Mengena Senjata Kas Suku Jawa (Keris)

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Mengena Senjata Kas Suku Jawa (Keris)
Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah.

Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah.

Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah kerambit.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian.

Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.

Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao).

Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.

Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.

Asal usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi.

Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung.

Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.

Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan.

Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan jembatan masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara.

Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris modern), sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.

Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakawu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudhi, arit, dan keris sombro.

Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris.

Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris. Dalam bahasa Jawa, "buda" artinya kuno.

Pahatan arca megalitik dan relief candi dari masa megalitikum sampai abad 10-11 penanggalan Masehi kebanyakan menampilkan bentuk-bentuk senjata tikam dan "wesi aji" lainnya yang mirip senjata dari Dongson maupun India.

Bentuk senjata tikam yang diduga merupakan prototipe keris tersebut bilahnya belum memiliki kecondongan terhadap ganja sehingga bilah terkesan simetris, selain itu pada umumnya menunjukkan hulu/ deder/ ukiran yang merupakan satu kesatuan dengan bilah (deder iras).

Yang paling menyerupai keris adalah peninggalan megalitikum dari lembah Basemah Lahat Sumatera Selatan dari abad 10-5 SM yang menggambarkan kesatria sedang menunggang gajah dengan membawa senjata tikam (belati) sejenis dengan keris hanya saja kecondongan bilah bukan terhadap ganja tetapi terdapat kecondongan (derajat kemiringan) terhadap hulunya.

Selain itu satu panel relief Candi Borobudur (abad ke-9) yang memperlihatkan seseorang memegang benda serupa keris tetapi belum memiliki derajat kecondongan dan hulu/ dedernya masih menyatu dengan bilah.

Dari abad yang sama, prasasti Karangtengah berangka tahun 824 Masehi menyebut istilah "keris" dalam suatu daftar peralatan.

Prasasti Poh (904 M) menyebut "keris" sebagai bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan. Walaupun demikian, tidak diketahui apakah "keris" itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang.

Keris modern yang dikenal saat ini diyakini para pemerhati keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) tetapi sesungguhnya relief di Candi Bahal peninggalan Kerajaan Panai/ Pane (abad ke-11 M), sebagai bagian dari kerajaan Sriwijaya, di Portibi Sumatera Utara, menunjukan bahwa pada abad 10-11M keris modern sebagaimana yang dikenal sekarang sudah menemukan bentuknya, selain itu uji karbon pada keris temuan yang berasal dari Malang Jawa Timur yang ditemukan utuh beserta hulu/ dedernya yang terbuat dari tulang sehingga terhadap dedernya dapat dilakukan analisis karbon, menunjukan hasil bahwa keris tersebut berasal dari abad 10M.

Berdasarkan relief keris modern paling awal pada candi Bahal Sumatera Utara dan penemuan keris budha dari Jawa Timur yang sama-sama menunjukan usia dari abad 10M dapatlah diperkirakan bahwa pada sekitar abad 10 masehi mulai tercipta keris dalam bentuknya yang modern yang asimetris.

Dari abad ke-15, salah satu relief di Candi Sukuh, yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat keris.

Relief ini pada sebelah kiri menggambarkan Bhima sebagai personifikasi empu tengah menempa besi, Ganesha di tengah, dan Arjuna tengah memompa tabung peniup udara untuk tungku pembakaran. Dinding di belakang empu menampilkan berbagai benda logam hasil tempaan, termasuk keris.

Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada.

Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti dari milenium pertama menunjukkan keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari sesajian.

Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/ upacara mistik atau paranormal.

Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk berbeda, dengan pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu dengan bilah keris.

Keris semacam ini dikenal sebagai keris sesajian atau "keris majapahit" (tidak sama dengan keris tangguh Majapahit)!.

Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi keris sebagai senjata di kalangan awam Majapahit. Keris sebagai senjata memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi ringan.

Berbagai legenda dari periode Demak–Mataram mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya keris Nagasasra Sabukinten.

Laporan Perancis dari abad ke-16 telah menceritakan peran keris sebagai simbol kebesaran para pemimpin Sumatera (khususnya Kesultanan Aceh).

Godinho de Heredia dari Portugal menuliskan dalam jurnalnya dari tahun 1613 bahwa orang-orang Melayu penghuni Semenanjung (Hujung Tanah) telah memberikan racun pada bilah keris dan menghiasi sarung dan hulu keris dengan batu permata.

