantang dan bengis.
Pada hal.......
Ulama itu adalah mereka yang takut (yakhsya) kepada Allah.
Ulama itu adalah mereka yang takut (yakhsya) kepada Allah.
Hanya para ulamalah yang takut kepada Allah.
Dengan kata lain, hanya orang pandailah yang takut kepada Allah.
Kalau Allah melarang membuka aib orang lain, sedang dia tahu membuka aib itu dilarang, dan dia membuka aib orang lain di muka umum, menghina dan memperolok-olok, bukankah ulama.
Dan Pantaskah dia disebut Ulama?????
Dan Pantaskah dia disebut Ulama?????
Ulama itu pewaris Nabi,
Sementara Nabi kita tidak memiliki tutur kata yang fahisy dan tidak pula mutafahisy (keji, jorok dan menyakitkan hati).
Sementara Nabi kita tidak memiliki tutur kata yang fahisy dan tidak pula mutafahisy (keji, jorok dan menyakitkan hati).
Bisakah orang seperti itu dikatakan ulama?
Mencaci-maki sesembahan selain Allah saja tidak boleh, kenapa mencaci-maki sesama Muslim, sesama anak bangsa?
Seandainya orang yang berkata keji, jorok dan menyakitkan hati dikatakan ulama, mereka termasuk ulama apa namanya?
Apakah tidak lebih baik?
Seandainya gelar ulama itu biar Allah saja yang memberikannya.
Mari kita pahami Islam, Al-Qur'an dan Al-Hikmah sampai hakikat sesungguhnya.
Jangan sekadar kulitnya saja. Demikianlah agar hati kita tidak keras, sekeras batu bahkan lebih, dan agar kiblat pandang awamul muslimin tepat (tidak salah).
Sebuah Catatan:
Sebuah Catatan:
- Ulama bukanlah gelar yang disandang atau didapat dari dirinya sendiri (Pengakuan Dirinya Sendiri).
- Golongan Pengaku Ulama seperti ini, akan menciptakan Santri-Santri yang Radikalisme.
☆☆☆☆☆
Penyangga Indonesia itu Bernama Umat Islam
Oleh Imam Nahrawi
Nusantara merupakan anugerah yang luar biasa. Lebih dari sekadar kekayaan alam yang melimpah, negeri ini juga dikarunia kebudayaan yang sangat fleksibel dan bersahabat dengan manusia dan lingkungannya. Indonesia termasuk negara dengan peralihan agama mayoritas yang tergolong kerap: mulai dari kepercayaan lokal, Hindu, Budha, lalu Islam.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sekarang tak terlepas dari cara dakwah Wali Songo yang merakyat. Secara elegan para ulama penyebar Islam itu menginternalisasi ajaran Islam ke benak masyarakat lewat kebudayaan. Islam pun tersebar luas dengan nyaris tanpa kekerasan. Fakta ini setidaknya mencerminkan dua hal: toleransi mereka yang tinggi terhadap lokalitas dan canggihnya pendekatan yang mereka gunakan.
Pada zaman revolusi, umat Islam juga mencetak sejarah sebagai bagian dari kelompok mayoritas yang berkontribusi untuk kemerdekaan republik ini. Bersama elemen bangsa lain, mereka mengorbankan pikiran, tenaga, harta, bahkan nyawa demi membebaskan tanah air dari belenggu penjajahan.
Perjuangan tersebut tentu terlalu sempit bila dilihat hanya untuk kepentingan Islam. Karena kenyataannya, sejak awal negeri ini dihuni oleh ragam agama dan etnis. Seruan perang suci oleh para ulama, misanya, pasti juga mencakup kepentingan seluruh rakyat di tanah air yang bineka itu.
Pascakemerdekaan, perjuangan berlanjut dengan meletakkan pondasi republik yang baru lahir, merumuskan asas-asasnya, dan memikirkan struktur pemerintahannya. Usaha ini jelas sangat tidak mudah. Bisa dibayangkan betapa hebatnya perdebatan dan kontestasi kepentingan saat itu. Indonesia dihuni oleh ribuan suku dan unsur kebudayaan lainnya. Seluruhnya tentu menginginkan aspirasinya terpenuhi.
Meski demikian nyatanya gejolak tak sampai membuat negeri ini pecah belah. Di tengah belantara tarik menarik kepentingan kala itu para tokoh dan pendiri bangsa ini menunjukkan keluasan hatinya untuk memprioritaskan kepentingan bersama di atas kepentingan individu dan kelompok.
Sebagaimana tampak pada fenomena Piagam Jakarta, dokumen historis sebagai hasil kompromi antara kecenderungan kaku Islamis dan nasionalis dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Semula sila pertama Pancasila yang termaktub dalam dokumen itu adalah :
Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja.
