Buku Harian Sang Ayah Untuk Putrinya

Ayah dan ibu Galuh sudah menikah 30 tahun lamanya, dan Galuh belum pernah melihat mereka bertengkar. Bagi Galuh, perkawinan ayah dan ibunya menjadi teladan baginya. 

Setelah menikah, Galuh dan istrinya sering bertengkar karena hal-hal kecil.

Ketika suatu saat ia pulang ke rumah orangtuanya, Galuh menuturkan keluhannya pada ayahnya. 

Ayahnya mendengar dengan baik tanpa berbicara apa-apa. 

Setelah Galuh selesai bercerita, ayahnya bangkit berdiri dan kemudian datang lagi dengan membawa beberapa tumpuk buku-buku, dan diletakkan di meja di depan Galuh. 

Sebagian buku itu sudah berwana kuning, sepertinya sudah lama disimpan. 

Bukalah dan bacalah!

kata ayahnya.

Galuh mengambil salah satu dari buku itu dengan penuh rasa ingin tahu dan penasaran

Satu persatu halaman dibukanya. 

Galuh melihat tulisan ayahnya, agak miring dan aneh, ada yang jelas ada juga yang semrawut, bahkan ada juga tulisan yang ditulis dengan tinta yang tebal sampai-sampai menembus beberapa halaman di belakangnya.

Galuh terus membaca isi buku itu satu persatu. 

Semuanya hanya merupakan catatan-catatan ringan dan sepele, seperti:

Suhu udara berubah menjadi dingin, ia mulai menjawab baju wol untuk anak-anakku.

Ia membuatkan masakan kesukaanku yang sudah lama kuinginkan.

Ada banyak tulisan sepele lainnya. 

Semuanya berisi catatan kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, cinta ibu kepada anak-anak dan keluarga. 

Dengan berlinang air mata Galuh berkata kepada ayahnya, 

Kalian berdua selalu penuh cinta. Saya sangat kagum kepada ayah dan ibu.

Tidak perlu kagum, kamu juga bisa.

kata ayahnya.

Ayah berkata lagi, 

Menjadi suami istri selama puluhan tahun, tidaklah mungkin menghindari pertengkaran. 

Ibumu kalau kesal, suka cari gara-gara dan sering mengomel dan selalu melampiaskan kemarahannya.

Aku ikut terbawa kesal, tetapi kemudian aku menuliskan apa yang Ibumu sudah lakukan demi rumah tangga ini. 

Seringkali hatiku penuh amarah saat menuliskannya, sehingga pen yang aku gunakan menembus kertas hingga sobek. 

Terkadang aku harus berulangkali merobek kertas dan menuliskan kembali. 

Tetapi aku terus berusaha menuliskan semua kebaikannya. 

Kalau aku belum bisa menemukan kebaikan ibumu yang harus kutuliskan, aku diam merenung hingga akhirnya emosiku lenyap, yang tinggal adalah kesadaran diriku akan kebaikan hati ibumu. 

Galuh mendengarkan dengan baik, lalu bertanya,

Apakah ibu pernah melihat semua catatan ayah ini?

Ayah tertawa dan berkata, 

Ibumu juga memiliki buku tentang kebaikanku. Seringkali kami saling bertukar buku dan saling mentertawakannya.

Galuh terdiam, dan kemudian sadar akan rahasia pernikahan orangtuanya, 

Mencintai itu sangat sederhana, yaitu ingat dan catat semua kebaikan psangan, dan lupakan segala kesalahannya.