Penghalusan fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19 dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara dan menguatnya penggunaan senjata api.

Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai senjata berangsur-angsur berkurang.

Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa mengenai seorang laki-laki yang sempurna, sering dikemukakan bahwa keris atau curiga menjadi simbol pegangan ilmu/ keterampilan sebagai bekal hidup.

Berkembangnya tata krama penggunaan keris maupun variasi bentuk sarung keris (warangka) yang dikenal sekarang dapat dikatakan juga merupakan wujud penghalusan fungsi keris.
Pasikutan, Tangguh Keris, Dan Perkembangan Pada Masa Kini
Yang dimaksud dengan pasikutan adalah "roman" atau kesan emosi yang dibangkitkan oleh wujud suatu keris.

Biasanya, personifikasi disematkan pada suatu keris, misalnya suatu keris tampak seperti "bungkuk", "tidak bersemangat", "riang", "tidak seimbang", dan sebagainya.

Kemampuan menengarai pasikutan merupakan tahap lanjut dalam mendalami ilmu perkerisan dan membawa seseorang pada panangguhan keris.

Langgam/ gaya pembuatan suatu keris dipengaruhi oleh zaman, tempat tinggal dan selera empu yang membuatnya.

Dalam istilah perkerisan Jawa, langgam keris menurut waktu dan tempat ini diistilahkan sebagai tangguh.

Tangguh dapat juga diartikan sebagai perkiraan, maksudnya adalah perkiraan suatu keris mengikuti gaya suatu zaman atau tempat tertentu.

Penangguhan keris pada umumnya dilakukan terhadap keris-keris pusaka, meskipun keris-keris baru dapat juga dibuat mengikuti tangguh tertentu, tergantung keinginan pemilik keris atau empunya.

Tangguh keris tidak bersifat mutlak karena deskripsi setiap tangguh pun dapat bersifat tumpang tindih.

Selain itu, pustaka-pustaka lama tidak memiliki kesepakatan mengenai empu-empu yang dimasukkan ke dalam suatu tangguh.

Hal ini disebabkan tradisi lisan yang sebelum abad ke-20 dipakai dalam ilmu padhuwungan.

Meskipun tangguh tidak identik dengan umur, tangguh keris (Jawa) yang tertua yang dapat dijumpai saat ini adalah tangguh Buda (atau keris Buda).

Keris modern pusaka tertua dianggap berasal dari tangguh Pajajaran, yaitu dari periode ketika sebagian Jawa Tengah masih di bawah pengaruh Kerajaan Galuh.

Keris pusaka termuda adalah dari masa pemerintahan Pakubuwana X (berakhir 1939).

Selanjutnya, kualitas pembuatan keris terus merosot, bahkan di Surakarta pada dekade 1940-an tidak ada satu pun pandai keris yang bertahan.

Kebangkitan seni kriya keris di Surakarta dimulai pada tahun 1970, dibidani oleh K.R.T.Hardjonagoro (Go Tik Swan) dan didukung oleh Sudiono Humardani, melalui perkumpulan Bawa Rasa Tosan Aji.

Perlahan-lahan kegiatan pandai keris bangkit kembali dan akhirnya ilmu perkerisan juga menjadi satu program studi pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang ISI Surakarta).

Keris-keris yang dibuat oleh para pandai keris sekarang dikenal sebagai keris kamardikan (keris kemerdekaan).

Periode ini melahirkan beberapa pandai keris kenamaan dari Solo seperti KRT.

Supawijaya (Solo), Pauzan Pusposukadgo (Solo), tim pandai keris STSI Surakarta, Harjosuwarno (bekerja pada studio milik KRT Hardjonagoro di Solo), Suparman Wignyosukadgo (Solo).
CARA MEMBUAT KERIS
1. Mempersiapkan Bahan Baku Dan Alat
Bahan-bahan yang disiapkan oleh seorang empu, antara lain; plat besi tempa sekitar 8-15 kg, baja sekitar 800 gr, nikel sekitar 125 gr atau bahan batu pamor lainnya.

Pada dasarnya, sebilah keris terdiri atas tiga jenis unsur logam, yaitu besi, baja, dan pamor.

Pamor bisa terbuat dari nikel, namun pada jaman dahulu, pamor terbuat dari  watu lintang, yang sekarang kita kenal dengan istilah batu meteorit.