Namun akhirnya tujuh kata dicoret dan berubah menjadi:
Ketuhanan Yang Maha Esa.
seperti yang kita baca sekarang.
Semula sila pertama Pancasila yang termaktub dalam dokumen itu adalah :
Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja.
Namun akhirnya tujuh kata dicoret dan berubah menjadi:
Ketuhanan Yang Maha Esa.
seperti yang kita baca sekarang.
Pencoretan tujuh kata itu tak akan terjadi seandainya umat Islam keras kepala dan hanya memikirkan aspirasi kelompok. Protes keras kala itu datang dari mana-mana hingga pada tahap ancaman disintegrasi. Berkat kearifan sikap ulama-ulama kita yang menjadi bagian penentu rumusan dasar negara, Pancasila dengan narasi yang sekarang ini disepakati, dan Indonesia pun selamat dari perpecahan.
Perjuangan, pemikiran, dan kearifan para pendahulu tersebut memiliki dampat yang sangat besar hingga sekarang. Barangkali kita tidak akan mendapati kondisi Indonesia seaman ini kalau saja para pendiri bangsa sama-sama mengunggulkan ego mereka. Apa yang mereka korbankan sebentuk amal jariyah, jasa agung yang manfaatnya terus mengaliri perjalanan bangsa hingga kini.
Pancasila merupakan warisan luhur para pendahulu, termasuk ulama, yang sayapnya mampu menaungi seluruh elemen bangsa yang majemuk ini. Ia menjadi titik temu yang bagi umat Islam di beberapa negara Timur Tengah adalah hal yang masih sulit diraih, bahkan menimbulknan krisis kemanusiaan dengan korban jiwa yang tidak sedikit.
Kaum Muslim di Indonesia memiliki landasan yang kuat, di mana Islam dan kebangsaan berjalin saling menunjang.
Nilai-nilai di dalam Pancasila adalah substansi ajaran yang juga menjadi prinsip dalam Islam.
Pancasila memang bukan agama, tidak dapat menggantikan posisi agama, tapi butir-butirnya tidak bertentangan dengan agama.
Nilai-nilai di dalam Pancasila adalah substansi ajaran yang juga menjadi prinsip dalam Islam.
Pancasila memang bukan agama, tidak dapat menggantikan posisi agama, tapi butir-butirnya tidak bertentangan dengan agama.
Semangat itu pula yang pernah ditegaskan Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdhatul Ulama di Situbondo pada tahun 1983 dalam:
Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam.
Bagi NU, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
Sementara itu, Muhammadiyah menyebut negara berasas Pancasila ini sebagai Darul Ahdi was Syahadah atau negara konsensus nasional yang terdiri dari beragam agama, keyakinan, suku, dan ras.
Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam.
Bagi NU, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
Sementara itu, Muhammadiyah menyebut negara berasas Pancasila ini sebagai Darul Ahdi was Syahadah atau negara konsensus nasional yang terdiri dari beragam agama, keyakinan, suku, dan ras.
Namun demikian, kita tidak bisa menampik adanya sentimen SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan radikalisme yang muncul di publik belakangan ini.
Itu fakta yang mesti ditanggapi secara serius oleh tidak hanya aparat pemerintah tapi juga umat Islam sendiri secara umum.
Meskipun, saya yakin, pelakunya sangat minoritas di antara mayoritas umat Islam Indonesia yang tetap ramah, toleran, moderat, dan menghargai budaya.
Itu fakta yang mesti ditanggapi secara serius oleh tidak hanya aparat pemerintah tapi juga umat Islam sendiri secara umum.
Meskipun, saya yakin, pelakunya sangat minoritas di antara mayoritas umat Islam Indonesia yang tetap ramah, toleran, moderat, dan menghargai budaya.
Amal jariyah para pendiri bangsa masih mengalir lancar hingga kini.
Umat Islam punya sumbangsih besar dalam hal ini. Tentu bersama dengan komponen bangsa lain yang perannya tak bisa diremehkan.
Umat Islam harus terus berbenah memperbaiki perannya, sembari itu harus istiqamah membangun potensinya yang demikian besar sebagai kekuatan penyangga utama negeri ini.
Umat Islam punya sumbangsih besar dalam hal ini. Tentu bersama dengan komponen bangsa lain yang perannya tak bisa diremehkan.
Umat Islam harus terus berbenah memperbaiki perannya, sembari itu harus istiqamah membangun potensinya yang demikian besar sebagai kekuatan penyangga utama negeri ini.
☆☆☆☆☆
No comments:
Post a Comment
Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.
BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT