Legenda Keris Kyai Carubuk

Hay Sahabat Bitter, kali ini Bitter Coffee Park akan mengajak Kalian Ngobrol ala Obrolan Warung Kopi tentang:
Legenda Keris Kyai Carubuk
Keris mengajarkan kita buat menyimpan atau mengesampingkan ego dan amarah. 

Kita tentu sering melihat bahwa pada waktu kita jagongan temanten, atau bahkan temanten sendiri atau bahkan keluarga keraton dan para abdi dalem dalam mengenakan pusaka diletakkan dibelakang punggung.

Ini dimaksudkan secara tersirat dan tersurat dalam ajaran leluhur kita, bahwa agar kita dalam hal berfikir, berpendapat dan bertindak diharapkan dapat lebih momong, bijaksana, serta perlunya menjaga akhlak dan tepo seliro kita terhadap sesama. 

Karena dengan menaruh dibelakang posisi keris diharapkan kita membelakangkan emosi, ego, amarah dalam serawung, pertemanan ataupun persahabatan baik didunia nyata maupun dunia maya. 

Tapi tetap dengan menunjukkan ketegasan dan kesantunan juga keberanian pada tempatnya dan pada saatnya. 

Dan ini menunjukkan bahwa kita memiliki dan mengedepankan etika, estetika dalam pergaulan, membuat perasaan nyaman bagi rekan-rekan di sekitar kita.

Carubuk Kadang-kadang disebut Crubuk, salah satu dhapur keris luk tujuh. 

Ukuran panjang bilahnya sedang, biasanya nglimpa, tanpa ada-ada. 

Keris ini memakai kembang kacang, lambe gajah satu, selain itu memakai sraweyan  dan greneng. Ricikan lainnya tidak ada. 

Dhapur Carubuk biasanya dimiliki oleh mereka yang mendalami dunia spiritual.

Dalam manuskrip Sejarah Mpu ing Tanah Jawi, dijelaskan bahwa kersi dhapur Carubuk pertama kali dibuat oleh Mpu Dewayasa II merupakan cucu dari Mpu Dewayasa I yang mengabdi pada Raja Negeri Wiratha. Mpu Dewayasa II membabar tiga dhapur keris, yaitu Sang Carubuk, Sang Kebo Lajer dan Sang Kabor. 

Dalam versi lain, keris Carubuk yang khusus untuk dikenakan wanita pertama kali dibuat oleh Mpu Gandawijaya tahun 1125 Saka, pada era Pengging Wiratadya.

Keris dhapur Carubuk menjadi sangat terkenal ketika menjadi piyandel yang dipegang  dan dimiliki oleh Panembahan Hadiwijaya atau yang lebih familiar disebut Joko Tingkir, yaitu Raja Kasultanan Pajang di Jawa Tengah. 

Dengan keris Carubuk yang dimilikinya, Jaka Tingkir dikenal menjadi sosok yang sangat pandai, cerdik, pemberani, berwibawa dan sangat sakti, sehingga terangkat derajad kemuliannya menjadi menantu Sultan Demak (Trenggono) kala itu. 

Seiring runtuhnya Kasultanan Demak, Jaka Tingkir kemudian mendirikan dinasti Kasultanan Pajang di Pedalaman Jawa Tengah, dan bergelar Panembahan Hadiwijaya.

FILOSOFI KERIS KIYAI CARUBUK
Carubuk memiliki pengertian “bagaikan bumi”, jadi manusia harus “Momot, Bakuh, Pengkuh,aja tampik ingkan den arepi among marang ingkang becik kewolo, Kang ala aka den mohi“. Artinya Bahwa manusia itu harus bagaikan bumi, tidak hanya menerima hal-hal yang kita sukai namun harus juga bisa menerima hal-hal yang tidak disukai, karena kesemuanya itu adalah wujud warna kehidupan, bagaikan bumi yang selalu dapat menerima biji yang baik ataupun yang tidak baik.
loading...

loading...