Konon, empu pada masa itu menganggap watu lintang atau batu bintang adalah pemberian dari angkasa yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

Pada masa ini pun, untuk keris tertentu, biasanya yang merupakan permintaan khusus dari pemesan, masih ada yang menggunakan batu meteorit sebagai pamor.

Namun karena barang ini sudah sangat langka, meteorit bisa dikumpulkan dari pedang atau keris tua yang sudah tidak terawat kemudian dilebur untuk diambil pamornya.

Jika pamor yang dipakai berupa kepingan kecil-kecil, untuk mengumpulkannya bisa dengan cara membuat amplop dari lempengan besi.

Kepingan-kepingan tersebut kemudian dimasukkan dalam amplop tersebut, disatukan dan kemudian dibentuk menjadi balok yang bentuknya sama dengan balok besi yang disiapkan di awal.

Lain halnya, untuk keris tanpa pamor atau biasa disebut kelengan hanya terdiri atas dua bahan, baja dan besi.

Mengawali pembuatan keris, seorang empu akan memilih besi terbaik untuk mendapatkan hasil yang baik.

Secara kasat mata, besi yang berumur tua akan menghasilkan keris yang bagus karena kandungan karbon atau karat pada besi berusia tua lebih sedikit dibandingkan dengan besi berusia muda.

Pemilihan bahan baku yang baik merupakan salah satu syarat untuk menghasilkan keris yang baik pula.

Dalam kasanah perkerisan ada berbagai jenis besi dimana yang sering disebut-sebut ada besi:
  1. Mangangkang, 
  2. Pulosani, 
  3. Balitung dan sebagainya. 
Tentu hanya mereka yang sudah mahir yang memiliki kemampuan memilih besi mana yang baik dan mana yang tidak baik sebagai bahan keris, karena masing-masing pembuat keris memiliki keterampilan berbeda-beda.

Ada yang hanya dengan cara mengamati fisik dan warna besi, ada yang harus memukul dan dari suara dentangan besi itu bisa ditentukan pilihannya.

Semua itu, konon tergantung kebiasaan dari pembuat keris, dan konon pula hasilnya akan sama, karena tujuannya sama, yaitu memilih bahan yang bagus.

Kemudian mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan keris, termasuk alat-alat dan pekerja.

Berikut di bawah ini adalah nama-nama alat dan istilah yang biasa dipergunakan para Empu pembuat keris dalam bekerja secara tradisional:
  1. Empu: Seorang pembuat keris;
  2. Panjak: Asisten pembuat keris. Panjak terdiri atas dua orang, satu bertugas menyalakan api dan memompa sehingga api terus menyala. Asisten lainnya bertugas menghantamkan palu pada saat proses penempaan;
  3. Besalen: Studio atau bengkel pembuatan keris;
  4. Paron: Alas menempa besi. Terbuat dari besi baja berbentuk mirip lingga. Biasanya disebut paron dengkul karena bentuknya mirip lutut orang yang sedang jongkok;
  5. Ububan: Sejenis pompa. Terdiri atas dua tabung kayu yang bentuknya persis dengan pompa-pompa yang kita kenal di bengkel-bengkel. Sekarang alat ini diganti menggunakan blower;
  6. Wirungan: terbuat dari balok batu yang dilubangi di tengahnya. Berfungsi sebagai alat memfokuskan angin sehingga yang dihasilkan oleh pemompaan pada ububan;
  7. Arang kayu jati: berguna sebagai bahan bakar. Selama ini diyakini arang kayu jati merupakan penghasil panas terbaik, karena pemijaran sempurna hanya dihasilkan ketika panas besi yang dipijar mencapai 1.100°C;
  8. Kowen: Tempat air untuk mendinginkan alat-alat;
  9. Cakarwa: Alat sejenis gancu yang berfungsi untuk mengarahkan bara api;
  10. Supit: alat sejenis tang dengan ukuran yang berbeda-beda (setidaknya membutuhkan lima supit dengan ukuran berbeda-beda) sebagai alat memegangi besi yang dibakar. Digunakan saat besi dibakar atau saat besi ditempa;
  11. Gandhen besi: Yang paling besar seberat 6 kg, biasanya dipegang olehpanjak;
  12. Mimbal: palu besi dengan ukuran lebih kecil (kurang lebih seberat 5 ons), yang biasa dipegang oleh empu;
  13. Ploncon: terbuat dari dua batang kayu yang digandeng. Di atas dua batang kayu inilah empu melakukan pengikiran dan menyempurnakan bentuk keris;
  14. Kikir: Ada berbagai bentuk kikir dengan ukuran kasar dan halus yang berbeda-beda;
  15. Wungkal atau gerinda: Batu pengasah;
  16. Jeruk nipis: digunakan untuk mencuci keris yang secara fisik sudah selesai dibentuk dan diasah;
  17. Batu Warangan atau arsenikum: berfungsi untuk memunculkan pamor pada proses terakhir pembuatan keris. Tetapi harus hati-hati sekali, karena arsenikum mengandung racun yang berbahaya bagi kesehatan; dan
  18. Tlawah: Balok kayu yang dilubangi di tengahnya, berfungsi untuk merendam keris dengan air jeruk nipis saat dilakukan pencucian.
2. Proses Penempaan
Setelah proses persiapan selesai, Seorang Empu mengawali dengan memanjatkan doa, dan memulai proses penempaan.

Sebelum mengawali penempaan, biasanya Empu Suyanto dan panjak berpuasa pada hari sebelumnya selama sehari penuh.

Pertama-tama, sang empu membakar batangan balok besi diatas tungku bara api.

Selama ini pembakarannya menggunakan arang jati karena diyakini arang kayu jati merupakan penghasil panas terbaik, karena pemijaran sempurna hanya dihasilkan ketika panas besi yang dipijar mencapai 1.100°C.

Pembakaran besi ini berfungsi untuk membersihkan besi dari kandungan karbon dan kotoran sehingga mendapatkan besi yang murni dan proses ini dinamakanm besot atau penguletan.

Besi yang telah dibesot akan susut menjadi 2/3 dari berat semula.

Besi dibersihkan dahulu dari berbagai kotoran/ karat, dengan cara dimasukkan ke dalam perapian, bara api terus dinyalakan hingga besi membara dan memercikkan api, setelah besi menyala, besi diangkat dari perapian dengan menggunakan sapit kemudian diletakkan di atas paron.

Besi yang membara kemudian ditempa kuat-kuat dengan pukul besi ukuran 6 kg hingga pijaran apinya padam. Kemudian besi dimasukkan lagi ke dalam tungku yang terus membara.

Penempaan dilakukan berulang-ulang hingga akhirnya besi menjadi liat dan tidak mengeluarkan percikan bunga api.

Setelah sudah bersih, besi kemudian dikeluarkan dari bara api dan dipotong memanjang dan ditekuk menjadi tiga menjadi bentuk leter-z dengan ukuran yang sama.

Ciri-ciri besi yang sudah bersih:
  1. Saat ditempa terasa liat.
  2. Ketika dimasukkan ke dalam tungku, nyalanya kekuningan.
  3. Ketika ditempa tidak memercikkan pijaran api.
Setelah mendapatkan tiga batang besi yang bersih dari kotoran dan karbon, kemudian dimasukkan nikel ke tengah-tengah batang besi tersebut.

Bahan-bahan tersebut kemudian disatukan dengan kawat.

Tumpukan yang telah diikat dengan kawat sering disebut dengan bandelan.

Bandelan tersebut dibakar diatas tungku hingga membara kemudian diangkat dan diletakkan diatas paron untuk ditempa berkali-kali hingga nikelnya luluh menjadi satu dengan besi dan luluhnya nikel dengan besi dinamakan saton.

Besi saton kemudian ditempa lagi hingga menjadi panjang untuk selanjutnya dipotong dan dilipat memanjang menjadi dua.

Memotong besi saton dilakukan dengan hati-hati supaya besi tidak putus, dengan cara membuat garis dengan memukulkan betel diatas batang besi, kemudian besi dilipat sesuai dengan garis potong yang sudah dibuat.

Lipatan itu dilakukan berkali-kali hingga beberapa lapisan sesuai dengan permintaan atau keinginan sang empu. Pada masa ini, jumlah lipatan yang lazim pada sebuah keris adalah sebanyak 16, 32 dan 64 lapis. 

Pada jaman dahulu, diyakini pelipatan pamor mencapai ribuan lapis hingga besi menjadi halus, karena pada masa itu teknologi pembuatan bahan baku besi belum secanggih sekarang, sehingga banyak sekali kandungan karbon yang harus dibuang untuk menghasilkan keris yang baik.