Penerimaan mengandung arti seseorang ikhlas akan sesuatu hal. Penerimaan disini bukan sekedar penerimaan apa adanya atau menyerah pada nasib, melainkan penerimaan hasil atas usaha atau ikhtiar yang telah dilakukan. Berusaha, berdoa dan tawakal adalah wajib. Apakah nanti hasilnya baik atau tidak, sesuai dengan harapan atau tidak, kata syukur senantiasa terucap karena perkara hasil adalah urusan dari Sang Pencipta.

Pemahaman ini akan mengajarkan seseorang untuk dapat ikhlas, tidak mengharapkan sebuah balasan dan menjadi pribadi yang selalu bersyukur, bersyukur pada apa yang telah diberikan Sang Khalik hari ini, kemarin dan mungkin esok hari. Dan menjadi simbol optimisme, keyakinan sekaligus kepasrahan. Menerima bukan perkara mudah dan ikhlas adalah ilmu yang sulit dikuasai, sedangkan kita tahu bahwa Tuhan YME mempunya rencana yang terbaik bagi kita.

Dalam filosofi jawa Dhapur Carubuk ini mengandung makna untuk selalu mengingat asal, menjalani hidup dan kehidupan sesuai yang telah digariskan, menyerahkan segala sesuatunya kepada kehendak yang Di Atas, dan mempunyai sikap batin sanggup menerima ikhlas semua kehendak-Nya baik berupa rahmat maupun ujian setelah kita melakukan upaya dan ikhtiar.

Sikap ini akan membuat kita tidak akan lelah maupun putus asa menghadapi tantangan hidup untuk mencapai yang lebih, karena usaha dan perjuangan yg dilakukan untuk mendapatkan peningkatan (materi maupun spiritual) bukan berdasarkan nafsu dan ambisi semata, tetapi sebagai sebuah laku atau kewajiban manusia dalam hidup. Sikap ini juga memuat perilaku selalu ikhlas dan bersyukur atas anugerah Tuhan.

Dalam filosofi jawa luk tujuh disebut “pitu” yang dalam jarwo dosok bisa berarti pitutur, piwulang, dan pitulungan, yaitu ajaran yang baik, petunjuk atau pertolongan. Angka tujuh bagi penduduk Nusantara, terutama masyarakat Jawa, merupakan angka keramat yang memiliki makna ketentraman, kebahagiaan, kewibawaan dan kesuksesan. Angka tujuh dapat dipersamakan dengan jumlah lapisan langit (sap) hingga seluruhnya ada tujuh, demikian pula dengan hari dalam seminggu yang terdiri dari 7 hari. Atau kesempurnaan dan selamatan anak dalam kandungan dilakukan hitungan bulan ke-7 (pitonan), dalam upacara kematianpun dilakukan peringatan pada hari ke-7 (pitung dinanan).
☆☆☆☆☆
SEJARAH KERIS CARUBUK SUANAN KALIJAGA
Isam dalam catatan sejarah masuk ke tanah Jawa sekitar abad ketujuh masehi. Penyebarannya melalui para pedagang dari Gujarat (India), Persia, dan Arab.

Dalam berbagai buku sejarah disebut, saat itu bukan hal yang gampang untuk mengajak masyarakat Jawa masuk Islam. Lantaran Mereka sudah menganut agama Hindu sejak lama. Kira-kira sejak kerajaan majapahit.

Namun di Tanah Jawa ada tokoh-tokoh yang aktif menyebarkan agama Islam, namanya Wali Songo. Mereka memiliki cara sendiri-sendiri untuk mengajak masyarakat Jawa masuk Islam.

Ada satu Wali Songo yang memiliki cara unik untuk mengajak masyarakat Jawa supaya masuk Islam. Wali tersebut namanya Sunan Kalijaga. Dia memilih cara melakukan akulturasi budaya dan agama.

Dengan cara akulturasi budaya dan agama ini, masyarakat Jawa yang sudah ratusan tahun memeluk agama Hindu dan kepercayaan pada roh leluhur, bisa perlahan-lahan dan dengan mudah diajak masuk Islam.

Kemampuan Sunan Kalijaga memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa ini terbukti cukup ampuh, banyak masyarakat Jawa yang dulunya bukan Islam manut padanya.