Namun, setiap lipatan pada sebuah keris pada masa ini harus dihitung.

Menghitung lapisannya menggunakan deret ukur. 1, 2, 4, 8, 16, 32, 62 dan seterusnya.

Pada lipatan pertama berarti menghasilkan dua lapisan pamor, lipatan kedua berarti menghasilkan pamor sebanyak empat lapis, lipatan ketiga berarti delapan lapis, lipatan keempat menghasilkan enam belas lapis pamor dan seterusnya menurut yang dikehendaki.

Pada tahap ini, perlu diperhatikan kekuatan besi, kalau memang besinya hanya kuat pada beberapa lapisan tertentu, tidak boleh dipaksakan.

Banyak sedikitnya lipatan tergantung dari kualitas besi yang digunakan.

Besi dengan mutu yang bagus bisa dilipat lebih banyak dibandingkan dengan besi yang kurang baik.

Tentu saja nantinya akan mempengaruhi kualitas pamor yang dihasilkan.

Daya tarik keris masa kini selain pada desain fisik, juga terutama pada motif pamornya.

Ada ribuan motif pamor yang sudah diciptakan para empu keris, dari yang tradisional atau pakem hingga kontemporer.

Cara membuat pamor keris antara keris yang satu dan yang lain tidak akan sama. Hal itu disebabkan kreasi, proses penempaan, proses pembakaran dan lain sebagainya yang dilakukan para pembuat keris.

Setelah proses mencampurkan pamor selesai, maka dilanjutkan dengan membentuk kodokan. Kodokan adalah calon atau bakalan keris yang masih berupa batang adonan besi nikel dan baja.

Pembuatan kodokan dilakukan dengan cara memotong lapisan pamor menjadi 3 bagian dengan menggunakan gergaji.

Bagian yang kecil digunakan untuk membuat ganja.

Sedangkan dua bagian yang berukuran sama panjang disusun bersama baja pipih dengan ukuran yang sama dengan saton dengan posisi baja berada di tengah-tengah.

Kemudian tumpukan bahan-bahan keris dibakar lagi hingga membara dan luluh, seperti permulaan dan dipukul secara bolak-balik supaya ketebalan pamor-nya sama dengan bajanya yang berada ditengah-tengah.

Pada pangkal calonan keris, bentuknya agak tebal, sedangkan pada ujungnya agak tipis.

Selanjutnya dibuat pola dasar atau kodokan dengan bantuan mal yang terbuat dari lempengan seng untuk mempermudah pembentukan bilah keris.

Mal tersebut menentukan bagaimana bentuk keris yang akan dibuat, apakah akan menjadi keris luk atau jejeg.

Setelah itu baja dan pamor dibentuk sesuai pola dengan gerinda.

Pembentukan bilah keris di sini sesuai dengan pakem perkerisan yang telah ada dan dapur yang telah ditentukan.

Setelah menjadi calon keris, maka akan ditentukan apakah keris yang dibuat itu keris luk atau lurus seperti yang sudah diilhami dan dirancang sebelumnya.

Jika keris tersebut akan dibuat lurus, maka proses pengerjaan pembentukan dapat langsung dimulai, tetapi jika keris luk, maka proses pembuatan luk harus terlebih dahulu dilakukan.

Cara membuat luk adalah dengan memanasi bagian luk di atas tungku, lalu ditempa tahap demi tahap. Setiap membuat luk baru dilakukan pemanasan dan penempaan.

Pembuatan luk dimulai dari luk pertama dibagian pangkal keris, baru kemudian luk kedua, ketiga dan seterusnya dimana luk pada keris selalu berjumlah ganjil.

Proses pembentukan kodokan menjadi calon keris dengan cara menggunakan kikir dan gerinda.

Pengerjaannya pun harus hati-hati, sehingga ketika dikikir maupun digerinda, tidak merusak atau menghilangkan bagian pamornya.

Proses pembentukan ini dilakukan oleh seorang empu, karena sang empulah yang tahu bagaimana keris ini akan dirancang sesuai dengan wangsit dan kehendak sang empu.

Pembentukan calon keris ini juga merupakan bagian dari persiapan pembuatan ricikan. Sehingga ketika menuju proses anggrabahi, calon keris sudah memiliki pola dan pakemnya.

Setelah pembuatan kodokan selesai, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan ganja.

Mula-mula calon ganja dibentuk menurut panjang pangkal calon keris dan pembentukan ganja dilakukan dengan cara digerinda.

Setelah mendapatkan bentuk yang pas dengan wilahan, kemudian bagian tengah ganja dibor, sesuai dengan pesi keris.

Bila sudah sesuai, ganja dipasang dan dilekatkan dibagian pangkal keris agar tidak longgar atau goyang.

Baru setelah dibentuk, ganja diperhalus sesuai dengan bagian sor-soran keris.

Setelah ganja selesai dibuat, maka digabungkan dengan bilah keris dan ditempa sehingga betul-betul menyatu.

Jadilah bakalan keris yang masih kasar yang dinamakan gatra.

Setelah menjadi gatra dan siap untuk di-grabahi, maka selesailah tahap proses penempaan pada pembuatan keris.

3. Proses Anggranahi
Proses anggrabahi adalah proses penghalusan pada sebuah keris dari bentuk kasar sebilah keris sudah nampak jelas.

Proses ini dilakukan dengan cara mengikir atau menggerinda permukaan bilah, terutama bagian tepinya agar pamor-nya keluar atau terlihat.

Tahap ini dinamakan silak waja dan pada tahap ini, harus dilakukan dengan hati-hati, sebab jika pengikirannya berlebihan akan banyak pamor yang ikut terbuang. Sedangkan bila kurang, tidak seluruh pamor akan timbul.

Pengikiran itu mengikuti pola bentuk dasarnya. Bagian tengah bilah keris dibuat tebal, sedangkan di bagian tepinya dibuat pipih.

Ketipisan sisi kiri dan sisi kanan harus seimbang.

4. Proses Pembuatan Ricikan
Tahap selanjutnya adalah membentuk ricikan dimana pembuatan ricikan adalah proses pemberian detail pada keris sesuai dengan dapur yang sudah diilhami oleh sang empu, atau sesuai dengan faedah keinginan pemesan.

Pada bagian depan, mula-mula adalah gandik-nya, kembang kacang, jalen, lambe gajah, pejetan sogokan, sodo atau lidi, tikel alis dan jenggot. Pembuatan ricikan menggunakan alat seperti kikir, gerinda, pahat besi dan mesin bor.

Biasanya ricikan depan dikerjakan terlebih dahulu baru kemudian mengerjakan ricikan bagian dalam.

Ricikan bagian dalam berupa tumpengan, sogokan belakang, kruwingan, pancadan dan tumpukan antara wilahan dengan ganja, dan kemudian greneng.

Pembuatan ricikan tentu saja disesuaikan dengan model atau tipe dapur yang diinginkan.

Pembuatan ricikan menggunakan tanggem atau ploncon, dengan menjepit keris tersebut supaya tidak patah pada waktu di-tatah dan diukir.

5. Proses Menyepuh Atau Lirangan
Setelah keris yang digarap sudah berwujud dan selesai dibentuk, masuklah tahap nyepuh atau mengeraskan besi.

Secara teknis, proses menyepuh adalah proses membuat besi menjadi tua.

Tujuannya untuk meningkatkan kualitas besi dan bajanya supaya lebih keras, tajam, dan tidak mudah melengkung atau patah.

Penyepuhan dapat dilakukan dengan cara konvensional, yaitu dengan merendam keris ke dalam air lirang selama beberapa jam.

Air lirang terbuat dari campuran garam 2 kg, belerang 3 kg, dan air sebanyak 1 liter, yang kemudian dicampur ke dalam kotak yang telah disediakan.

Proses perendaman berlangsung selama kurang lebih satu hari (8-16 jam).

Setelah direndam selama satu hari, kemudian keris dibersihkan dengan air sabun dan abu, ditambah dengan air jeruk nipis sampai besinya putih.

Kemudian, keris yang sudah menjadi halus dibakar lagi hingga membara, selanjutnya dimasukkan ke dalam tlawah sepuhan.

Keris yang sudah disepuh kemudian dihaluskan kembali dengan menggunakan gerinda yang halus atau bisa dilakukan dengan mengasahnya di atas wungkal atau batu asahan, dan diguyur dengan air secara bergantian.