Sunan Kalijaga memang melakukan pendekatan budaya yang sangat mendalam, demi menyebarkan Islam. Termasuk juga terkait dengan benda -benda pusaka, yang konon sangat dipercaya masyarakat saat itu.

Berdasarkan beberapa prasasti atau bukti sumber tertulis pada masa lalu peninggalan kerajaan Majapahit, pada saat itu masyarakat Jawa sangat percaya dengan benda pusaka, misalnya semacam keris.

Sunan Kalijaga sendiri disebut-sebut memiliki lima pusaka, salah satunya adalah Keris Kiai Carubuk. Keris tersebut merupakan senjata Sunan Kalijaga. Hingga sekarang, keris tersebut dipercaya masih ada.

Konon, keris ini mempunyai kesaktian tidak sembarangan dapat dimiliki. Keris Kiai harus mempunyai kecocokan atau berjodoh dengan yang memegangnya.

Dalam sebuah legenda dikisahkan, konon katanya Sunan Kalijaga minta tolong kepada Empu Supa Mandragi untuk dibuatkan sebuah keris untuk menyembelih kambing.

Sunan Kaljaga memberikan besi yang ukurannya sebesar biji asam jawa sebagai bahan pembuatan keris kepada Empu Supa Mandrangi.

Empu Supa sedikit terkejut karena besi untuk membuat keris tersebut sangat berat, padahal bentuknya sangat kecil. Konon ceritanya, pada mulanya Empu Supa tidak percaya besi tersebut bisa dijadikan keris.

Tetapi Sunan Kalijaga meyakinkan Empu Supa bahwa besi untuk membuat keris tersebut, hanya bentuknya saja yang kecil tetapi sebenarnya besarnya seperti gunung.

Ternyata perkataan Sunan Kalijaga sangat ampuh, diceritakan dalam legenda tersebut pada waktu itu juga besi yang sebesar biji asam Jawa tersebut menjelma jadi sebesar gunung.

Hati Empu Supa menjadi gugup, lantaran mengetahui bahwa Sunan Kalijaga memang benar-benar wali yang dikasihi oleh sang pencipta kehidupan.

Saat itu pula Empu Supa berlutut dan takut. Kemudian besi itu dibuat jadi sebilah keris oleh Empu Supa.

Begitu melihat bentuk kerisnya, Sunan Kalijaga menjadi kaget lantaran hasil keris itu berbeda jauh sekali dengan yang dimaksudkan.

Awalnya Sunan Kalijaga bermaksud meminta dibuatkan keris untuk menyembelih kambing, ternyata yang dihasilkan yakni keris Jawa. Bentuknya sangat indah.

Begitu mengetahui keindahan keris, perasaan Kanjeng Sunan Kalijaga tersentuh. Kemudian keris tersebut dinamai Keris Kyai Carubuk.

Keris Kyai Carubuk ini lalu menjadi senjata pusaka Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang. Sultan Hadiwijaya ini lebih terkenal dengan sebutan Joko Tingkir.

Keris Kyai Carubuk ini pernah mengalahkan Keris Kiai Setan Kober milik Arya Penangsang yang terkenal pada zaman itu.

Baca Juga:
  1. Legenda Keris Kyai Brojol - 
  2. Legenda Keris Kyai Carubuk - 
  3. Legenda Keris Kyai Sengkelat (Brawijaya Ke v) Dan Sunan Ampel - 
  4. Legenda Keris Kyai Singo Barong - 
  5. Legenda Keris Pandawa Lima - 
  6. Legenda Keris Semar Kuncung Kencana - 
  7. Mengena Senjata Kas Suku Jawa (Keris) - 
☆☆☆☆☆

No comments:

Post a Comment

Obrolan yang baik bukan hanya sebuah obrolan yang mengkritik saja, tetapi juga memberi saran dan dimana saran dan kritik tersebut terulas kekurangan dan kelebihan dari saran dan kritik.

BERIKAN OPINI SAHABAT BITTER TENTANG TULISAN TERSEBUT