Metode ini dilakukan dengan tujuan membuat keris lebih tajam, mengkilat, dan pamor-nya lebih terlihat.

6. Proses Mewarangi Atau Jamasan
Proses yang terakhir dalam pembuatan keris adalah proses finishing.

Keris direndam ke dalam air kelapa yang sudah basi, agar kerak-kerak besi pembakaran terlepas.

Setelah itu keris dibersihkan dengan air jeruk nipis hingga putih, lalu di-warangi.

Keris yang sudah selesai penggarapannya, maka perlu melalui proses pewarangan atau penjamasan. 


Proses pewarangan adalah proses memunculkan pamor pada keris.

Fungsinya adalah untuk mempertegas tekstur dan warna yang terdapat di permukaan keris.

Yaitu warna besi yang terbakar oleh cairan warangan menjadi hitam, warna nikel yang merupakan guratan pamor menjadi putih keperak-perakan, dan warna baja menjadi abu-abu kehijauan.

Bahan yang diperlukan untuk warangan antara lain:
  1. Air jeruk nipis murni yang tidak tercampur dengan air sebanyak satu liter.
  2. Bubuk arsenikum sebanyak 30 gram.
Bahan tersebut dicampur sampai rata, kemudian dimasukkan ke dalam botol tertutup, lalu kocok supaya dapat bercampur.

Kemudian biarkan selama 10 hari. Larutan warangan semula berwarna putih kekuning-kuningan, setelah proses fermentasi sudah selesai, warna larutan berubah menjadi hitam pekat.

Sebelum proses pewarangan, bilah keris dibersihkan terlebih dahulu dengan cara direndam dengan air kelapa hijau selama 24 jam.

Setelah direndam, kemudian dibersihkan menggunakan sikat gigi dengan cairan buah lerak.

Buah lerak adalah buah yang dapat berbusa dan dapat digunakan menjadi sabun.

Kemudian digosokkan dengan air jeruk nipis.

Proses ini diulangi berkali-kali hingga kelihatan putih bersih.

Setelah bersih, bilah keris dimasukkan ke dalam cairan warangan yang tersedia, digosok dengan sikat gigi sehingga seluruh pori-pori wilahan terkena cairan warangan.

Kemudian diangkat dan ditiriskan hingga tuntas, kemudian diletakkan ditempat yang tersedia secara miring.

Kalau sudah kering, keris dimasukkan kembali ke dalam cairan warangan dan ditiriskan lagi. Proses ini berlangsung berulang-ulang hingga bilah keris menjadi kehitaman.

Ketika bilah keris sudah tampak hitam, maka dilakukan proses pencucian dengan jeruk nipis yang dibelah.

Jeruk nipis digosok berulang-ulang ke seluruh permukaan keris, hingga pamornya kelihatan.

Setelah pamor sudah terlihat, bilah keris dikeringkan dan dibersihkan dari cairan jeruk nipis dengan cara di-lap dengan kain.

Bilah keris kemudian dijemur atau diangin-anginkan, lalu didiamkan selama 24 jam dalam keadaan terbuka.

Proses ini dilakukan untuk menghilangkan unsur hawa panas, yang dapat menimbulkan uap ketika dimasukkan ke dalam sarung.

Bisa juga menyebabkan keris tersebut berkarat.
Setelah itu, keris diolesi dengan minyak pusaka, biasanya menggunakan minyak cendana, minyak kenanga dan minyak melati.

Keris yang telah di-warangi menjadi cemerlang guwaya-nya, serta munculpamor-nya yang indah.

Keris yang selesai diwarangi kemudian disanggarkan dengan cara ditaruh ditempat pedupaan beberapa hari sampai melewati Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon.

Hal ini dilakukan agar mantranya betul-betul manjing dan keris betul-betul ampuh.

Setelah selesai semua, keris dibuat warangkanya yang cocok oleh tukang warangka atau yang biasa disebut mranggi.

Baca Juga:
  1. Legenda Keris Kyai Brojol - 
  2. Legenda Keris Kyai Carubuk - 
  3. Legenda Keris Kyai Sengkelat (Brawijaya Ke v) Dan Sunan Ampel - 
  4. Legenda Keris Kyai Singo Barong - 
  5. Legenda Keris Pandawa Lima - 
  6. Legenda Keris Semar Kuncung Kencana - 
  7. Mengena Senjata Kas Suku Jawa (Keris) - 
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT